Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menarik rem darurat dan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai Senin (14/9). Berbagai aktivitas kembali dibatasi, di antaranya pasar dan mal boleh beroperasi dengan kapasitas pengunjung maksimal 50%.
Meski mal boleh beroperasi, namun pemerintah provinsi Jakarta melarang pengunjung makan di restoran. Kebijakan ini diperkirakan akan membuat kunjungan ke mal merosot. Apalagi sebagian besar para pekerja kantoran pun bekerja dari rumah atau work from home.
Menangani pusat perbelanjaan sejak 1981, Presiden Direktur PT Panen Lestari Internusa Handaka Santosa memperkirakan bisnis retail perlu waktu cukup lama untuk kembali normal sebelum pandemi Covid-19.
Handaka memperkirakan hingga Desember tahun ini industri retail belum pulih. "Mungkin pada pertengahan 2021 baru ada perkembangan yang diharapkan,” kata mantan CEO Senayan City ini.
Handaka yang kini membawahi lini department store di Grup Mitra Adiperkasa (MAP), yakni SOGO, Seibu, Galleries Lafayette, Alun-Alun Indonesia hingga Sephora ini menyatakan keberadaan mal dan pusat perbelanjaan memiliki kontribusi terhadap pergerakan ekonomi.
Dia menyatakan mal tak hanya mewakili konsumsi masyarakat kelas atas. Mal juga memberikan kehidupan bagi berbagai ekosistem penunjang dari mulai tukang parkir, pemilik kantin karyawan, hingga supplier yang masih berstatus usaha kecil menengah (UKM).
Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat dampak pengetatan kembali PSBB di DKI Jakarta?
Saya bersyukur bahwa pusat perbelanjaan masih boleh dibuka seperti sebelumnya pada masa PSBB transisi. Artinya ada pemasukan, meski sales belum sesuai harapan.
Pada PSBB kali ini, restoran hanya diizinkan melayani pesan antar atau dibawa pulang dan dilarang makan di tempat. Apakah akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kunjungan mal?
Betul, sekarang tidak boleh dine in. Aturan ini pasti membuat jumlah pengunjung kembali turun, karena orang biasanya belanja sekalian makan di mal. Selain itu, orang-orang kantoran juga sering makan di mal, dan sekarang kantor juga dibatasi dari 50% ke 25%. Hal itu juga akan berpengaruh terhadap kunjungan ke mal.
Bagaimana seharusnya PSBB ini agar berjalan optimal dan tidak berlarut-larut?
Tegakkan sanksi. Kita lihat masih banyak orang-orang yang tidak memakai masker saat berada di luar.
Mal tertib kok, tidak ada yang terima kunjungan lebih dari 50% kapasitas pengunjung. Bahkan beberapa memasang pembatas akrilik untuk meminimalisir kontak langsung. Kenapa ini harus dilarang? Bila ada klaster tempat makan, tolong dilihat itu ada di mana.
Dengan penerapan protokol kesehatan, pengelola mal perlu menyediakan hand sanitizer, pembatas akrilik dan lain-lain. Apakah pengelola mal keberatan dengan tambahan biaya operasional itu?
Kami dari para pengusaha retail, department store, pusat belanja, tidak mengeluh kok. Biaya yang bertambah itu kan buat keamanan customer dan karyawan kami sendiri.
Yang menjadi concern kami sebenarnya, apa ada yang kurang? Sejauh ini kan bagus, tidak ada klaster mal. Itu saja yang diawasi dengan baik. Dengan begitu kita bisa melangkah, ekonomi bisa tumbuh.
Ini memang dilema. Kalau sehat tapi tidak ada uang juga susah. Jadi pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang berimbang. Pertumbuhan ekonomi itu salah satu penggerak terbesarnya konsumsi masyarakat, jadi kegiatan belanja harus ada.
Bukankah mal dan pusat perbelanjaan identik dengan masyarakat kelas atas. Apa mungkin segmen ini mewakili konsumsi masyarakat secara luas?
Ada kesan seperti itu, tetapi jangan salah, mal ini membentuk ekosistem besar dan banyak yang terlibat di dalamnya. Kita bisa lihat biasanya di sekeliling mal ada masyarakat yang menyediakan lahan parkir, ada juga yang membuka warung makan bagi karyawan.
Para supplier di department store juga tak semuanya pengusaha besar. Di Alun-Alun Indonesia itu kebanyakan supplier-nya UKM, tetapi dikemas sedemikian rupa hingga produknya menarik bagi turis.
Pada April lalu, SOGO meluncurkan fitur Click & Shop, bagaimana respons pengguna? Apakah saja strategi di masa pandemi?
Baik, penggunanya cukup banyak. Kami kan ada SOGO Privilege Card, kemudian MAP Club, itu yang kami dorong terus dengan memberikan promosi.
Kami melakukan segala cara untuk meningkatkan penjualan. Selain Click & Shop melalui WhatsApp, kami melayani juga pembelian drive thru, mobil ke lobi dan kami antar belanjaannya. Kami buka juga di marketplace, ada MAPemall, Tokopedia, Blibli dan Lazada.
Kami juga akan memberikan promo akhir tahun, baik online maupun offline. Kami pasti menginformasikannya lewat sosial media.
Dampak pandemi ke bisnis retail sangat besar, yang terlihat dari kinerja PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) sebagai induknya SOGO. Pada semester I 2020, MAPI rugi Rp 407,93 miliar, padahal periode sama tahun sebelumnya laba Rp 499 miliar.
Kita semua tahu, ketika semua mal-mal ditutup selama PSBB itu tidak apa penjualan. Saat itu kami masih membayar karyawan. Tidak mungkin toko baru tutup sebulan, lalu karyawan langsung di-PHK.
Di SOGO sendiri karyawan kami hampir 10 ribu dan belum ada PHK, meski ada yang dirumahkan. Jadi kami masih bersyukur pengetatannya tidak seperti April lalu, sehingga kami masih bisa bertahan.
Artinya, selama itu kami masih membayar gaji, iuran BPJS, dan biaya-biaya lain. Sedangkan waktu itu tidak ada pemasukan, tidak ada profit, tidak ada margin. Ini yang membuat perusahaan sulit mencapai kinerja yang diharapkan.
Kami tidak bicara soal target tahun ini, mengejar penjualan tahun lalu saja sulit. Sekarang sudah pertengahan September, tapi rata-rata penjualan masih sekitar 50% dari tahun lalu.
Apakah kondisi ini cukup mewakili retail dan pusat belanja secara keseluruhan?
Masih ada yang di atas itu, ada juga yang kurang. Di Bali misalnya, meski tidak ada lockdown tetapi kunjungan ke pusat belanjanya hanya 10% karena tidak ada turis. Itu akan memerlukan waktu lebih lama untuk pulih.
Sekarang pun kita bisa lihat di mal-mal sudah ada merchant yang tutup, ada supplier yang tidak lagi bisa memasok ke department store. Ini tidak bisa dipungkiri karena kondisi keuangan setiap perusahaan berbeda-beda.
Bagaimana dengan insentif dari pemerintah untuk pelaku usaha?
Insentif itu memang perlu, setidaknya untuk bertahan, agar tidak terjadi PHK. Di satu sisi, ada insentif dari pemerintah, seperti pajak penghasilan dan keringanan iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Di sisi lain, di Jakarta terutama, pajak parkir dan reklame pekan lalu justru dinaikkan. Dalam situasi pandemi seperti ini, parkir kenapa dinaikkan? Seluruh dunia juga tahu, swasta perlu relaksasi.
Perkiraan Anda, kapan kondisi ini akan kembali normal?
Menurut saya sampai Desember tahun ini masih belum bisa normal. Mungkin pada pertengahan 2021 baru ada perkembangan yang diharapkan. Setelah vaksin diproduksi pun rasanya masih perlu waktu karena wilayah Indonesia ini luas dan penduduknya banyak.
Hampir 40 tahun Anda berkecimpung di bisnis retail dan pusat perbelanjaan, bagaimana dampak pandemi ini dibandingkan dengan krisis lain sebelumnya?
Kita pernah melewati krisis yang besar pada 1998, kemudian pada 2008 ada dampak subprime mortgage di Amerika Serikat. Bedanya, kedua krisis itu penyebabnya masalah ekonomi, jadi memperbaikinya juga lewat ekonomi yakni bagaimana meningkatkan demand.
Kali ini masalahnya adalah kesehatan yang kemudian direspons dengan berbagai kebijakan, termasuk PSBB. Selain kegiatan usaha harus dibatasi, di sisi lain daya beli masyarakat juga turun. Jadi ini multidimensi. Dibanding krisis-krisis sebelumnya, dampak pandemi ini paling berat dan tidak bisa diprediksi.