Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma'ruf Amin melihat potensi besar dalam pengembangan ekonomi syariah di Tanah Air. Pemerintah menyiapkan program mendorong percepatan dan akselerasi ekonomi dan keuangan syariah dengan ambisi menjadikan Indonesia sebagai pusat rujukan global.
Ma'ruf mengatakan meski Indonesia merupakan penduduk muslim terbesar dunia, sayangnya hanya menjadi konsumen dari produk ekonomi syariah. Umat belum menangkap peluang besar ekonomi syariah ini. "Saya sering mengumpamakan seperti keledai, membawa beban makanan di punggungnya, tapi dia lapar dan tidak bisa makan," dalam sebuah sesi wawancara dengan Katadata.co.id beberapa waktu lalu.
Upaya pemerintah menghidupkan denyut nadi ekonomi syariah di antaranya dengan menerbitkan Peraturan Presiden Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada tahun lalu. "Perpres ini babak baru pengembangan ekonomi dan keuangan syariah," kata Ma'ruf.
Salah satu instrumen keuangan syariah yang potensial digunakan untuk pembangunan adalah dana wakaf. Dengan kondisi literasi dan pengetahuan masyarakat soal investasi dana wakaf yang masih rendah, pemerintah terus menggelar sosialisasi dan edukasi.
“Karena kalau sudah besar, nilai manfaatnya akan kembali kepada umat dan masyarakat,” kata mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
Berikut petikan wawancaranya dengan Yura Syahrul dari Katadata.co.id:
Bagaimana anda melihat potensi ekonomi syariah seiring dengan peluncurannya brand ekonomi syariah. Apa yang menjadi latar belakang dan tujuan dari digemakannya ekonomi syariah ini?
Ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia sudah berkembang cukup baik, tetapi belum optimal, baru sekitar tujuh sampai delapan persen. Bahkan kalau untuk perbankan baru enam sampai tujuh persen.
Potensi kita besar, begitu juga (untuk mengembangkan) dana sosial seperti wakaf. Oleh karena itu pemerintah punya komitmen kuat untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah.
Melalui Perpres 28 tahun 2020 dibentuklah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNKS). KNKS ini fokus dalam empat hal: pertama, pengembangan industri halal, kedua pengembangan Industri keuangan, ketiga dana sosial masyarakat Islam, dan keempat pengembangan usaha bisnis Syariah.
Bagaimana posisi Indonesia saat ini dalam pengembangan industri halal?
Industri halal harus didorong karena potensi kita besar. Pertama, sebagai bangsa dengan mayoritas muslim, sekitar 87 persen dari penduduknya, kita baru menjadi konsumen halal terbesar di dunia dan belum menjadi produsen. Produsennya justru negara non-muslim seperti Brazil, Australia dan lain-lain. Karena itu produk halal ini harus kita kembangkan dan menjadi salah satu komitmen pemerintah.
Kedua, keuangan syariah kita baru mencapai 6,7% dari potensi. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan baik berskala besar maupun kecil. Yang berskala besar, salah satunya itu penggabungan tiga bank (syariah) besar agar bisa melayani transaksi transaksi domestik dan global.
Begitu juga lembaga-lembaga mikro seperti bank wakaf mikro juga kita kembangkan, kemudian baitul maal, operasi syariah dan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). Ini potensinya besar tetapi masih belum terkelola dengan baik.
Ketiga, dana sosial wakaf dan zakat yang potensinya besar sekali. Presiden pernah mengatakan kurang lebih hingga Rp 180 triliun. Selama ini wakaf yang terkenal hanya 3M saja, Masjid, Madrasah kemudian Makam, padahal wakaf uang ini sebenarnya potensinya lebih besar.
Ini karena dia lebih fleksibel untuk investasi dan tidak harus besar seperti tanah sekian meter. Karena itu perlu gerakan nasional wakaf uang secara masif, dan pengelolaannya harus dijaga, dananya tak boleh berkurang apalagi hilang. Kemudian harus diinvestasikan ke tempat yang aman.
Maka perlu dilakukan penanganan secara lebih profesional dan terarah. Manfaatnya juga harus dikembalikan kepada masyarakat yaitu pendidikan, sosial, ekonomi kecil atau mikro.
Begitu juga di dunia bisnis, semua instrumen yang dikembangkan akan berkaitan dengan para pengguna dan pengusaha. Pengusaha di bidang syariah juga kita hidupkan supaya mereka tumbuh. Makanya kita melakukan inkubasi, pengembangan, pemberdayaan dan penguatan.
Apakah nanti wakaf akan diarahkan dalam bentuk uang, tidak lagi berupa fisik seperti tanah?
Dulu ada suatu pengertian bahwa wakaf itu bendanya harus ada. Tetapi sekarang itu uang itu tidak lagi dalam bentuk fisik, bendanya bisa hilang tetapi nilainya (tidak). Jadi wakaf uang ini bisa dijaga nilainya dan bisa menjadi sesuatu yang lebih fleksibel untuk dikembangkan.
Untuk itu Majelis Ulama Indonesia sudah membuat fatwa yang memperbolehkan wakaf uang pada tahun 2002. Di Undang - Undang wakaf tahun 2006 juga masuk, selain benda tidak bergerak, benda bergerak, uang, maupun surat berharga. Jadi wakaf uang yang dihimpun bukan uangnya secara fisik, tapi nilainya. Ini yang kemudian diinvestasikan di berbagai portofolio yang kita anggap aman dan menguntungkan.
Bagaimana mekanisme wakaf dalam bentuk uang tersebut?
Sebenarnya penerima wakaf adalah pengurusnya. Pemerintah itu hanya memfasilitasi di bawah koordinasi Badan Wakaf Indonesia, dan supaya terjamin harus melalui lembaga kanal penerima wakaf berupa bank syariah itu.
Si penerimanya adalah para nazir yang sudah diseleksi dan disertifikasi, jangan sampai memiliki kedudukan yang tidak benar. Kemudian dikembangkan melalui manajer investasi yang paham betul karena tidak boleh hilang ataupun kurang tetapi menguntungkan. Hasilnya itu nanti dikembalikan lagi kepada nazir untuk digunakan sesuai niat pemberi wakaf apa untuk pendidikan, sosial, beasiswa atau untuk pengembangan ekonomi masyarakat.
Potensi yang besar ini tidak disadari oleh umat. Saya sering mengumpamakan seperti keledai, membawa beban makanan di punggungnya, tapi dia lapar dan tidak bisa makan. Karena itu harus didorong supaya potensi ini terwujud dalam bentuk partisipasi masyarakat, umat yang kemudian kalau sudah besar, nilai manfaatnya juga kembali ke umat lagi.
Bagaimana mengubah paradigma umat yang selama ini mungkin menganggap wakaf itu fisik ?
Mengubah persepsi dan pemahaman masyarakat ini memang menjadi pekerjaan besar kami. Jadi ada masalah lama yang sudah ada secara tekstual, ada masalah baru yang dulu belum ada, lalu ada masalah lama yang mengalami perubahan bentuk karena situasi baru yang harus disesuaikan, salah satunya wakaf uang ini.
Uang bukan lagi benda mati tapi (sekarang) dalam bentuk nilai yang terjaga dan bisa dikembangkan. Begitu juga wakaf yang berubah karena daerah, misalnya wakaf pertanian di daerah yang dibuat pelabuhan dan lapangan terbang. Makanya itu harus diganti, bukan fisiknya tapi manfaatnya. Makanya kita memberikan alasan baru bahwa wakaf itu selain fisiknya yang dijaga, bisa juga nilainya dan manfaatnya yang harus berlanjut terus.
Nah, ini memang memerlukan sosialisasi pemahaman kepada masyarakat secara masif karena ini masalah literasi. Literasi wakaf kita itu rendah sekali, di bawah zakat, masih nol sekian persen. Karena itu pergerakan nasional wakaf uang ini bisa sekaligus mengumpulkan dan mengelola secara lebih profesional agar memberi manfaat yang lebih besar kepada masyarakat.
Bagaimana target anda soal dampak ekonomi syariah ke ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat?
Dampak yang kita harapkan ada dua: kesejahteraan masyarakat dan penguatan ekonomi nasional. Selain itu dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, kami harapkan ekonomi dan keuangan syariah ini berkontribusi besar, juga dalam meningkatkan kesejahteraan (pelaku) UMKM. Karena itu saya menganggap bahwa Perpres ini adalah babak baru pengembangan ekonomi dan keuangan syariah.
Kemudian kami kembangkan dengan empat fokus lahirnya semua ekosistem itu, pengembangan wakaf, merger bank syariah, dan berbagai kolaborasi yang kita bangun. Saya berharap bahwa 2024 sudah terlihat hasilnya terhadap kesejahteraan masyarakat, dalam pemulihan ekonomi maupun penguatan ekonomi nasional. Ini yang menjadi perhatian dari pemerintah.
Bagaimana perkembangan ekonomi syariah dengan adanya digitalisasi? Apakah akan semakin bergerak cepat?
Saya kira opportunity-nya sudah terbuka dan kami sudah punya tekad untuk melakukan upaya digitalisasi di semua sektor, dimulai dari pelayanan pemerintah. Makanya pemerintah sedang menyiapkan semua infrastruktur digitalnya di seluruh Indonesia dan selama tiga tahun ini sudah hampir semua. Dari laporan yang saya terima yang masih kurang itu Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu kita ingin di dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, harus kita upayakan layanan digitalisasi dan instrumen yang berbasis uang elektronik.
Contohnya fintech ini sudah dikembangkan juga di sistem keuangan syariah seperti zakat dan wakaf. Fatwanya sudah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, kemudian teknologinya sudah dikembangkan oleh sistem perbankan juga lembaga-lembaga wakaf. Zakat juga sudah menggunakan sistem ini, bahkan sudah dibantu termasuk Linkaja, Gopay, hingga OVO.
Bahkan e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan Blibli sudah ikut mengembangkan sistem keuangan dan ekonomi syariah syariah. Tinggal literasi, sosialisasi, dan edukasi masyarakat yang terus kita kampanyekan. Memang ini sudah merupakan satu tren global dan kami ingin menjadi negara yang mengembangkan teknologi digital dan infrastruktur sudah kami siapkan agar sistem keuangan dan ekonomi syariah tidak boleh tertinggal.