Perjanjian Paris pada 2015 menjadi titik awal dalam penanganan perubahan iklim. Sebanyak 196 negara sepakat untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius dan menuju 1,5 derajat Celcius. Pelaksanaannya telah berlangsung sejak awal tahun ini.
Indonesia tidak mengubah komitmen Perjanjian Paris pada tahun ini. Dalam target penurunan emisi karbon atau nationally determined contribution (NDC) terbaru, angkanya tetap di 29% dengan usaha sendiri pada 2030 dan 41% bantuan internasional.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan, walau angka tidak berubah, namun Indonesia memiliki formulasi kebijakan untuk mencapai target itu.
“Kami ingin mengatakan, dalam rangka mencapai target 2030, Indonesia sudah berpegang pada visi 2050,” katanya kepada editor Katadata.co.id, Yuliawati dan Sorta Tobing, Sabtu (25/9). Selama satu jam, secara daring, ia menjelaskan upaya-upaya Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, Laksmi juga membahas soal agenda utama Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait perubahan iklim atau COP26 di Glasgow, Inggris. Acara yang berlangsung pada 31 Oktober sampai 12 November 2021 ini juga menjadi momen penting untuk menunjukkan komitmen dunia mencegah pemanasan global.
Seperti apa penjelasannya? Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana sejauh ini realisasi NDC Indonesia?
Kami perlu sampaikan, semua NDC baru mulai terlaksana pada 1 Januari 2021 karena Paris Agreement (Perjanjian Paris) memang seperti itu. Sampai dengan Desember 2020, semua negara mengikuti Protokol Kyoto.
Indonesia tidak termasuk ke dalam negara Annex I dalam Protokol Kyoto. Negara yang termasuk dalam kelompok ini sebagian besar negara maju yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Indonesia pada saat itu belum memiliki kewajiban menurunkan emisi. Pemerintah kemudian secara sukarela melakukan komitmen tersebut. Realiasinya sampai sekarang masih tahap baru dimulai.
Dalam NDC terbaru, Indonesia akan menjadi emisi karbon neto di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FoLU) di 2030?
Pada Juli lalu, Indonesia menyampaikan NDC updated bersama-sama dengan bagian yang tidak terpisahkan dengan dokumen lainnya, bernama LTS-LCCR 2050 atau Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050.
Dalam dokumen itu disebutkan, Indonesia akan mengupayakan menuju kondisi net sink untuk sektor FoLU pada 2030. Jadi emisi yang dikeluarkan di sektor ini akan lebih kecil dari penyerapannya atau paling tidak sama dengan penyerapan emisi gas rumah kacanya.
Bagaimana rencananya? Kami sudah menyusun NDC Mitigasi dan NDC Adaptasi Roadmap. KLHK sudah menyiapkan rencana operasionalnya. Di dalamnya berisikan 11 kegiatan utama, termasuk restorasi lahan gambut, penerapan manajemen kehutanan berkelanjutan, dan lainnya.
Jadi, NDC dan LTS-LCCR 2050 terpisah, tapi menjadi satu kesatuan?
Iya, dokumennya terpisah. Kalau NDC berisi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca. Indonesia memasukkan pilar adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi. Target kita tidak hanya menurunkan emisi karbon tapi juga meningkatkan ketahanan iklim.
Sedangkan dokumen LTS-LCCR 2050 sifatnya formulasi kebijakan dan informasi. Jadi, bukan komitmen. Setiap negara memang didorong memformulasikan visi jangka panjangnya.
Indonesia menyampaikan dua dokumen ini secara bersamaan. Kami ingin mengatakan, dalam rangka mencapai target 2030 sudah berpegang pada visi 2050.
Lalu, target pemakaian batu bara akan turun hingga 60% pada 2050. Melihat Indonesia masih negara berkembang, apa pemerintah benar-benar akan menguranginya untuk pembangkit listrik?
Di dalam LTS-LCCR 2050, Indonesia mengatakan akan mencapai kondisi net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Bahasanya adalah “in 2060 or sooner”.
Benar pada saat ini pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN, sudah memiliki peta jalan untuk penghapusan secara bertahap operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Mulai dari 2025 akan dilakukan penggantian PLTU menjadi pembangkit listrik tenaga gas (PLTMG) dan energi terbarukan lainnya. Pada 2030 akan ada retirement (penghentian PLTU) tahap pertama. Tahap terakhir akan dilaksanakan pada 2055. Tidak akan serta-merta diberhentikan.
Banyak langkah-langkah yang memang sudah disiapkan untuk sektor ini. Termasuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan komitmen untuk mencapai bauran energi.
Alasan di balik penetapan net zero emission 2060 or sooner?
Net zero itu adalah kondisi balance. Emisi yang dikeluarkan dibarengi dengan kemampuan penyerapan yang sama atau lebih besar. Asumsi yang pemerintah pakai tentu saja, selain populasi, ada tingkat ekonomi, konsumsi energi, dan sebagainya.
Kalau membandingkan dengan negara-negara maju yang saat ini berkomitmen untuk mencapai kondisi net zero emission-nya di 2050, mereka sudah mencapai puncak emisi di 1980-an atau 1990-an.
Mereka akan net zero emission, setelah 70 atau 60 tahun dari puncak pembangunannya. Indonesia diharapkan mencapai puncak pembangunannya di 2045, pada saat 100 tahun merdeka.
Lalu, kalau dituntut untuk kemudian net zero emission di 2050, berarti hanya lima tahun memerlukan waktu untuk membuat balance itu. Bisa atau tidak? Bisa tetapi tentu saja konsekuensinya biayanya besar sekali.
Perkiraan kebutuhan dananya berapa?
Dokumen LTS-LCCR 2050 adalah formulasi kebijakan jangka panjang dan memang belum didetailkan. Saat ini kami masih terus melakukan simulasi, kajian, dan sebagainya.
Yang akan kami lakukan tentu saja kelanjutan dari upaya sampai dengan 2030 melalui NDC. Setelah itu, kami melakukan apa lagi sampai 2050 dan untuk mencapai di 2060 or sooner tadi.
Berarti akan menunggu realisasi di 2030?
Tidak, tidak menuggu. Ini simultan. Kami terus mengembangkan simulasi dan strateginya karena pasti akan ada opsi lainnya.
Dalam dokumen LTS-LCCR 2050 ada tiga skenario, yaitu kebijakan sekarang, transisi, dan low carbon compatible with Paris Agreement (LCCP). Skenario terakhir yang paling ambisius. Indonesia sudah memilih akan menempuh LCCP.
Apakah termasuk rencana perdagangan karbon yang sedang digodok pemerintah?
Sebagai instrumen, iya. Kegiatan usaha yang ingin melakukan mitigasi atau penurunan emisi gas rumah kaca, tapi pada saat yang bersamaan tidak punya kecukupan investasi, nantinya bisa menerapkan nilai ekonomi karbon.
Di dalam rencana regulasi yang sedang dipersiapkan, nilai ekonomi karbon akan diperkenalkan melalui empat mekanisme. Pertama, perdagangan karbon. Di dalamnya ada perdagangan dan offsite emisi.
Mekanisme kedua adalah pembayaran berbasis hasil, atau result based payment. Ketiga, pungutan atas karbon. Terakhir, kombinasi dari tiga mekanisme sebelumnya.
Kapan aturannya selesai karena banyak pihak sudah menunggu?
Iya, benar. Kami juga menantikannya. Mudah-mudahan pada tahun ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bentuknya nanti adalah peraturan presiden.
Untuk isu penurunan emisi, sinergi antar kementerian menjadi penting?
Sudah pasti. NDC dan LTS-LCCR 2050 bukan dokumen KLHK. Ini adalah dokumen Indonesia. Penyusunannya pun dua-duanya dilakukan secara partisipatif. Kami sudah memulai prosesnya sejak 2019 melalui serangkaian diskusi, simulasi-simulasi, konsultasi.
Siapa pemimpin untuk mengevaluasi pencapaiannya?
Dalam konteks pengendalian perubahan iklim, terutama komitmen United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), KLHK adalah national focal point-nya. Jadi pelaporan-pelaporan itu dilakukan melalui kami.
COP26 akan berlangsung awal November nanti, apa agenda utama Indonesia?
Pasti agenda para parties adalah menyelesaikan mandat Perjanjian Paris. COP26 ini seyogyanya dilaksanakan pada November tahun lalu, sebelum perjanjian itu berlaku.
Kalau bicara agenda Indonesia di COP26, maka bisa disebutkan ada dua jalur yang utama. Yang pertama tentu saja negosiasi COP. Yang kedua adalah soft diplomacy.
Apa isu utamanya? Dalam hal ini nanti Inggris akan menjadi designated president. Sebagai tuan rumah, tentu negara ini punya agenda tertentu, misalnya di sektor energi. Nanti seluruh anggota akan melakukan dialog dan konsultasi.
Pada COP yang sudah berlalu, perdebatan sengitnya tentang perdagangan karbon internasional?
Dalam COP24 dan COP25 sepertinya isu ini memang seru banget. Padahal ada topik lainnya yang juga terjadi perdebatan panjang, seperti adaptasi dan keuangan.
Topik perdagangan karbon ada di Artikel 6 Paris Rule Books. Artikel ini merupakan salah satu isu perundingan dalam UNFCCC yang belum disepakati. Ini menjadi salah satu target yang akan diselesaikan.
Biasanya, sektor usaha concern-nya di Artikel 6. Kami juga. Kesepakatan untuk artikel ini akan sangat menentukan bagaimana kita bisa menggunakannya untuk mendorong pencapaian target-target emisi.
Sampai sekarang masih ada perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan pengaturan perdagangan karbon yang sifatnya internasional. Indonesia punya beberapa posisi.
Apa keinginan Indonesia?
Kami harapkan isu ini bisa diselesaikan dengan tidak rigid dan tidak terlalu mengikat. Semua negara punya kewajiban untuk agenda global. Tapi cara pemenuhannya dapat berbeda-beda, sesuai kapasitas dan kondisi masing-masing.
Tujuannya sama, tapi caranya berbeda. Ini menjadi lebih adil. Misalnya, ada negara yang baru mampu melakukan pada level ini. Ada yang levelnya lebih tinggi. Nah, kami harapkan bisa dikenali dalam perumusannya nanti.
Lalu, harus ada proses yang transparan dalam perdagangan dan penetapan harga. Selain itu, ada pembagian manfaat yang lebih jelas untuk kegiatan adaptasi.
Selama ini kegiatan adaptasi cenderung, dalam tanda kutip, terbelakang. Indonesia meletakkan itu sama pentingnya.
Kami tidak mengharapkan perdagangan karbon hasilnya hanya untuk mitigasi. Bagi sebagian besar negara, termasuk Indonesia, kita memerlukan pendanaan untuk adaptasi. Itu kira-kira posisi yang nanti kami bawakan.
Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)