PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggandeng sejumlah lembaga internasional untuk memperkuat sistem jaringan listrik cerdas (smart grid) dalam rangka mendukung transisi energi. Kehadiran smart grid sangat penting, seiring peningkatan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang menjadi pemasok utama kebutuhan listrik ke depan.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN Evy Haryadi mengatakan, pihaknya sedang membuka ruang kolaborasi, baik dari sisi investasi, teknologi, dan kerja sama lainnya untuk menciptakan smart grid yang lebih fleksibel.
“Sejumlah lembaga internasional yang telah dan akan berkolaborasi dengan kami antara lain Global Power System Transformation (G-PST) Consortium, USAID (US Agency for International Development), hingga Accenture,” ujarnya dalam siaran pers, Minggu (13/11/2022).
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pembangkit EBT akan mendominasi penambahan kapasitas, yaitu sebesar 20,9 gigawatt (GW) atau sekitar 51,6 persen dari total proyek pembangkit baru.
Saat ini, jaringan listrik PLN yang beroperasi terdiri dari 4 sistem besar dan 16 sistem kecil hingga menengah, dengan lebih dari ratusan sistem terisolasi. Setiap sistem memiliki konfigurasi pembangkit, infrastruktur transmisi, serta karakteristik beban yang berbeda.
Masing-masing pulau di Indonesia memiliki potensi EBT yang berbeda-beda, sehingga setiap sistem pun memiliki pendekatan dan strategi yang berbeda. Maka, dibutuhkan pengembangan smart grid yang lebih fleksibel untuk mengintegrasikan listrik berbasis EBT.
Pembangkit listrik berbasis EBT memiliki sifat intermiten atau bergantung pada kondisi cuaca. Penyerapan daya hanya akan bisa maksimal bila cuaca mendukung, seperti matahari untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan angin pada pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).
Chairman of Growth Markets Accenture Gianfranco Casati menilai, jaringan listrik yang andal menjadi kunci pertumbuhan EBT di Indonesia. Namun, seluruh dunia saat ini juga menghadapi tantangan yang sama dalam ketersediaan jaringan listrik yang kompatibel untuk pembangkit EBT yang bersifat intermiten.
“Jaringan listrik sebenarnya merupakan faktor penting untuk pertumbuhan energi terbarukan, tapi ini bukan hanya di Indonesia. Banyak pasar lain telah menghadapi, atau sedang menghadapi tantangan yang sama persis,” ujar Casati.
Ia mengatakan, untuk mengembangkan EBT di Indonesia, PLN butuh mengalokasikan dana US$ 150-200 miliar per tahun hingga 2030. Namun, dana ini bukan hanya untuk prioritas pembangkit saja. Justru, kata Casati, investasi tersebut perlu dialokasikan, salah satunya untuk pengembangan smart grid sebagai komponen penting dalam pengembangan EBT.