Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati berbagi strategi menghadapi perubahan dari perusahaan yang mengelola energi fosil menjadi penyedia energi baru terbarukan, sekaligus memastikan ketahanan energi nasional.
“Untuk mencapai aspirasi Net Zero Emission (NZE) sekaligus menjaga ketahanan energi di Indonesia, PT Pertamina menyusun strategi komprehensif melalui dua pilar utama dan tiga implementasi menengah,” kata Nicke dalam diskusi dengan tema Task Force Energy, Sustainability and Climate (TF ESC) Business 20 (B20) Indonesia di Nusa Dua, Bali, Selasa, (15/11).
Dua pilar utama tersebut yang pertama adalah bergerak fokus mengenai dekarbonisasi kegiatan bisnis, dan yang kedua adalah pengembangan bisnis hijau energi terbarukan.
Sedangkan tiga strategi jangka menengah yang mendukung rencana mencapai Net Zero Emission adalah pertama mengembangkan standar penghitungan karbon yang telah memenuhi standar nasional dan internasional.
Kedua, pelibatan pemangku kepentingan untuk mendukung penuh target dan komitmen NZE nasional. “Tujuan ini didukung oleh strategi investasi jangka panjang dari Pertamina,” kata Nicke, yang juga Chair of Task Force Energy, Sustainability and Climate Business 20.
Ketiga adalah inisiatif bisnis keberlanjutan ramah lingkungan Pertamina akan difokuskan pada biofuels, sumber energi terbarukan, Sistem Penangkapan Karbon (CCS/CCUS), baterai serta mobil listrik, hidrogen, dan bisnis karbon sendiri.
Pertamina juga telah mengembangkan strategi untuk mendukung transisi energi dengan mengalokasikan biaya modal (capex) untuk energi rendah emisi dan pengembangan EBT.
“Kami telah menetapkan tujuan untuk meningkatkan porsi Bisnis Hijau dalam bauran pendapatan Pertamina dari 5 persen pada tahun 2022 menjadi 13 persen pada tahun 2030,” kata Nicke.
Pendapatan dari bahan bakar fosil diperkirakan akan menurun secara signifikan dari 86 persen pada 2022 menjadi 66 persen pada tahun 2040. Tujuan dari alokasi modal tersebut telah dikoordinasikan dengan pemerintah, dan memastikan bahwa hal tersebut telah selaras dengan target bauran energi Indonesia untuk energi baru terbarukan.
Untuk mengimbangi pembiayaan, Pertamina juga telah meramu strategi investasi jangka panjang yang terdiri dari 14 persen Capex (capital expenditure) untuk aksi bisnis energi hijau. Selain itu, Pertamina terus melanjutkan investasi pada bahan bakar fosil dan petrokimia sebagai tulang punggung bisnis saat ini, dalam upaya memastikan transisi energi tidak akan mengganggu ketahanan energi.
Selain strategi penyertaan modal, Pertamina juga berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk percepatan capaian target. Kolaborasi diperlukan, dalam menghadapi tantangan yang sama selama transisi energi, terutama dalam teknologi dan pembiayaan.
“Biaya teknologi masih lebih tinggi daripada bahan bakar fosil. Itu sebabnya, kami terbuka untuk kemitraan dan kolaborasi, untuk mendorong inovasi dan menurunkan biaya teknologi,” kata Nicke.
Upaya kolaborasi digencarkan sebab saat ini penggunaan teknologi dalam energi baru terbarukan masih membutuhkan biaya mahal, sehingga harga jual kepada konsumen cukup tinggi.
Dalam menekan biaya operasional tersebut, masalah pembiayaan diharapkan akan lebih banyak menarik investasi masuk, baik internasional maupun domestik, guna meningkatkan mekanisme pembiayaan global mendukung proyek transisi energi dan dekarbonisasi.
Pertemuan B20 ini dilaksanakan memanfaatkan momentum KTT G20 yang juga berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 15-16 November 2022.