Implementasi Prinsip Berkelanjutan di Sektor Pertambangan

Donang Wahyu|KATADATA
Ilustrasi pertambangan batu bara di Indonesia
14/2/2023, 09.57 WIB

Pertambangan merupakan sektor yang tidak tergolong terbarukan. Meski begitu, Indonesia masih belum bisa sepenuhnya melepaskan sektor pertambangan. Di tengah upaya mengatasi perubahan iklim, kebutuhan nasional akan sektor ini masih besar. Agar sektor ini tetap bertahan dengan mempertimbangkan dampak berganda yang dihasilkan, penerapan aspek berkelanjutan menjadi solusi.

Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury melihat ekonomi hijau menjadi peluang bagi pertambangan Indonesia. Menurutnya, Indonesia punya potensi besar dalam carbon capture dan carbon storage. “Kami melihat ini bisa dilakukan perusahaan pertambangan untuk mendorong circular economy di perusahaan-perusahaan tambang kami,” katanya, Rabu (1/2/2023).

Di tahun sebelumnya, pemerintah juga bergerak ke pertambangan hijau industri ekstraktif. Salah satunya mendorong perusahaan untuk lebih transparan sesuai prinsip tata kelola lingkungan, sosial, dan pemerintahan (ESG). Transparansi sendiri merupakan mandat dari prinsip Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI). Sehingga, ESG saat ini menjadi salah satu persyaratan mendapatkan izin kelola sumber daya alam (SDA).

Melansir dari laman resmi EITI Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah saat ini melakukan supervisi penerapan ESG. Agus Cahyono Adi Kepala Pusat Data dan informasi Kementerian ESDM menyebutkan pemerintah tengah menindak perusahaan yang tidak patuh.

“Kami beri hukuman, terdapat 2.078 perusahaan dan bagi beberapa yang tidak patuh, kami putus izinnya,” katanya, Senin (12/9/22).

Saat ini, Kementerian ESDM mendorong perusahaan untuk menerapkan praktik keberlanjutan dan transparansi melalui Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). IRMA berperan sebagai verifikator pihak ketiga yang independen serta menawarkan penilaian sertifikasi terhadap standar pertambangan yang komprehensif untuk menguji seluruh bahan tambang nonenergi.

Melihat beragam upaya berkelanjutan di Tanah Air, Praktisi Sustainable Mining Tino Ardhyanto menyebutkan penerapan pertambangan berkelanjutan atau sustainable mining di Indonesia masih harus lebih diperkuat oleh seluruh pihak. Lebih dari soal transparansi dan keamanan, dampak lingkungan dan sosial pertambangan harus menjadi pertimbangan utama.

Sustainability hadir karena kebutuhan, selain kebutuhan keamanan pertambangan, ada kebutuhan lain yang juga tak kalah penting yaitu untuk bisa hidup lebih baik,” katanya kepada Tim Riset Katadata, Jumat (2/12/22).

Cukup disayangkan, Indonesia sendiri masih belum menerapkan praktik pertambangan berkelanjutan. Indonesia masih hanya berpegang pada good mining practice atau praktik pertambangan baik yang mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik.

Tingkat kepatuhan akan regulasi ini pun masih beragam. Tino menilai, perusahaan besar mungkin sudah patuh karena dorongan reputasi serta permintaan pasar. Namun, perusahaan kecil masih belum terdata, apakah sudah sepenuhnya patuh atau belum. Sehingga, perusahaan tambang perlu melihat dampak yang lebih besar dari segi lingkungan dan sosial.


Sustainable mining masih belum jadi pertimbangan karena pertambangan masih dilihat sebagai komoditas perdagangan, jadi hanya kuat di keekonomiannya tapi tidak kuat di masalah sosial dan lingkungan, baru sekarang ini dijadikan komoditas bahan industri selanjutnya,” katanya.

Tino menilai, aspek berkelanjutan yang menyeimbangkan ekonomi dan sosial sebetulnya dapat dipikirkan sejak awal perencanaan pengembangan pertambangan. Secara ideal, perencanaan yang baik dan benar dapat menghindari pembukaan pertambangan dari potensi konflik dan akan diterima masyarakat setempat.

Adapun perencanaan yang ideal dimulai dari kajian pembukaan lahan, pertimbangan kesejahteraan masyarakat setempat, hingga proses perencanaan ke depan ketika tambang sudah ditutup. Menurut Tino, sejumlah strategi dapat dilakukan agar dapat menyeimbangkan ketiga aspek dalam keberlanjutan.

Pertama, seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah hingga pelaku usaha perlu mengetahui dan menyepakati aspek keberlanjutan. Dalam prosesnya, semua pihak termasuk masyarakat yang terdampak, perlu mendapat informasi yang transparan untuk menghindari konflik dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, semua peraturan perlu dipatuhi. Salah satunya adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Oleh karenanya, perlu adanya inisiatif mendorong terwujudnya aspek berkelanjutan di sektor ini.

Untuk mendorong aspek keberlanjutan pada sektor pertambangan, Katadata Insight Center (KIC) membuat indeks pemeringkatan perusahaan yang memiliki komitmen keberlanjutan yang bertajuk Katadata Corporate Sustainable Index (KCSI).

Selain mengukur seberapa jauh komitmen perusahaan dalam mempertimbangkan aspek keberlanjutan, indeks ini bertujuan untuk mendorong perusahaan-perusahaan lainnya yang masih belum memiliki komitmen hijau untuk mengarah ke sana.

KCSI Dorong Pertambangan Berkelanjutan

Panel Ahli KIC Mulya Amri atau yang biasa dipanggil Muly menyebutkan pentingnya mengukur aspek keberlanjutan pada sektor pertambangan karena memiliki dampak langsung terhadap lingkungan dan masyarakat.

“Sektor ini banyak berkaitan dengan pembukaan hutan dan penggunaan lahan, serta urusannya dengan masyarakat setempat,” katanya kepada Tim Riset Katadata, Kamis (12/1/23).

KIC menggunakan metodologi penilaian dengan mengikuti panduan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam POJK Nomor 51 Tahun 2017 dan dielaborasikan dengan Panduan Pelaporan Aspek Lingkungan Hidup Untuk Laporan Keberlanjutan yang diterbitkan oleh GRI dan CDP untuk menghasilkan KCSI.

Indeks ini menilai dua sektor strategis lainnya yaitu makanan dan minuman serta perkebunan. Adapun sejumlah pilarnya meliputi biaya lingkungan hidup, material ramah lingkungan, keanekaragaman hayati, pengaduan lingkungan, energi, emisi, air, serta limbah dan efluen.

Pada sektor pertambangan, penilaian dikelompokkan menjadi 4 sub-indeks mencakup energi dan air, emisi dan limbah, upaya lingkungan hidup dan sosial, serta sertifikasi. KIC membuat format yang sesuai dengan kajian CDP dan dicocokkan dengan data laporan keberlanjutan perusahaan yang ada.

“Kami berfokus pada indikator yang bisa diukur, menggunakan data yang bisa diakses secara terbuka untuk publik,” kata Muly.

KCSI mengukur kinerja keberlanjutan dengan mengambil laporan keberlanjutan 31 perusahaan. Setelah dihitung, muncul tiga perusahaan pertambangan yang menempati posisi tiga teratas yaitu PT Bukit Asam Tbk, PT Indika Energy Tbk, dan PT Golden Energy Mines Tbk.

PT Bukit Asam Tbk. bergerak di bidang pertambangan bahan-bahan galian terutama batu bara. Perusahaan ini mendapatkan indeks tertinggi yaitu 81,58 dengan sub-index energi dan air sebesar 90,12, emisi dan limbah sebesar 75,05, serta upaya lingkungan hidup dan sosial sebesar 61,16.

Pada peringkat kedua, terdapat PT Indika Energy Tbk. yang bergerak di sektor energi, logistik & infrastruktur, hingga mineral. Perusahaan ini memiliki nilai indeks sebesar 80,02 dengan sub-index energi dan air sebesar 87,45, emisi dan limbah sebesar 74,98, serta upaya lingkungan hidup dan sosial sebesar 57,63.

Selanjutnya, peringkat ketiga diduduki oleh PT Golden Energy Mines Tbk. dengan nilai indeks 80. Perusahaan ini memiliki nilai sub-index energi dan air sebesar 91,99, emisi dan limbah sebesar 75,08, serta upaya lingkungan hidup dan sosial sebesar 65,63.

“Kami harapkan dari indikator-indikator perhitungan yang sudah kami buka secara transparan ini bisa memacu perusahaan memperbaiki performa keberlanjutannya,” kata Muly.

Menurut Tino, adanya indeks yang mengukur aspek keberlanjutan pada sektor pertambangan memiliki peran strategis untuk memberikan pemahaman kepada pemangku kepentingan terkait sustainable mining. Sehingga, KCSI berperan penting dalam mengubah paradigma pertambangan nasional.

“Dengan adanya indeks ini, akan membukakan mata seluruh pihak bahwa sektor pertambangan belum sampai kesana (sustainable mining),” ucap Tino.