Aktivitas pembakaran sampah masih banyak dijumpai di wilayah Jabodetabek. Hal tersebut terungkap dalam laporan “Waste4Change Insight: Menelusuri Aktivitas Pembakaran Sampah Terbuka di Wilayah Jabodetabek” yang dirilis Waste4Change dan Yayasan Bicara Udara Anak Bangsa.
Dalam laporan tersebut, aktivitas pembakaran sampah di Jabodetabek tercatat mencapai 240,25 Gigagram (Gg) per tahun dan menghasilkan emisi karbon sebesar 12.627 Gg/tahun.
Angka tersebut setara pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan pada 2021 yang mencapai 14.280 Gg/tahun berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK).
Recycling Supply Chain Specialist Waste4Change Lathifah A. Mashudi mengatakan, kegiatan pembakaran sampah ini diperkirakan memberikan kontribusi emisi CO2 sebesar 9,42% terhadap emisi GRK nasional dari sektor pengelolaan sampah. Kegiatan ini setara dengan membakar hutan seluas 108.825 ha.
“Masih banyak pihak yang tanpa ragu membakar sampah meski sudah ada aturan terkait hal tersebut. Untuk itu, masyarakat dapat membantu mencegah terjadinya aktivitas pembakaran sampah dengan coba menegur terlebih dahulu baru kemudian melapor ke pihak atau layanan pengaduan tersedia agar dapat langsung dilakukan tindakan yang tepat,” ujarnya.
Aktivitas pembakaran sampah masih marak di Jabodetabek karena sejumlah faktor, seperti ketersediaan lahan untuk membakar sampah, kebiasaan yang dianggap lumrah oleh lingkungan sekitar, dan tempat tinggal tidak terlayani layanan angkut sampah.
Faktor lainnya adalah tidak mengetahui dan memahami adanya larangan dan bahaya pembakaran sampah, enggan membayar iuran, dan dianggap sebagai cara cepat menghilangkan sampah.
Padahal, aktivitas pembakaran sampah melanggar Perda No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah yang dapat dikenai sanksi administratif berupa uang paksa sebesar Rp 500 ribu bagi siapapun yang mengelola sampah dengan tidak tepat.
Di wilayah administratif DKI Jakarta pada 2022 hanya Kepulauan Seribu yang dilaporkan tidak ada kegiatan pembakaran sampah, sedangkan di wilayah lain masih ditemukan kegiatan tersebut.
Sebanyak 1.432 responden non-pelaku terdampak pembakaran sampah mengaku kegiatan tersebut berakibat terhadap gangguan kesehatan pernapasan, kulit, mata, serta berkurangnya jarak pandang. Aktivitas bakar sampah ilegal juga berpotensi menyebabkan pencemaran udara, air, dan tanah, serta kebakaran lahan dan perubahan iklim.
Aris Nurzamzami, Plt. Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olahraga, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mengatakan, dalam beberapa kajian, membakar sampah menghasilkan senyawa yang bersifat karsinogenik.
Satu ton sampah organik menghasilkan sembilan kilo partikel padat yang mengandung senyawa hidrokarbon berbahaya. Polutan udara seperti CO, SO2, O3, HC, CH4, N2O serta PM10 dan PM2,5 adalah contoh emisi dari pembakaran sampah.
“Berbahaya dan beracun, bisa menimbulkan penyakit berupa kanker hingga gangguan pertumbuhan fisik dan sistem saraf bagi yang baik sengaja atau tidak menghirup asap pembakaran,” katanya.
Masyarakat perlu memahami aturan pengelolaan sampah yang tepat untuk mencegah aktivitas pembakaran sampah. Beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan adalah pemilahan sampah dari sumber dan memanfaatkan jasa pengelolaan sampah di sekitar tempat tinggal.
Selain bank sampah, pengepul sampah dapat dilibatkan untuk mengelola sampah dan masyarakat dapat mengelola sampah organik dengan cara mengompos.
Diperlukan juga pengawasan langsung dan partisipasi aktif dari perwakilan setiap wilayah untuk membantu tindakan pencegahan di masyarakat. Pemerintah juga diharapkan dapat lebih meningkatkan ketersediaan akses ke pelayanan dan fasilitas persampahan kepada warga, menggalakkan sosialisasi larangan membakar sampah, melakukan penegakan hukum, serta bekerja sama dengan pihak lainnya dalam hal pengumpulan sampah
“Untuk mengurangi aktivitas bakar sampah, Bicara Udara menyediakan kanal Lapor Bakar Sampah sebagai wadah bagi non-pelaku yang merasa dirugikan dari pembakaran sampah juga sebagai langkah nyata untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya membakar sampah,” tutup Primadita Rahma selaku Community Specialist Bicara Udara.