Sore masih terang ketika Ramdhani Bayu Purnama (24) mengajak Tim Katadata menelusuri budidaya sereh wangi tak jauh dari wisata Geoforest Watu Payung. Hamparan sereh itu lokasinya tersebar di sekeliling tempat wisata. Ia mengapit jalan utama gerbang masuk, mengokupasi bekas lahan parkir, dan di antara puing-puing bekas hostel yang terabaikan.
Bayu, begitu ia biasa disapa, merupakan salah pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Sidomulyo III yang mengelola Geoforest Watu Payung. Hari itu, 24 Januari 2023, Bayu menunjukkan sisi lain Geoforest yang tak banyak orang ketahui.
Pengelola Watu Payung mulai menanam sereh wangi pada medio Oktober 2022, tak lama setelah mengikuti lokakarya yang diadakan Yayasan Bicara Data Indonesia. Budidaya sereh wangi menawarkan potensi pendapatan alternatif, selain dari ekowisata.
Menurut Bayu, budidaya sereh wangi tidak sesulit merawat tanaman palawija. Sereh wangi tumbuh berteduh di antara tegakan pohon jati yang tersebar di sekitar desa. Selain itu, sereh wangi juga lebih tahan terhadap hama.
“Kami menanam kurang lebih sehektar sereh,“ kata Bayu menjelaskan.
Lahan tanam ini berada di dalam wilayah perhutanan sosial berizin hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 17,5 hektare yang dikelola KTH Sidomulyo III.
Budidaya sereh biasanya memakan waktu empat bulan mulai dari persemaian hingga panen. Hasil panen akan dikumpulkan dan disimpan di sebuah gubuk terbuka. Di musim hujan, pemanen biasanya membentangkan tenda agar sereh tidak tempias basah. Hasil panen dijual ke pabrik penyuling minyak atsiri yang berasal dari Wonosari seharga Rp 400-450 ribu per truk pickup.
“Sekali panen bisa dapat 3-4 truk,” kata Bayu.
Ketua Pokdarwis Girisuko, Endarto bercerita warga biasanya bahu-membahu memanen sereh. Aktivitas ini melibatkan hampir seluruh anggota KTH, bahkan termasuk tim ternak. Pemanen mendapatkan upah Rp 50 ribu per hari dari hasil penjualan. Sisanya kemudian dimasukkan ke dalam uang kas KTH.
Melalui sereh wangi, Watu Payung dan KTH dapat memanfaatkan sereh sebagai produk konsumsi lokal, tanaman obat, dan minyak atsiri.
Upaya ini juga mendukung visi Watu Payung menjadi ekowisata berbasis edukasi pelestarian lingkungan. Edukasi tidak hanya menjadi fokus dari ekowisata, melainkan juga memberikan manfaat material pada warga desa setempat.
Desa dan Perhutanan Sosial Berjalan Bersama
Bayu, sebagai anggota KTH sekaligus BUMDes, berusaha membangun rencana strategis memadukan kebijakan desa dengan rencana kerja KTH Sidomulyo III mengelola PS. Paduan kebijakan ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan BUMDes Girisuko, Suko Lestari.
Suko Lestari resmi berdiri tahun 2017 dan saat ini memiliki program berupa persewaan fotokopi, truk molen semen, jual-beli peralatan kantor, dan kerjasama dengan BRI untuk program BRIlink. Ke depannya mereka berencana merambah ke pengelolaan ekowisata yang ada di Girisuko.
“Karena ada banyak wisata-wisata di Girisuko, kalau bisa itu saya jadikan satu terus kita jalan bersama,“ kata Ketua BUMDes Suko Lestari, Keman kepada Katadata (25/01).
Bayu mengatakan BUMDes dapat menjadi penghubung antara destinasi pariwisata dan instansi pemerintah lainnya. Saat ada kebutuhan atau masalah terkait wisata, destinasi pariwisata dapat berkoordinasi dengan BUMDes.
“Kan tujuan akhirnya nanti adalah peningkatan ekonomi di masyarakat tadi, bagaimana ekowisata di kawasan ini bisa meraih itu,“ tukas Bayu.
Kondisi ini juga sesuai dengan rencana Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY. Kepala Bidang Planologi dan Pengelolaan Niken Aryati menjelaskan bahwa DLHK sedang mengintegrasikan konsep pengelolaan kehutanan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Desa (RPJP Desa).
“Kawasan hutan ini bukan ruang hampa. Dia berada pada wilayah administrasi satu kawasan: wilayah administrasi kecamatan, wilayah administrasi desa, wilayah administrasi dusun. Nah itu, nanti kita integrasikan,” kata Niken kepada Katadata (24/01).
Saat ini kewenangan pengaturan kehutanan yang sebelumnya berada di pemerintahan kabupaten ditarik ke pemerintahan provinsi melalui UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, integrasi ini bisa difasilitasi melalui peran penyuluh hutan.
DLHK DIY juga mengembangkan konsep wana husada, mendorong masyarakat setempat untuk turut mengelola sekaligus mendapatkan manfaat dari PS. Pendapatan manfaat ini bisa didapatkan dari budidaya tanaman yang dapat diolah menjadi produk herbal.
Kegiatan pengembangan ini dapat dibiayai dana desa. Hal ini dijamin dengan ketetapan yang ada di Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 14 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Lampiran permen ini menjelaskan dana desa “dapat diprioritaskan untuk membiayai kegiatan perhutanan sosial.“ Dana ini juga bisa digunakan membantu pengadaan alat untuk pengolah pasca panen.
Langkah ke Depan
Saat ini sereh wangi hanya dipanen dan langsung dijual ke pemborong. Bayu bersama KTH dan BUMDes berharap selanjutnya pengolahan produk dari sereh wangi terjadi di Girisuko, sehingga memperkuat ekowisata dan memakmurkan warga.
“Apakah kita hanya sebatas memanen-menjual? Kan kita tidak bisa [begitu terus]. Kita harus ambil risiko, kita harus gambling. Kita harus berani mengambil sikap seperti itu,” kata Bayu dengan semangat.
Sampai saat ini, Keman menyampaikan bahwa sereh baru diolah untuk membuat minuman atau wedang. KTH telah mengajukan surat ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan riset melihat berbagai potensi olahan lain dari sereh wangi.
“[Hasil riset] adalah rujukan kita, pegangan kita. Ketika kita sudah mempunyai pegangan itu, ya kita bakal bergerak,” kata Bayu.
Selain itu KTH dan BUMDes berusaha mengakses sumber daya baru di dalam maupun dari luar desa. “Kita mencari celah untuk penganggaran penyulingan [sereh], atau untuk edukasi bisa diarahkan menjadi suatu paket wisata,” tukas Bayu.
Misalnya, Bayu melihat apakah kerjasama BUMDes dengan BRI dapat membuka akses pada dana corporate social responsibility (CSR) dari BUMN tersebut. Untuk saat ini, BUMDes berencana memberikan penyertaan modal untuk mendanai KTH.
Untuk rencana jangka panjang, KTH dan BUMDes mempertimbangkan perluasan lahan tanam sereh wangi menggunakan tanah kas desa. Bila berjalan dengan baik, desa dan KTH akan mengupayakan pembangunan fasilitas penyulingan untuk membuat minyak atsiri.
Dengan ini, sereh wangi dapat menjadi produk ciri khas Girisuko yang memikat dan menjadi sarana edukasi wisatawan, sekaligus sumber penghidupan bagi penduduk desa di luar KTH.