Transparency International Indonesia menyelenggarakan INDONESIA INTEGRITY FORUM (IIF) 2024: REBUILDING TRUST, RESTORING HOPE. di Jakarta pada hari Kamis, 10 Oktober 2024. Kegiatan ini didukung oleh 7 media partner, antara lain Tempo, The Jakarta Post, Katadata, Metro TV, Media Indonesia, Bijak Demokrasi, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, serta dihadiri oleh lebih dari 150 peserta yang berasal dari beragam latar belakang, termasuk personel kementerian/lembaga, kedutaan besar/organisasi internasional, partai politik, organisasi masyarakat sipil, dan jurnalis. INDONESIA INTEGRITY FORUM 2024 menyoroti sejumlah hal sebagaimana tertuang di bawah ini:
Transisi Kepemimpinan dan Transisi Demokrasi
Tahun 2024 menandai periode penting bagi Indonesia yang ditandai dengan transisi kepemimpinan baik di tingkat nasional maupun lokal. Periode ini menguji sejauh mana kemapanan demokrasi Indonesia, baik dari penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil, penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia, komitmen antikorupsi, hingga partisipasi warga yang bermakna. Fase transisi kepemimpinan diharapkan memperkuat indikator-indikator kemapanan demokrasi, sehingga Indonesia mampu turut “bertransisi” dari sekadar demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial.
Tidak dapat dipungkiri, tren yang terjadi belakangan di berbagai belahan dunia mengarah pada pelemahan demokrasi dan bahkan mendekati kembali otoritarianisme. Survei terbaru dari International IDEA misalnya menggarisbawahi adanya erosi kepercayaan terhadap demokrasi, dimana mayoritas warga di negara-negara yang diukur menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pemilu terakhir di negaranya. Indonesia mungkin tak jauh berbeda, dengan predikat demokrasi cacat menurut Democracy Index dan sebagai negara yang masuk ke dalam sepertiga negara terkorup berdasarkan Corruption Perception Index (CPI). Hal ini jelas mendesak adanya perbaikan serius dalam tata kelola demokrasi di Indonesia. Transisi kepemimpinan semestinya menjawab desakan tersebut, meneguhkan kembali harapan dan komitmen Indonesia terhadap demokrasi.
Kemunduran Demokrasi Pada Era Kleptokrasi
Kemunduran demokrasi sangat terasa dalam 5 tahun terakhir, ditandai dengan beberapa hal: pertama, proses pembentukan undang-undang yang menunjukkan praktik "abusive law making", yaitu hilangnya akuntabilitas dan minimnya ruang-ruang partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, revisi Undang-Undang KPK, revisi Undang-Undang Minerba, pembentukan Undang-Undang IKN, revisi Undang-Undang Kementerian Negara, dan masih banyak lagi. Semuanya dilakukan dalam waktu yang sangat cepat dan tanpa konsultasi publik yang memadai.
Kedua, kerusakan institusi demokrasi disebabkan oleh orang-orang yang dipilih secara demokratis. Demokrasi (prosedural) juga dimanfaatkan untuk melegitimasi pelemahan agenda pemberantasan korupsi, serta menormalisasi konflik kepentingan yang lahir akibat berkelindannya politik dan bisnis serta nepotisme.
Ketiga, terjadi kooptasi terhadap aktor penegak hukum. Pengisian jabatan strategis dalam institusi penegakan hukum bukan saja dipengaruhi, melainkan dikendalikan, oleh partai politik. Sebut saja dalam proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas KPK dan hakim agung yang sarat dengan kepentingan kelompok elit dan penguasa. Sementara itu, Presiden abai untuk mengkonsolidasikan aparat penegak hukum untuk bersinergi.
Keempat, lemahnya pendidikan politik terhadap masyarakat. Masyarakat dibiarkan untuk tidak secara utuh memahami nilai-nilai demokrasi. Demokrasi yang dipahami seolah terpisah dengan makna demokrasi sosial. Sementara itu, desain pemilu telah menjadikan mustahil masyarakat dapat berpikir kritis. Masyarakat juga dididik untuk menganggap korupsi sebagai suatu hal yang lumrah sebagai bagian dari ongkos politik, serta permisif terhadap fenomena pelanggaran etik oleh pejabat publik dan politisi.
Melindungi dan Menavigasi Demokrasi
Demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh secara cuma-cuma. Sebaliknya, demokrasi harus terus diupayakan tanpa kenal lelah. Tidak terpisahkan dari upaya tersebut adalah pemberantasan korupsi dan supremasi hukum. Kita semua adalah aktor demokrasi dan harus mengambil bagian dalam upaya tersebut.
Transisi kepemimpinan pada 2024 menjadi momentum untuk meneguhkan kembali harapan dan komitmen Indonesia terhadap demokrasi di masa mendatang. Untuk itu sejumlah kriteria dalam demokrasi harus dipenuhi. Pertama, proses legislasi yang "fast track" harus dibatasi karena berpotensi menjadi "abusive law making" yang jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional dan bebahaya secara politik dan ekonomi. Pemerintah dan DPR juga harus menjalankan mekanisme checks and balances dalam proses legislasi sebagaimana mestinya dalam sistem presidensial agar produk hukum yang dihasilkan tidak bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Sementara itu, produk hukum yang nyata-nyata dikehendaki masyarakat, seperti mengenai perampasan aset, pembatasan transaksi uang kartal, dan lain-lain harus menjadi prioritas.
Kedua, demokrasi tidak boleh berhenti sebagai prosedur, melainkan harus menjadi sistem nilai dan etika. Dalam rangka itu normalisasi atas konflik kepentingan harus dihentikan dan sebaliknya, konflik kepentingan harus dikenali sebagai potensi dari perilaku korup dan tindak pidana korupsi. Sebagai isu utama, pemberantasan korupsi harus dipimpin langsung oleh Presiden dengan tetap menjamin independensi institusi penegakan hukum. Presiden harus menginisiasi komunikasi efektif lintas aktor untuk menyusun strategi bersama dalam memberantas korupsi.
Ketiga, tidak ada demokrasi tanpa partai politik yang demokratis. Oleh karenanya reformasi partai politik sebagai suprastruktur politik harus dijalankan. Sejalan dengan itu pemilu sebagai prosedur demokrasi juga harus didesain untuk menghasilkan substansi demokrasi yang beradab, bukan transaksional. Rekrutmen politik harus paripurna memenuhi seluruh nilai demokrasi.
Keempat, pendidikan sangat penting untuk menciptakan warga negara yang kompeten dan kritis dalam mempertahankan demokrasi. Demokrasi yang sakit disebabkan oleh kesenjangan pengetahuan warga tentang demokrasi substansial. Warga negara harus dididik menggunakan haknya dan menjadi aktor untuk turut serta dalam proses bernegara. Ruang-ruang partisipasi dalam semua aspek penyelenggaraan kekuasaan harus menjadi medan juang bersama untuk mencapai tujuan demokrasi, termasuk keadilan sosial.