Pengamat Bicara soal Pengesahan RKUHAP

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nym.
Menteri Sekretariat Negara Prasetyo Hadi (kedua kiri) bersama Wakil Menteri Sekretariat Negara Bambang Eko Suhariyanto (kedua kanan) dan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) menerima berkas pandangan fraksi dari anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan (kanan) saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Dalam rapat tersebut Komisi III DPR dan pemerintah menyetujui hasil laporan Panja pembahasan RKUHP
21/11/2025, 15.41 WIB

Jakarta — Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang menandai babak baru dalam reformasi hukum acara pidana Indonesia.

Namun, dinamika respons publik yang muncul justru memantik kekhawatiran para ahli karena banyak informasi yang diduga sengaja diedarkan di media sosial secara tidak utuh untuk menimbulkan kesalahpahaman publik.

Peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, angkat bicara menanggapi derasnya perdebatan tersebut. Ia menegaskan RUU KUHAP tidak boleh dipersepsikan sebagai instrumen pembatasan hak warga negara.

“KUHAP baru justru menawarkan koreksi terhadap persoalan tersebut. Mulai dari penguatan peran advokat atau penasihat hukum sejak tahap awal hingga standardisasi penahanan,” ungkapnya.

Bawono menjelaskan bahwa salah satu fokus penting KUHAP baru adalah penataan ulang mekanisme praperadilan, yang diposisikan sebagai pilar penguatan perlindungan hak warga negara dalam proses hukum.

“Penataan ulang praperadilan pun turut menjadi concern KUHAP baru sebagai bagian ikhtiar memperkuat hak warga negara,” jelasnya.

Namun, menurut Bawono, substansi pembaruan tersebut justru tertutup oleh arus informasi keliru di ruang digital yang menyebar tanpa konteks.

“Berbagai substansi pembaruan inilah harus menjadi pusat dari perbincangan diskursus publik. Akan tetapi hal saat ini terjadi di ruang publik justru disinformasi akibat atmosfer dari komunikasi digital,” jelasnya.

Ia mencontohkan bagaimana salah satu pasal yang sebenarnya dirancang memperkuat akuntabilitas malah dipelintir menjadi ancaman bagi masyarakat.

“Ada sebuah pasal dirancang untuk memperkuat akuntabilitas tetapi justru ditafsirkan sebagai sebuah ancaman bagi publik,” terangnya.

Bahkan, pembaruan yang sejatinya hadir untuk melindungi hak warga negara justru dibingkai dalam narasi sebaliknya.

“Kemudian pembaruan hukum ditujukan untuk melindungi warga negara dibingkai seolah-olah sebagai pembatasan hak warga negara,” sambungnya.

Karena itu, Bawono menilai tantangan utama pasca-pengesahan KUHAP baru bukan soal boleh atau tidaknya publik mengkritisi pasal-pasal di dalamnya, melainkan bagaimana membangun ruang diskusi yang sehat dan terverifikasi.

“Karena itu persoalan utama saat ini setelah pengesahan RUU KUHAP bukan apakah kita boleh atau tidak boleh mengkritisi pasal demi pasal tetapi bagaimana pemerintah dan publik luas dapat bersama-sama membangun ruang perbincangan dan diskusi di mana memungkinkan terjadi verifikasi dan interpretasi secara rasional terhadap KUHAP baru tersebut,” katanya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.