Persoalan yang muncul di industri sawit, mulai dari kerusakan lingkungan, konflik lahan, serta dinamika perdagangan internasional, memacu perkebunan dan pabrik sawit di Indonesia menerapkan prinsip sawit berkelanjutan. Indonesia memiliki sistem sertifikasi bernama Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), sedangkan sistem sertifikasi level internasional ada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Keduanya memiliki beragam prinsip dan kriteria yang bisa saling menguatkan dalam penerapan sawit berkelanjutan.
Ada empat klasifikasi dari beragam prinsip dan kriteria yang dimiliki ISPO dan RSPO. Pertama, aspek hukum yang mewajibkan pelaku industri sawit menegakkan transparansi, termasuk pada rantai pasok. Pelaku industri wajib patuh pada hukum yang berlaku, serta pemanfaatan lahan sesuai kesepakatan dengan masyarakat setempat, sehingga tidak lagi timbul konflik lahan.
Selanjutnya adalah aspek ekonomi. Dalam aspek ini, pelaku industri sawit harus menerapkan ekonomi jangka panjang. Prinsip berkelanjutan juga tidak hanya diterapkan di perkebunan, namun juga di pabrik yang mengolah hasil sawit. Ditambah, harus ada kontribusi untuk daerah tempat perkebunan dan pabrik berdiri dalam pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu ada aspek sosial yang menekankan penerapan relasi yang adil dan transparan antara perusahaan dengan petani. Tidak boleh ada pelarangan serikat petani sawit, karena petani berhak berserikat. Selain itu yang tidak kalah penting juga kapabilitas petani harus ditingkatkan, supaya hasil sawit bisa optimal.
Dari aspek lingkungan, menjaga lingkungan dan melakukan konservasi sumber daya lingkungan mutlak dilakukan. Demi menjaga hutan, tidak boleh lagi ada tindakan deforestasi. Selain itu, isu limbah menjadi salah satu hal penting dalam industri sawit. Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia mengusulkan adanya pemanfaatan limbah cair menjadi energi alternatif.
Apabila semua prinsip sawit berkelanjutan diterapkan semua pelaku industri sawit, beragam manfaat bisa dinikmati. Polusi akan berkurang, produktivitas meningkat, manajemen risiko optimal, masyarakat bekerja dengan aman dan layak, hak atas tanah dan hak pemanfaatan pun dihormati. Kementerian Pertanian dalam Peraturan Menteri Pertanian No 11 Tahun 2015 menargetkan 70% hasil sawit Indonesia harus bersertifikat sawit berkelanjutan di tahun 2020.
Pada tahun 2017, Centre for International Forestry Research (CIFOR) melakukan pemodelan dampak penggunaan lahan perkebunan sawit di Kalimantan Barat pada tahun 2035 mendatang. Pemodelan ini menunjukkan bahwa model bisnis berkelanjutan memiliki keuntungan lebih besar dibanding model bisnis biasa. Model bisnis berkelanjutan akan menyelamatkan 1,94-2,77 juta ha lahan, menyimpan karbon 805-818 juta tC lebih banyak, nilai ekonomi stok karbon USD 8.918-8.528 ribu lebih banyak, serta nilai ekonomi dari jasa ekosistem USD 286-302 lebih banyak.