Dalam seminggu terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menunjukkan keperkasaannya. Mata uang Indonesia itu menguat cukup stabil, dari level Rp 15.000/US$ menjadi Rp 14.500/US$. Bahkan, rupiah berhasil menjadi mata uang terkuat di Asia yaitu dengan apresiasi nilai tukar hingga 4,2%. Penguatan ini di atas negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, India, Singapura, Hongkong dan Cina.
(Lihat : Rupiah Memimpin Penguatan Mata Uang Asia di Awal November 2018)
Penguatan rupiah tersebut disebabkan berbagai hal. Kepala Riset Ekonomi Danareksa Research Institute, Damhuri Nasution memaparkan beberapa sumber penguatan rupiah, antara lain pemberlakukan pasar valas berjangka Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil serta optimisme pelaku pasar akan pertemuan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, turut andil terhadap menguatnya rupiah.
(Lihat : Beda Gejolak Ekonomi Tiga Dekade)
Hal lain yang membuat rupiah kembali perkasa adalah, inflasi di Indonesia yang dalam setahun ini sangatlah stabil. Tak hanya itu, perbaikan kondisi pasar keuangan seperti terkoreksinya indeks dolar AS hingga derasnya aliran dana asing pada pasar saham dan pasar obligasi menjadi faktor penguatan rupiah.
Keringanan kepada delapan negara untuk tetap bisa membeli minyak dari Iran setelah pengenaan sanksi penuh oleh AS sehingga memicu harga minyak dunia turun, menjadi salah satu penyebab rupiah kembali digdaya.
(Baca : Lima Sebab Menguatnya Kurs Rupiah dalam Waktu Cepat)