⁠⁠Praktik jual beli jabatan kian marak terjadi di Indonesia. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) memperkirakan transaksi dari kecurangan tersebut mencapai Rp 35 triliun. Nilai ini dihitung berdasarkan potensi tarif kursi pegawai negeri dan pengangkatan pejabat. Sementara kerugian negara akibat kegiatan ini diyakini jauh lebih besar karena pejabat yang membayar mahar akan menggarong anggaran untuk mengembalikan modal.

(Infografik: Jokowi: Koruptor Belum Jera)

Menurut KASN lego posisi setidaknya terjadi pada separuh pengangkatan 250 ribu pegawai per tahun dengan rata-rata “tarif” Rp 100 juta. Sementara sebanyak 90 persen dari pengisian 21 ribu jabatan kepala dinas di 34 provinsi di 514 kabupaten/kota juga disinyalir diperjualbelikan dengan mahar RP 1 miliar. Penangkapan Bupati Klaten Sri Hartini Desember lalu memberikan konfirmasi soal besaran “tarif” pengangkatan di setiap golongan aparatur sipil negara.

(Databoks: Korupsi dan Birokrasi Menjadi Kendala Utama Berusaha)

Semakin maraknya praktik jual beli jabatan terlihat dari meningkatnya jumlah laporan percaloan yang diterima oleh KASN. Selama 2016, KASN menerima 278 pengaduan. Pada tahun sebelumnya KASN mendapat 191 laporan. Untuk itu, pemerintah akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengevaluasi penempatan pejabat. Satgas tersebut terdiri dari perwakilan KASN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Daerah, dan Kementerian Dalam Negeri.

(Baca: Sri Mulyani: Saya Pernah Diberi Amplop Isi Dolar AS oleh Gubernur)

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan, menyatakan bahwa praktik jual beli jabatan menjadi pintu masuk ke korupsi yang lebih luas. Untuk mengamankan posisi, birokrat dituntut menyetor dana. Oleh sebab itu, birokrasi menjadi pelaku korupsi utama disusul anggota dewan pusat maupun daerah serta kepala daerah.