Bank Dunia menghentikan penyajian laporan kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/ EoDB) setelah terungkapnya dugaan manipulasi data. Dugaan ini berdasarkan hasil investigasi firma hukum WilmerHale berjudul “Investigation of Data Irregularities in Doing Business 2018 and Doing Business 2020” yang pada 15 September 2021.
Berdasarkan investigasi tersebut, Bank Dunia kemudian melakukan serangkaian tinjauan dan audit atas laporan dan metodologinya. Dalam laporannya, WilmerHale mencatat adanya persoalan etika dari petinggi Bank Dunia, “budaya racun”, serta ketidakkonsistenan kebijakan dalam pembuatan EoDB.
Kasus diawali dari kekecewaan Tiongkok atas hasil EoDB 2018 yang turun dari peringkat 78 menjadi 85. Petinggi Bank Dunia lantas melakukan serangkaian pertemuan untuk merespons kekecewaan Tiongkok. Hal ini juga dilakukan seiring dengan rencana penambahan modal Tiongkok di bank tersebut.
Akhirnya, pihak internal EoDB memutuskan untuk mengubah indikator kemudahan bisnis untuk Tiongkok. Hal ini dilakukan dengan hanya memasukkan dua kota di Tiongkok yang memiliki skor tertinggi. Peringkat Tiongkok pun naik ke posisi 78, sama seperti tahun sebelumnya.
Manipulasi selanjutnya terjadi untuk peringkat kemudahan berusaha Arab Saudi. Hal ini diawali dari pernyataan pejabat senior Bank Dunia untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara bahwa Yordania sebagai “Top Improvers” pada EoDB 2020 tidak akurat.
Di sisi lain, Arab Saudi kecewa karena tidak berada di posisi atas sebagai Top Improvers. Padahal Arab Saudi telah berperan dalam proyek Reimbusable Advisory Services (RAS) yang digagas Bank Dunia. Sama seperti Tiongkok, terdapat pertemuan yang membahas mengenai manipulasi indikator sehingga Arab Saudi berhasil menjadi Top Improvers.
Terakhir manipulasi terhadap data Azerbaijan. Petinggi EoDB menilai negara itu belum melakukan banyak reformasi untuk memperbaiki iklim berusaha. Dengan begitu, pimpinan EoDB pada saat itu mengubah data negara berdasarkan keyakinannya sendiri. Hal ini kemudian berdampak terhadap nilai Azerbaijan.