Pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto mewarisi beban pembayaran utang senilai Rp4.182,5 triliun sepanjang 2024-2029. Mayoritas utang jatuh tempo berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.617,1 triliun. Sedangkan pinjaman dalam negeri dan luar negeri sebesar Rp565,4 triliun.
Adapun pinjaman dalam negeri berasal dari pemda, BUMN, maupun perusahaan daerah. Sedangkan pinjaman luar negeri berasal dari kreditor multilateral, bilateral, swasta asing, dan lembaga penjamin kredit ekspor.
Utang jatuh tempo pada 2025, 2026, dan 2027 merupakan yang terbesar, yakni di atas Rp800 triliun dan sedikit melandai pada dua tahun berikutnya. Tingginya beban utang jatuh tempo berasal dari SBN, yang rata-rata mencapai Rp700 triliun per tahun.
Jika melihat pergerakan utang Indonesia dari 2002 hingga 2023, proporsi SBN dalam total utang negara memang mengalami peningkatan. Pada 2002, porsi SBN adalah 46,6% dari total utang negara Rp1.225 triliun. Pada 2023, porsi SBN mencapai 88,1% dari total utang Rp8.114,7 triliun.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, utang menjadi pilihan sebagai penggerak ekonomi, terutama saat pandemi Covid-19. Saat itu Indonesia membutuhkan hampir Rp1.000 triliun tambahan belanja ketika penerimaan negara turun 19% karena aktivitas ekonomi berhenti.
Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa pemerintahan Jokowi terus merangkak naik. Lonjakan tertinggi terjadi saat pandemi Covid-19. Pada 2021, rasio utang terhadap PDB Indonesia mencapai 40,7%. Setelahnya, rasio utang perlahan mulai turun. Pada 2023, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di angka 38,6%.
“Kalau negara ini tetap kredibel, APBN-nya baik, kondisi ekonominya baik, kondisi politiknya stabil, maka revolving itu sudah hampir dipastikan risikonya sangat kecil karena market beranggapan negara ini akan tetap sama,” kata Sri Mulyani pada rapat kerja Komisi XI DPR RI, pada Kamis, 6 Juni.