Pemerintah berencana mengubah skema subsidi tarif kereta api listrik (KRL) Jabodetabek. Penyaluran subsidi akan berbasiskan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada 2025. Dalam kalkulasi pemerintah, perubahan skema ini akan mendorong warga yang mampu untuk membayar tarif lebih mahal. 

Skema ini menuai sorotan lantaran dinilai bertentangan dengan tujuan subsidi yakni menjamin pelayanan transportasi yang terjangkau bagi publik. Sebelumnya, skema subsidi KRL berbasis NIK ini tertuang dalam buku Nota Keuangan RAPBN 2025. Dalam dokumen tersebut, disebutkan terkait rencana perbaikan pengelolaan subsidi kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO) yang diterima PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Empat poin perbaikan yang dimaksud adalah:

  1. Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek
  2. Pelaksanaan penilaian kepuasan pelanggan dengan mekanisme survei indeks kepuasan masyarakat (IKM) pada KA penugasan PSO
  3. Mekanisme pengurangan pemberian subsidi pada KA penugasan PSO melalui skema perhitungan pendapatan non tiket
  4. Melakukan pelaksanaan verifikasi berbasis biaya pada penyelenggaraan KA PSO

Selama ini, PSO disalurkan ke PT KAI untuk perbaikan kualitas layanan kereta kelas ekonomi. Selain untuk KRL Jabodetabek, kontrak PSO juga disalurkan untuk kereta ekonomi jarak jauh, sedang, dan dekat, kereta ekonomi lebaran, kereta rel diesel (KRD) ekonomi, hingga KRL Yogyakarta.

Dalam RAPBN 2025, subsidi PSO untuk PT KAI dianggarkan mencapai Rp4,8 triliun. Pada 2023 lalu, alokasi PSO untuk PT KAI mencapai Rp2,5 triliun, yang mana 64%-nya atau Rp1,6 triliun disalurkan untuk subsidi KRL.

Meski menuai sorotan, beberapa pihak menyampaikan bahwa penyesuaian baru terkait tarif KRL memang diperlukan. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menyebut, penyesuaian diperlukan sebab tarif KRL sudah tidak berubah sejak 2016. Kondisi ini menurutnya menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat di wilayah lainnya.

Untuk diketahui, aturan tarif KRL sejak 2016 adalah tarif Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama. Setiap 10 kilometer berikutnya, akan bertambah Rp1.000 dengan rentang tarif maksimal (stasiun terjauh) mencapai Rp12.000.

“Rencana perubahan skema subsidi sebenarnya bagus, tetapi dihembuskan waktunya kurang tepat karena kondisi KRL sangat berdesakan, umpel-umpelan,” kata Djoko kepada Katadata.co.id, Senin 2 September lalu.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi belum menjelaskan detail lebih lanjut terkait rencana subsidi KRL berbasis NIK ini. Ia hanya menyebut akan memberikan yang terbaik untuk masyarakat dengan skema baru subsidi KRL. “Kami akan memberikan yang terbaik untuk masyarakat,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Senin, 9 September.

Reporter: Antoineta Amosella