Liputan Khusus | Katadata Green COP29

Konferensi tahunan PBB di bidang Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, mendapat label “The Finance COP” atau “COP Keuangan”. Jika dalam COP28 di Dubai, negara-negara menyepakati transisi untuk meninggalkan bahan bakar fosil, kini pada COP29, negara-negara punya tugas mencari jalan membiayainya.

Negosiasi mengenai New Collective Quantified Goal (NCQG) menjadi fokus utama. Ini adalah target pendanaan Iklim dari negara maju untuk negara berkembang yang sebelumnya disepakati US$ 100 miliar per tahun. Target ini berakhir di 2025 sehingga penting mencapai kesepakatan baru di COP29 November, tahun ini. Negosiasi mengenai ini telah berjalan tiga tahun, namun belum juga mencapai kata sepakat.

Berbagai kajian menunjukkan negara berkembang membutuhkan dana triliunan dolar untuk bisa mencapai target penanggulangan iklim. Selain dari investasi dan pajak karbon, dana diharapkan mengalir dalam bentuk hibah dan dana murah dari negara maju dan instansi keuangan global. Tujuannya, agar tidak membebani ekonomi dan keuangan negara berkembang.

Berdasarkan laporan Needs Determination Report 2021 yang dibuat Komite Keuangan dari badan PBB di bidang iklim, UNFCCC, biaya rencana aksi iklim negara berkembang mencapai US$ 6 triliun atau lebih dari Rp 94 ribu triliun di 2025. Kebutuhan biaya bisa jadi lebih besar jika melihat kajian Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC -- badan PBB yang dibentuk untuk menyediakan informasi ilmiah guna membantu pemerintah negara-negara mengembangkan kebijakan di bidang iklim .

Kajian dari IPCC menyatakan, dengan implementasi penuh rencana aksi yang ada sekarang, produksi emisi gas rumah kaca mencapai 51,5 Gigaton setara CO2 pada 2030. Angka ini hanya turun 2,6 persen dari 2019. Padahal, untuk menjangkar suhu global naik tidak lebih dari 1,5 derajat celcius dari era pra-industri sesuai kesepakatan Paris atau Paris Agreement, produksi emisi pada 2030 perlu turun 43 persen dari realisasi 2019. Di tahun 2035, emisi neto perlu turun 60 persen dari 2019.

Dalam pidatonya beberapa bulan lalu, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB Simon Stiell menilai lompatan pendanaan iklim sangat mungkin terjadi. “Menteri keuangan, CEO, investor, dan bank pembangunan mengelola triliunan dolar. Sudah saatnya dana tersebut dialihkan dari energi dan infrastruktur masa lalu menuju masa depan yang lebih bersih dan Tangguh,” kata dia.  

Namun, situasi ekonomi dan politik negara-negara maju membuat lompatan pendanaan, khususnya pendanaan murah, menjadi buram. Begitu juga target menjangkar kenaikan suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat celcius dari era pra-industri. Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS misalnya, telah membawa kembali kekhawatiran AS mundur dari komitmennya dalam Paris Agreement, sebagaimana terjadi saat Trump menjabat sebelumnya pada 2017-2021.

Trump telah lama mengkritik kebijakan-kebijakan di bidang iklim sebagai "green new scam" alias "penipuan hijau baru".

Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: