3 Cerita Rakyat Lampung Mengisahkan Asal-Usul hingga Sosok Pemimpin

YouTube/Dongeng Kita
Ilustrasi, cerita rakyat Asal Usul Provinsi Lampung.
Penulis: Ghina Aulia
Editor: Intan
12/5/2023, 10.00 WIB

Lampung merupakan provinsi yang dijuluki Sai Bumi Ruwa Jurai yang terletak berdekatan dengan Pulau Jawa. Diketahui bahwa Lampung terdiri atas 13 kabupaten dan dua kota.

Kaya akan budaya, Lampung juga memiliki cerita rakyat yang menjadi bagian darinya. Meski tidak mau siapa pencipta dan darimana asalnya, kisah tetap lestari dan disebarkan dari mulut ke mulut.

Sebelum itu, patut diketahui bahwa cerita rakyat memiliki beberapa jenis. Berikut penjelasannya.

Jenis-jenis Cerita Rakyat

1. Mitos

Diketahui bahwa mitos merupakan cerita rakyat berupa prosa yang diakui kebenarannya ketika masyarakat memercayai kesuciannya. Di dalamnya terdapat tokoh atau karakter dewa atau setengah dewa.

2. Legenda

Prosa rakyat satu ini kerap dianggap benar. Adapun yang membedakannya dari mitos adalah sifatnya yang tidak dipercaya sebagai hal yang suci.

3. Dongeng

Dongeng sejatinya diyakini sebagai kisah buatan orang di masa tertentu. Sama-sama bersifat fiktif, dongeng tidak memiliki kaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Terkait dengan itu, kali ini Katadata.co.id akan mengisahkan beberapa cerita rakyat Lampung. Selengkapnya, simak tulisan berikut.

Cerita Rakyat Lampung: Sultan Domas

Sumber: Daerah Kita

Alkisah di sebuah kota tua bernama Sukadana di daerah Lampung, tinggallah seorang pemuda yang hidupnya serba kekurangan. Pemuda itu bernama Domas. Penduduk yang tinggal di desanya saat itu masih sangat sedikit. Kebanyakan dari mereka hidup dalam kesederhanaan dengan mata pencaharian berladang dan berkebun.

Setelah kedua orang tua Domas meninggal dunia, tidak ada sanak saudara yang bisa dijadikan sandaran hidup. Hidup dalam kemiskinan membuat Domas sering dihina oleh penduduk desa. Karena itu Domas jarang sekali keluar dari gubug reyot peninggalan orang tuanya untuk bergaul dengan penduduk sekitar. Walaupun demikian, tidak ada sedikitpun dendam di hati Domas atas perlakuan penduduk kepada dirinya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Domas mencari ikan di sungai yang letaknya tidak jauh dari tempat ia tinggal.

Suatu hari Domas pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah dirasa cukup ia pun kembali pulang. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika sampai, ia mendapati gubug tuanya telah dibakar orang. Ia sangat sedih, hatinya sangat kecewa. Kini, tidak ada lagi yang tersisa. Domas yang tinggal sebatang kara tidak tahu harus kemana lagi untuk mencari tempat berlindung. Akhirnya, untuk sementara waktu, Domas memutuskan tidur di bawah sebuah pohon tak jauh dari bekas gubuknya yang terbakar.

Malam pun tiba, Domas yang kelelahan akhirnya tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa seorang kakek berjanggut putih. Kakek itu berkata padanya, “Hai Domas, pergilah kau ke arah selatan. Carilah sungai besar yang dikelilingi banyak pohon besar. Jika au sudah berhasil menemukannya, menetaplah kau di sana. Untuk memenuhi kebutuhan hidupmu sehari-hari, bukalah ladang, lalu tanami dengan sayur-sayuran dan buah-buahan.”

Tidak berapa lama, Domas terbangun dari tidurnya. I masih merasa bingung dengan pesan kakek yang ditemui dalam mimpinya itu. “Haruskah aku mengikuti pesan dari kakek tadi?” pikirnya. Tapi, hendak kemana lagi ia pergi, ia sudah tidak memiliki tempat tinggal dan tak ada pula sanak saudara. Penduduk desa pun tak mempedulikan nasibnya. “Tak ada salahnya aku mengikuti pesan si kakek,” pikir Domas kembali.

Kemudian, dengan tekad bulat, pagi-pagi sekali Domas pergi meninggalkan desa. Domas melakukan perjalanan yang cukup jauh, melalui berbagai kampung hingga keluar masuk hutan dan menghadapi berbagai macam rintangan seperti serangan binatang buas maupun gangguan makhluk halus. Namun, Domas adalah pemuda yang cerdik sehingga ia mampu melalui semua tantangan itu dengan baik.

Waktu cepat berlalu. Tidak terasa Domas telah melakukan perjalanan selama berbulan-bulan. Ia pun tiba di sebuah hutan lebat yang memiliki sungai besar dan berair jernih. Untuk sesaat Domas tertegun di tempat itu. Ia teringat pesan kakek yang ditemuinya di dalam mimpi.

Ia merasa telah menemukan tempat yang sesuai dengan pesan si kakek. Domas lalu mengumpulkan dahan-dahan pohon serta daun-daun untuk membuat sebuah pondok yang mungil di tepi sungai. Sekarang daerah tepi sungai itu bernama Way Sekampung.

Setelah selesai membangun pondok mungilnya, Domas kemudian menebang pohon untuk membuka ladang. Ia hidup tenang dan tentram di tempat barunya itu. Jika ingin makan, ia tinggal pergi ke sungai menangkap ikan. Sayur mayur pun mudah didapat dari kebunnya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Tidak terasa Domas telah tinggal cukup lama di daerah itu. Kehidupan yang tenang dan tidak ada kesibukan lainnya, membuat Domas sering bersemedi.

Suatu hari, dalam semedinya, Domas mendengar bisikan gaib. Ia pun diberi kesaktian berupa pedang dan tongkat kayu berbentuk ular. Betapa bahagia hati Domas mendapatkan kesaktian itu. Orang-orang kemudian mulai terbiasa memanggilnya dengan nama Sultan Domas.

Semakin lama, semakin banyak orang dari berbagai tempat yang datang berkunjung ke daerah yang dibuka Domas. Di antara mereka ada yang mencari kayu untuk membangun rumah, ada yang mencari rotan, dan ada yang mencari ikan di sungai. Kebanyakan dari mereka pernah bertemu dengan Sultan Domas. Meskipun usianya terus bertambah dan semakin lanjut, tetapi Sultan Domas tetap terlihat sehat dan kuat.

Tidak jarang para pencari ikan diselamatkan oleh Sultan Domas dari serangan buaya-buaya yang hendak memangsa mereka. Selain itu, para pencari rotan juga sering diselamatkan oleh Sultan Domas dari serangan hewan-hewan buas. Oleh sebab itu, nama Sultan Domas semakin dikenal oleh masyarakat sebagai orang tua yang sangat bijaksana dan suka menolong. Ia pun semakin dihormati karena selalu menolong orang tanpa pamrih.

Meskipun Sultan Domas telah banyak berbuat baik kepada semua orang, tetapi masih ada saja orang-orang yang iri dengannya. Bahkan, mereka juga berniat jahat padanya.

Suatu hari, ketika Sultan Domas mencari ikan di hulu Way Sekampung, datanglah lima orang laki-laki tidak dikenal masuk ke dalam pondoknya. Rupanya mereka hendak mencuri barang-barang, termasuk dua pusaka milik Sultan Domas.

Setelah semua barang dan benda pusaka milik telah berhasil mereka curi, kelima lelaki tersebut berusaha untuk segera pergi meninggalkan pondok dan membakarnya. Akan tetapi, anehnya api selalu mati ketika disulut. Niat untuk membakar pondok Sultan Domas pun diurungkan. Namun, betapa terkejutnya kelima lelaki jahat itu ketika mereka akan meninggalkan pondok. Seekor ular besar dengan semburan berhawa panas menghadang mereka di pintu. Dengan penuh ketakutan mereka lari ke arah jendela dan berusaha keluar dari sana. Tetapi yang terjadi adalah seekor buaya besar yang siap menerkam sudah menunggu di balik jendela. Mereka sangat takut, sehingga tidak bisa ke mana-mana lagi sampai Sultan Domas pulang.

Melihat ada lima orang laki-laki di dalam pondoknya, Sultan Domas tidak terkejut. Dengan ramahnya, ia malah menjamu orang-orang jahat tersebut. Kelima lelaki itu tidak bisa berkata apa-apa. Mulut mereka seakan-akan telah terkunci. Setelah Sultan Domas mengucapkan salam kepada mereka, barulah mereka dapat berbicara kembali. Sultan Domas kemudian mengajak mereka untuk bermalam.

Keesokan harinya, kelima orang itu kembali ke kampungnya, dan menceritakan kejadian yang mereka alami kepada para tetangga. Cerita pun tersebar tentang adanya orang tua yang sakti dan bijaksana tinggal di dalam hutan Way Sekampung. Akhirnya, banyak orang datang ke Way Sekampung untuk tinggal dan membuka ladang di sana.

Semakin lama, Way Sekampung semakin ramai oleh penduduk, dan kemudian berkembang menjadi perkampungan. Yang di masa mudanya banyak dihina orang, setelah sampai masa tuanya Sultan Domas akhirnya dihormati. Ia bahkan diangkat menjadi pemimpin oleh penduduk di Way Sekampung. Kesabarannya selama ini ternyata berbuah manis.

Cerita Rakyat Lampung: Asal Mula Kota Bumi

Sumber: Dongeng Cerita Rakyat

Di wilayah Lampung Utara, seorang raja bernama Tutur Jimat berkuasa dengan adil dan bijaksana. Tutur Jimat adalah keturunan Ratu Darah Putih. Karena usianya yang sudah tua, ia bermaksud menyerahkan kekuasaannya kepada anak tertuanya bernama Paniakan Dalem.

Setelah menerima mandat untuk menggantikan ayahnya, Paniakan Dalem memimpin kerajaan dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya hidup tentram, damai, dan sejahtera.

Kemudian, Paniakan Dalem menikah dan dikaruniai seorang putra yang diberi nama Muhammad. Semakin lama, kerajaan semakin berkembang. Keturunan Ratu Darah Putih juga semakin banyak dan tersebar di mana-mana. Paniakan Dalem mulai memikirkan cara agar keturunan kerajaan ini dapat selalu mengenang leluhur mereka.

Suatu hari, Putra Mahkota datang menghadap ayahnya. “Ayahanda, saya ingin bertanya, siapakah Kuto Bumi itu?”
Raja Paniakan Dalem menjawab, “Kuto Bumi adalah nenek moyang kita. Beliau adalah ratu yang pernah memimpin daerah ini. Kita semua adalah keturunan beliau. Dari mana kau dengar nama tersebut?”

“Begini, Ayahanda, aku sedang berburu dan sampailah di sebuah kampung. Orang di sana memperkenalkan diri mereka dan mereka bilang bahwa mereka adalah keturunan Kuto Bumi. Bagaimana kalau kita namakan saja daerah ini dengan Kuto Bumi, Ayah? Dengan demikian, semua orang yang berasal dari sini dapat selalu mengenang leluhur mereka” kata Muhammad.

Paniakan Dalem gembira mendengar kata-kata putranya. Ia setuju untuk mengubah nama daerah tersebut menjadi Kuto Bumi.

Seiring dengan waktu nama Kuto Bumi menjadi Kotabumi dan kini menjadi ibu kota Lampung Utara.

Cerita Rakyat Lampung: Asal Mula Kota Lampung

Sumber: Dongeng Cerita Rakyat

Ada empat bersaudara bernama Ompung Silamponga, Ompung Silitonga, Ompung Silatoa, clan Ompung Sintalaga yang berusaha pergi menyelamatkan diri dari Tapanuli ke arah tenggara. Mereka pergi menyeberangi lautan dengan menggunakan rakit. Berhari-hari mereka terombang-ambing tanpa arah di tengah laut dengan persediaan makanan

yang semakin menipis. Sesekali ketika menemukan daratan, mereka berhenti untuk mencari bahan makanan dan kembali berlayar.

Suatu saat, Ompung Silamponga jatuh sakit. Kondisinya semakin lemah. Namun, ia tetap berniat meneruskan perjalanan. Sementara itu, ketiga saudaranya telah letih dan memutuskan untuk berhenti berlayar.

Tiba-tiba, terlihat sebuat rakit terombang-ambing di dekat mereka. Ketiga bersaudara yang sehat memutuskan untuk berpisah dengan Ompung Silamponga. Dengan hati-hati, mereka menggotong saudaranya yang sedang sakit parah tersebut ke rakit yang baru mereka temukan dan mendorongnya, sehingga terbawa arus menjauh dari mereka.

Ompung Silamponga sendirian terombang-ambing dengan rakitnya. Tubuhnya lemah sekali. Setelah sekian lama, rakitnya menghantam sebuah benda keras. Ompung Silamponga pun terbangun. Ia mendapati dirinya sudah terdampar di sebuah pantai yang ombaknya tidak begitu besar. Entah mengapa ia merasakan tubuhnya menjadi kuat dan sehat. Ia lalu berjalan menyusuri pantai. Ia menemukan sebuah sungai dengan air yang jernih. Ompung Silamponga pun berpikir untuk tinggal di daerah itu.

Setelah sekian lama tinggal di daerah itu, Ompong Silamponga merasa bosan. Lalu, ia pergi menjelajahi pulau tersebut. Ompong Silamponga menjelajahi hutan lebat.

Akhirnya, ia berdiri di sebuah puncak bukit, pemandangan dari sana sangat indah dan ia bisa melihat ada penduduk yang tinggal di kaki bukit.

Dengan perasaan gembira, tanpa sadar ia pun berteriak dengan kencang, “Lappung! Lappung! Lappung!” (Dalam bahasa Tapanuli, lappung berarti luas).

Ompung Silamponga turun dari bukit dan membuka perkampungan baru di sana. Ia menamakan tempat tersebut dengan nama Lappung. Ternyata di sekitarnya, tinggal juga sekelompok penduduk yang hidup sangat terbelakang. Ompung Silamponga menjalin hubungan baik dengan penduduk asli tersebut.

Semakin lama daerah itu semakin berkembang. Ompung Silamponga menghabiskan hidupnya di sana sampai meninggal dunia.

Nama Lampung diakui berasal dari dua hal. Pertama, dari kata-kata yang diteriakkan Ompung Simaponga di atas bukit ketika pertama kali menemukan daerah itu. Kedua, berasal dari sebagian nama Ompung Silamponga.