Apa itu Hari Raya Galungan? Ini Penjelasan dan Rangkaian Kegiatannya

freepik
Apa itu Hari Raya Galungan?
Penulis: Anggi Mardiana
Editor: Safrezi
25/9/2024, 17.29 WIB

Apa itu Hari Raya Galungan? Hari Raya Galungan merupakan peringatan keagamaan umat Hindu di seluruh Indonesia.  Dalam kalender Bali, peringatan Galungan diperingati setiap 6 bulan sekali, atau sekitar 210 hari.

Hari Raya Galungan untuk memperingati terciptanya alam semesta, dan merayakan kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan).  Umat Hindu merayakan Hari Galungan sebagai ungkapan syukur. Dilakukan dengan melakukan persembahan pada Dewa Bhatara, dan Sang Hyang Widhi.

Apa itu Hari Raya Galungan?

Apa itu Hari Raya Galungan? (freepik)

Apa itu Hari Raya Galungan? Galungan berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya bertarung. Galungan disebut juga “dungulan” yang artinya menang. Meski terdapat perbedaan penyebutan Wuku Galungan di Jawa maupun Bali, keduanya memiliki arti sama, yaitu wuku yang kesebelas.

Ketika peringatan Hari Raya Galungan, umat Hindu biasanya akan memasang Penjor (hiasan bambu yang sesuai dengan tradisi masyarakat Bali) di tepi jalan setiap rumahnya, yang merupakan aturan kehadapan Bhatara Mahadewa.

Sejarah awal perayaan Galungan belum diketahui secara pasti. Sementara itu, menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama dirayakan setiap hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) pada tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804.

Asal Mula Hari Raya Galungan

Tidak diketahui secara pasti bagaimana asal mula Hari Raya Galungan, sebelum populer di Bali, Hari Raya Galungan sudah dipopulerkan, dan dirayakan oleh umat umat Hindu di seluruh Indonesia. Berdasarkan catatan dalam Lontar

Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama dirayakan pada tahun 882. Namun, menyebabkan banyak raja yang berkuasa di Bali meninggal dunia di usia muda, dan seringkali bencana melanda Pulau Bali.

Pergolakan ini berakhir saat Raja Sri Jayakasunu memerintah. Sebelumnya Raja Jayakasunu bingung dengan penyebab banyaknya raja yang wafat di usia muda, dan banyak bencana yang menghantam wilayahnya.

Dalam pencariannya untuk menemukan jawaban, Raja Jayakasunu memutuskan untuk bersemedi, di mana ia juga menerima bisikan dari Dewi Durga. Berdasarkan cerita, Dewi Durga memberitahukan Raja Jayakasunu bahwa segala masalah, dan bencana yang terjadi di Pulau Dewata, karena rakyat Bali sudah tidak memperingati Hari Raya Galungan.

Dari pengalaman spiritual itu, Raja Jayakasunu memutuskan mengambil tindakan. Ia memberikan perintah kepada seluruh rakyatnya untuk kembali merayakan Hari Raya Galungan secara penuh.

Perayaan Galungan diadakan secara berkelanjutan sejak saat itu hingga sekarang, menjadi tradisi berharga yang terus dijaga, dan dilestarikan oleh masyarakat Bali. Hari Raya Galungan bukan hanya sebuah perayaan agama, tetapi menjadi simbol penting bagi kebersamaan, kesatuan, dan penghormatan terhadap tradisi, dan leluhur yang tetap berakar kuat dalam kehidupan dan budaya masyarakat Hindu di Indonesia.

Makna Hari Raya Galungan

Makna Hari Raya Galungan bertujuan untuk memperingati kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa, atau mewakili pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan. Perayaan Galungan juga mengajarkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu buruk. 

Dalam kepercayaan orang Hindu, hawa nafsu manusia terbagi menjadi tiga, di antaranya Kala Dungulan (nafsu ingin mengambil milik orang lain), Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa), dan Kala Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan cara apa pun).

Apa itu Hari Raya Galungan, menjadi momen untuk mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkat yang telah diberikan, termasuk terciptanya alam semesta, dan segala isinya.

Rangkaian Hari Raya Galungan

Tidak kalah penting dari mengetahui apa itu Hari Raya Galungan. Berikut rangkaian pelaksanaan Hari Raya Galungan:

1. Tumpek Wariga

Tumpek wariga merupakan salah satu rangkaian awal yang biasanya dilakukan sebelum Hari Raya Galungan, jatuh pada 25 hari sebelum Galungan. Tepatnya hari Sabtu atau Saniscara Kliwon Wuku Wariga. Tumpek Wariga disebut juga sebagai Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpeg Pengarah.

Saat Tumpek Wariga, Ista Dewata yang dipuja yaitu Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya yaitu dengan menghaturkan Banten (sesaji) yang berupa Bubur (bubur), disertai sesayut tanem tuwuh, canang pesucian dan diisi sasat.

Pemilik pohon akan mengelus, atau menggetok batang pohon sambil mengucap doa, atau harapan agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah, atau menghasilkan. Sehingga dapat digunakan saat upacara Hari Raya Galungan.

2. Sugihan Jawa

Sugihan Jawa berasal dari dua kata Sugi yang artinya bersih atau suci. Sementara Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Makna dari Sugihan Jawa yaitu penyucian segala sesuatu yang ada di luar manusia. Sugihan Jawa biasanya jatuh setiap hari Kamis, atau Wraspati Wage Wuku Sungsang.

Ketika hari Sugihan Jawa, umat Hindu biasanya melaksanakan upacara yang disebut Mererebon atau Merebu. Tujuan dilakukannya upacara ini, untuk menetralisir segala sesuatu negatif yang ada pada Bhuana Agung, disimbolkan dengan pembersihan Merajan dan Rumah.

3. Sugihan Bali

Sugihan Bali biasanya dirayakan saat hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang yang merupakan hari pembersihan/penyucian diri. Sugihan Bali dimaknai sebagai hari penyucian Bhuana Alit.
Tata pelaksanaannya dengan cara mandi, melakukan pembersihan fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih, sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari galungan yang semakin dekat.

Dapat disimpulkan apa itu Hari Raya Galungan adalah hari di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta, dan seluruh isinya. Peringatan Galungan untuk merayakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma).