7 Rangkaian Hari Raya Galungan dan Maknanya bagi Umat Hindu Sebagai Rasa Syukur
Rangkaian Hari Raya Galungan penting diketahui oleh umat Hindu. Dalam kalender Bali, Hari Raya Galungan diperingati setiap enam bulan sekali, atau 210 hari. Tepatnya pada Rabu, atau Buda Kliwon. Galungan biasanya dikaitkan sebagai peringatan kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kebatilan).
Inti dari Hari Raya Galungan bagi umat Hindu adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran, dan pendirian yang tenang. Bersatunya rohani dengan pikiran sebagai wujud kebaikan dalam diri, sedangkan kekacauan merupakan wujud adharma.
Rangkaian Hari Raya Galungan
Umat Hindu Bali biasanya merayakan Galungan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur. Setiap rumah akan dihiasi oleh penjor. Selain itu, umat Hindu akan melakukan persembahan kepada Sang Hyang Widhi. Berikut rangkaian Hari Raya Galungan:
1. Tumpek Wariga
Sebelum Hari Raya Galungan, umat Hindu biasanya melakukan rangkaian awal yang dikenal tumpek wariga. Kegiatan ini, dilakukan 25 hari sebelum Galungan, yaitu pada Sabtu, atau saniscara kliwon wuku wariga. Tumpek wariga dikenal juga sebagai tumpek bubuh, atau tumpek pengarah, atau tumpek pengatag.
Ketika tumpek wariga, Ista Dewata yang dipuja Sang Hyang Sangkara sebagai keselamatan tumbuh-tumbuhan, dan Dewa Kemakmuran. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya, yaitu dengan menghaturkan banten (sesaji) berupa bubuh (bubur), disertai sesayut tanem tuwuh, pesucian, dan diisi sasat.
Pemilik pohon akan mengelus, atau menggetok batang pohon sambil mengucap doa, atau harapan agar pohon yang diupacarai dapat segera menghasilkan atau berbuah. Dengan begitu, dapat digunakan saat upacara Hari Raya Galungan.
2. Sugihan Bali
Sugihan Bali merupakan rangkaian Hari Raya Galungan setiap Jumat kliwon wuku sungsang, yaitu hari penyucian, atau pembersihan diri. Makna Sugihan Bali sebagai hari penyucian Bhuana Alit. Pelaksanaannya dengan cara mandi, melakukan pembersihan fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat.
3. Sugihan Jawa
Sugihan Jawa memiliki makna hari pembersihan, atau penyucian dari segala sesuatu yang ada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Sugihan Jawa diperingati setiap hari Kamis, atau wraspati wage wuku sungsang.
Ketika hari Sugihan Jawa, umat Hindu biasanya melaksanakan upacara Mererebu, atau Mererebon. Tujuan upaca Ngerebon untuk menetralisir segala sesuatu negatif yang berada pada Bhuana Agung yang disimbolkan oleh pembersihan merajan dan rumah. Upacara Ngereboan di lingkungan Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa, Merajan Gede, Panti, dan Dadya akan diikuti dengan menghaturkan banten semampunya.
4. Hari Penyekeban
Hari Penyekeban merupakan rangkaian Hari Raya Galungan setiap Minggu pahing wuku dungulan. Makna filosofis dari "nyebeb dirinya" adalah mengekang diri agar tidak melakukan hal yang dilarang oleh agama.
5. Hari Penyajan
Hari Penyajan dimaknai sebagai waktu untuk memantapkan diri merayakan Hari Raya Galungan mendatang. Penyajan berasal dari kata “saja” dalam bahasa Bali artinya “benar” atau serius.
Berdasarkan kepercayaan, umat Hindu akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji bagaimana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat ke Galungan.
6. Hari Penampahan
Hari Penampahan dilakukan satu hari sebelum Hari Raya Galungan, tepatnya Selasa wage wuku dungulan. Pada hari ini, umat Hindu disibukkan oleh pembuatan penyembelihan babi dan penjor.
Penjor adalah bentuk ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang telah diterima selama ini. Penjor terbuat dari batang bambu melengkung yang diisi oleh hiasan sedemikian rupa.
Umat Hindu akan menyembelih babi yang dagingnya digunakan sebagai pelengkap upacara pada Hari Penampahan.
Hal ini, memiliki makna simbolis untuk membunuh semua nafsu binatang yang ada di dalam diri manusia.
Pada Hari Penampahan, para leluhur diyakini akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia. Sehingga masyarakat membuat suguhan khusus yang ditujukkan kepada leluhur yang menyinggahi mereka di rumahnya masing-masing.
7. Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan jatuh pada saniscara pon wuku dungulan. Pada hari ini, seluruh umat Hindu akan melakukan persembahyangan di Merajan, Panti, dan Pura. Bagi umat Hindu yang memiliki anggota keluarga, dan masih berstatus makingsan ring pertiwi (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib membawakan banten ke kuburan. Tradisi ini dikenal dengan istilah mamunjung ka setra.
Makna Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan diperingati oleh umat Hindu untuk menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran, dan pendirian yang tenang. Hari Raya Galungan memiliki makna kemenangan Dharma (kebaikan) melawan keburukan.
Saat Budha kliwon wuku dunggulan, kita merayakan, dan menghaturkan puja, dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan YME).
Makna Hari Raya Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi makna Hari Raya Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran, dan pendirian yang tenang. Dari konsepsi lontar Sunarigama dapat disimpulkan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.
Demikian rangkaian Hari Raya Galungan dan maknanya bagi umat Hindu. Saat Hari Raya Galungan, umat Hindu menghaturkan banten atau sesajen dari hasil bumi, air suci dan kue. Selain itu, umat Hindu juga akan bersembahyang di pura sambil mengenakan pakaian tradisional, dan membawa sesajen dari rumahnya masing-masing.