Menilik Sejarah Kerajaan Mataram Kuno dan Raja yang Berkuasa

Kelas Pintar
Kerajaan Mataram Kuno.
Penulis: Ghina Aulia
Editor: Intan
1/3/2023, 10.00 WIB

Nusantara merupakan sebutan tanah air ketika belum resmi berbentuk pemerintahan yang konkret seperti sekarang. Sebelum abad ke 10, Nusantara kerap disambangi oleh pendatang yang singgah untuk waktu yang tidak menentu dan cukup lama. Misalnya, ketika bangsa India yang masuk untuk melakukan ekspansi. Baik dalam hal memberikan pengaruh, berkuasa, menyebarkan budaya, atau hanya sekadar untuk berdagang.

Salah satu hasil dari kebudayaan yang dihasilkan ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Budha. Misalnya seperti kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singasari, Kutai, dan lain-lain.

Adapun yang akan dibahas lebih lanjut kali ini yaitu sejarah kerajaan Mataram Kuno yang didirikan oleh Ratu Sanjaya. Berdiri sekitar abad ke delapan, berikut penjelasannya.

Profil Kerajaan Mataram Kuno

Nama Kerajaan Mataram Kuno juga dikenal sebagai Kerajaan Madang, dengan ibu kota dari kerajaan berada di Mataram, Mamratipura, Poh Pitu, Tamwlang, Watugaluh, dan Wwatan. Kerajaan ini menganut budaya bercorak Hindu dan Budha. Adapun bahasa yang digunaka merupakan bahasa Jawa Kuno, Kawi, dan Sansekerta

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno juga biasa disebut kerajaan Medang yang terdapat di Jawa Tengah. Pada abad ke sepuluh, kawasan pemerintahan berpindah ke Jawa Timur.

Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Sanjaya yang berasal dari wangsa Syailendra. Diketahui bahwa wangsa merupakan dinasti atau kelanjutan kekuasaan yang diturunkan berdasarkan oleh garis keturunan.

Sanjaya memiliki gelar lengkap Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Hal ini tercantum di dalam prasasti Mantyasih pada tahun 907 dan dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung.

Pada tahun 732, Ratu Sanjaya menerbitkan prasasti Canggal yang membahas pendirian lingga dan bangunan candi di atas sebuah bukit. Diketahui bahwa tujuan didirikannya tempat tersebut yaitu untuk pemujaan dewa Siwa.

Prasasti Canggal juga memuat tentang adanya raja bernama Sanna yang bertakhta di Pulau Jawa. Sosok tersebut dikisahkan sebagai pemimpin yang bijaksana.

Raja Sanna diceritakan gugur dalam pertempuran. Setelahnya, kerajaan dipimpin oleh Sannaha yang berhasil menundukkan raja-raja dan menjadikan pulau Jawa kembali aman.

Namun, prasasti Canggal tidak sama sekali menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin oleh Sanna maupun Sannaha. Lain halnya dengan prasasti Mantyasih yang menyebutkan Sanjaya sebagai raja pertama di Medang.

Dari kedua prasasti tersebut, dapat disimpulkan bahwa posisi raja yang disabet Sanjaya bukanlah diwarisi oleh sang Ayah, yakni Sanna. Diprediksi bahwa kerajaan Medang atau Mataram Kuno merupakan monarki yang dibangun sendiri olehnya.

Kerajaan Mataram Kuno juga memiliki tradisi memuat jabatan lama setelah gelar Maharaja. Contohnya termuat di dalam prasasti Mantyasih, yaitu Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah balitung Dharmodaya Mahasambu. Artinya adalah Dyah Balitung merupakan kepala wilayah Watukura sebelum menjadi raja.

Hal ini juga berkaitan dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kata ‘Mataram’ di dalamnya dijadikan acuan bahwa kerajaan yang Sanna pimpin berlokasi di kawasan Mataram.

‘Dua Kubu’ Kerajaan Mataram Kuno

Pada kerajaan Mataram Kuno, terdapat dua kubu yang berasal dari wangsa Syailendra. Perbedaan terdapat kepercayaan yang dianut. Maka dari itu, dibagi menjadi Syailendra pemuja Dewa Siwa dan Syailendra Buddha Mahayana.

Syailendra pemuja Dewa Siwa berada di kawasan Jawa dan dipimpin oleh Rakai Pikatan, yakni raja Medang ketujuh yang memimpin pada tahun 847 hingga 855.

Sementara itu, Syailendra pemuja Buddha Mahayana berfokus di wilayah Sumatera dan dipimpin oleh Balaputradewa. Nantinya hal ini akan menyebabkan berdirinya kerajaan Sriwijaya.

Tentu perbedaan tersebut menjadi salah satu faktor runtuhnya kerajaan Mataram Kuno. Konflik memuncak ketika Syailendra di Sumatera menghasut vasal kerajaan Medang bernama Haji Wurawari untuk untuk memberontak saat Dharmawangsa Teguh bertakhta.

Kawasan ibu kota Wwatan yang berlokasi di Jawa Timur mendapat serangan. Hal tersebut tidak menyisakan sedikit kemenangan dan menjadi akhir dari kerajaan Mataram Kuno.

Raja Mataram Kuno

1. Sanjaya

Sanjaya memiliki gelar lengkap Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Seperti yang disebutkan di dalam prasasti Canggal, Sanjaya merupakan anak dari raja Sanna yang gugur di dalam pertempuran melawan musuh.

Sejak masa kepemimpinannya, Sanjaya juga menerapkan pemberian gelar dengan adanya jabatan sebelum menjadi raja. Hal tersebut dilakukan secara turun-temurun hingga pemimpin setelahnya.

Bergelar Ratu, ternyata Sanjaya merupakan sosok laki-laki. Diketahui pada kala itu, istilah Ratu tidak merujuk ke sosok pemimpin perempuan.

2. Rakai Panangkaran

Rakai Panangkaran merupakan saja kedua kerajaan Mataram Kuno yang merupakan putra dari pernikahan Sanjaya dan Dewi Sudhiwara. Ia memimpin sejak tahun 746 hingga 784.

Rakai Panangkaran memiliki gelar lengkap Sri maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana. Sosok Rakai Panangkaran sebagai raja Mataram Kuno banyak disebutkan di dalam berbagai prasasti seperti Raja Sankhara, Kalasan, Mantyasih, dan Wanua Tengah III.

3. Rakai Panaraban

Raja ketiga Mataram Kuno adalah Rakai Panaraban yang bertakhta sejak tahun 784 hingga 803. Disebutkan di dalam prasasti Wanua Tengah III, sosoknya menyandang gelar Sri Maharaja Rakai Panunggalan.

Dari situlah, raja ini lebih dikenal sebagai Rakai panunggalan. Ia menikah dengan seorang perempuan serta memiliki anak bernama Rakai Warak dan Rakai Garung yang akan bertakhta setelahnya.

4. Rakai Warak

Rakai Warak melanjutkan posisi raja Rakai Panunggalan sejak tahun 803 hingga 827. Namanya banyak disebutkan di sejumlah peninggalan. Di antaranya yaitu prasasti Mantyasih, prasasti Wanua Tengah III, dan naskah Wangsakerta.

Disebutkan bahwa Rakai Warak memiliki sejumlah gelar. Mulai dari Sri Maharaja Rakai Warak, Rakai Warak Dyah Manara, hingga Rakai Warak Dyah Watukura Lingganarottama Satyajayabhumi.

5. Dyah Gula

Pemimpin berikutnya adalah Dyah Gula yang merupakan anak dari Rakai Warak. Sosoknya diidentifikasi melalui prasasti Wanua Tengah III.

Dyah Gula memimpin pada tahun 827 sampai 829. Berasal dari wangsa Syailendra, dirinya diperkirakan naik takhta secara tidak wajar. Hal tersebut lantaran tidak adanya identitas daerah lungguh yang biasa termuat di nama maupun gelar. Nama lungguh biasa diikuti dengan kata ‘Rakai.’

6. Rakai Garung

Seperti yang sempat dibahas pada poin-poin sebelumnya, Rakai Garung merupakan anak dari Rakai Panunggalan. Bergelar Sri Maharaja Rakai Garung, dirinya banyak disebutkan di sejumlah prasasti, termasuk di dalamnya yaitu prasasti Pengging, mantyasih, Wanua Tengah III, hingga naskah Wangsakerta.

Rakai Garung menggantikan takhta keponakannya pada tahun 829 hingga 847. Menurut prasasti Pengging, dirinya memiliki gelar Rakaryan I Garung. Disinyalir bahwa sebelum resmi memimpin, sosoknya pernah menjadi pejabat tinggi kerajaan.

7. Rakai Pikatan

Rakai Pikatan atau Rakai Pikatan Dyah Saladu merupakan raka ketujuh yang memimpin pada tahun 847-855. Diketahui bahwa dirinya merupakan anak dari Rakai garung.

Nama Rakai Pikatan banyak disebutkan pada prasasti Wantil, prasasti Mantyasih, prasasti Wanua Tengah III, hingga naskah Wangsakerta.

8. Rakai Kayuwangi

Rakai Kayuwangi merupakan anak bungsu Rakai Pikatan dari pernikahannya dengan permaisuri Pramowardhani. Rakai Kayuwangi diketahui pernah membuat prasasti Kuti yang ditulis sekitar tahun 840.

Selain itu, diketahui juga bahwa dijadikannya Rakai Kayuwangi sebagai raja adalah karena jasanya dalam menghadapi musuh Rakai Pikatan dalam pertempuran.

9. Dyah Tagwas

Raja kesembilan di dalam sejarah kerajaan Mataram Kuno adalah Dyah Tagwas yang bergelar Maharaja Dyah Gwas Sri Jayakirtiwardhana. Hal tersebut disebutkan di dalam prasasti Er Hangat.

Dyah Tagwas memimpin tidak genap setahun. Sama seperti Dyah Gula, dirinya juga tidak memiliki nama lungguh.

10. Rakai Panumwangan

Rakai Panumwangan merupakan raja kesepuluh yang memimpin Mataram Kuno sekitar tahun 885 hingga 887. Nama Rakai Panumwangan disebutkan pada prasasti Wanua Tengah III dan prasasti Poh Dulur.

Sosoknya memiliki gelar Rakai Panumwangan Dyah Dewendra. Sementara itu pada prasasti Poh Dulur, ia disebut sebagai Rakai Limus Dyah Dewindra.

11. Rakai Gurunwangi

Raja terakhir kerajaan Medang atau Mataram Kuno adalah Rakai Gurunwangi atau Dyah Bhadra. Diketahui bahwa dirinya memimpin tidak genap satu tahun.

Setelah turun takhta, kerajaan mengalami kekosongan pemerintah hingga tahun 894.