ZIGI – SM dan YG Entertainment dikabarkan telah turun level. Kini, dua agensi hiburan terbesar di Korea Selatan tersebut tidak dianggap lagi sebagai perusahaan tingkat atas.
Selama bertahun-tahun, industri hiburan Korea Selatan dikuasai oleh tiga perusahaan raksasa antara lain SM, YG, dan JYP Entertainment. Kesuksesan agensi dengan para artis asuhannya ini membuat mereka dijuluki sebagai Big 3.
Namun berdasarkan laporan terbaru pada 4 Mei 2021, Korea Exchange mengumumkan bahwa SM dan YG Entertainment statusnya menurun dari perusahaan blue chip menjadi bisnis menengah biasa karena mengalami banyak kerugian ekuitas. Seperti apa penjelasannya? Simak artikel berikut.
SM dan YG Entertainment Dilaporkan Lengser dari Agensi Teratas di Korea
Dikutip dari Koreaboo pada Kamis, 6 Mei 2021, Korea Exchange melaporkan bahwa SM Entertainment diturunkan pangkatnya dari perusahaan blue chip setelah 13 tahun bertahan. Agensi yang digawangi oleh Lee Soo Man tersebut dipromosikan pertama kali bulan Maret 2008.
Sedangkan YG Entertainment juga turun pangkat setelah dipromosikan pada April 2013. ‘Rumah’ bagi BIGBANG, Blackpink, iKON, hingga TREASURE tersebut mampu bertahan di takhta teratas selama delapan tahun terakhir.
Korea Exchange Beberkan Statistik Penurunan yang Dialami SM dan YG
Korea Exchange pun mengungkap data statistik penurunan yang dialami oleh kedua agensi raksasa tersebut. Menurut kriteria pemilihan Korea Exchange, perusahaan dapat dipromosikan ke level blue chip jika mereka memiliki modal ekuitas lebih dari 70 miliar won (Rp893 miliar) dan kapitalisasi pasar rata-rata harus lebih dari 100 miliar won (Rp1,2 triliun) selama enam bulan terakhir.
Perusahan juga tidak boleh mengalami penurunan nilai modal, atau ketika total modal perusahaan kurang dari nilai nominal sahamnya. Akhirnya, perusahaan harus mempertahankan pengembalian rata-rata ekuitas (ROE) sebesar 5%, laba bersih minimal 30 miliar won (Rp38,2 miliar), dan penjualan lebih dari 50 miliar won (Rp637 miliar) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Adanya Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Kerugian
Baik SM Entertainment dan YG Entertainment tidak punya alasan untuk diturunkan pangkatnya. Berdasarkan hasil data dari tahun 2020, SM Entertainment memiliki total modal ekuitas 608 miliar won (Rp7,7 triliun), dan YG Entertainment sebesar 431 miliar won (Rp5,4 triliun). Angka tersebut sudah melebihi standar minimal perusahaan yang dianggap sangat baik (blue chip).
Data rata-rata penjualan selama tiga tahun juga menunjukkan bahwa kedua agensi meraup angka yang memenuhi kriteria. SM Entertainment mencatatkan 617 miliar won (Rp8,5 triliun) dan YG Entertainment sebesar 259 miliar won (Rp3,3 triliun).
Kendati demikian, SM Entertainment dan YG Entertainment sama-sama menyadari bahwa laba bersih sekaligus ROE perusahaan terus menurun, yang mana menjadi penyebab utama keduanya terdepak dari jajaran perusahaan blue chip.
Selama tiga tahun terakhir, SM Entertainment mengalami kerugian tahunan rata-rata sebesar 24,4 miliar won (Rp310 miliar) dengan ROE -3,8%. Sementara YG Entertainment sebesar 1,80 miliar (Rp22,8 miliar) dan ROE -0,5%.
Pandemi Covid-19 Jadi Sumber Kerugian Terbesar untuk SM dan YG Entertainment
2020 menjadi salah satu terburuk bagi SM Entertainment karena efek dari pandemi virus corona (Covid-19). Agensi tercatat mengalami kerugian bersih sebesar 80,3 miliar won (Rp1,023 triliun).
Sedangkan YG Entertainment memang mencatat laba bersih dengan mendapat untung 3,20 miliar won (Rp40 miliar) sepanjang tahun 2020. Namun, kerugian rata-rata selama tiga tahun terakhir mencapai angka 1,80 miliar won (Rp22,9 miliar).
Dari jajaran Big 3, JYP Entertainment menjadi satu-satunya agensi yang tetap mempertahankan status perusahaan sebagai blue chip. Meskipun agensi milik J.Y. Park itu memiliki rata-rata penjualan terendah sebesar 142 miliar won (Rp1,8 triliun), laba bersih perusahaan mencapai 28,4 miliar won (Rp361 miliar) selama tiga tahun terakhir. Dalam periode waktu yang sama, ROE untuk JYP Entertainment adalah 18,0 persen.
Sementara itu, SM dan YG Entertainment sama-sama turun level dari perusahaan blue chip menjadi bisnis menengah. Hal ini disebabkan karena kedua agensi mengalami penurunan pendapatan dan peningkatan kerugian akibat pandemi Covid-19. Kini, agensi raksasa tersebut gagal memenuhi standar sebagai perusahaan superior atau blue chip.