Advertisement
Advertisement
Analisis | Tanda Tanya di Balik Rapor Biru Keuangan Garuda Halaman 2 - Analisis Data Katadata

Pesawat Citilink, anak perusahaan Garuda Indonesia (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Pesawat Garuda Indonesia (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Garuda membukukan transaksi dengan Mahata Aero Teknologi dalam pos piutang sebesar US$ 233,1 juta. Selain itu, dalam pos yang sama terdapat piutang kepada PT Sriwijaya Air sebesar US$ 30,8 juta. Jumlah piutang tersebut bernilai US$ 263,9 juta, artinya terdapat selisih sekitar US$ 23,9 juta dengan pendapatan yang dicatat US$ 239,94 juta.

Meski memiliki nilai yang berbeda, kedua piutang tersebut merujuk pada transaksi yang sama, yaitu layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat.

Mahata Aero Teknologi ini berdiri pada 3 November 2017. Perusahaan yang berusia kurang dari dua  tahun itu memiliki nilai perusahaan (market value) sebesar Rp 10,49 miliar. Angka yang terbilang  kecil mengingat perusahaan ini memiliki kontrak hingga triliunan rupiah dengan BUMN besar.

Perusahaan ini bergerak di bidang penyediaan layanan internet pada transportasi udara. Grup Garuda Indonesia juga menyatakan tidak memiliki kerja sama dengan vendor lain terkait layanan hiburan dan konten di dalam pesawat.

Disisi lain, dalam keterbukaan informasi yang diunggah oleh perusahaan atas permintaan pihak Bursa Efek Indonesia (BEI), Garuda Indonesia mengakui pihaknya belum mendapatkan pembayaran dari kerja sama dengan Mahata Aero Teknologi.

Garuda Indonesia menjelaskan, pembayaran seharusnya diterima oleh perusahaan setelah penandatanganan kontrak kerja sama. "Saat ini Mahata sedang dalam proses finalisasi dengan investor," demikian tertulis dalam surat yang ditanda tangani oleh Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Fuad Rizal, Senin (6/5).

Kondisi Keuangan dan Beban Utang

Di tengah ketatnya persaingan pada bisnis penerbangan, kondisi keuangan Garuda memang tidak terlalu menggembirakan. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan pendapatan Garuda berkisar 4-8%. Sedangkan pertumbuhan profitabilitasnya malah menunjukkan angka negatif.

Berdasarkan data yang dikutip Bloomberg L.P; dalam 10 tahun terakhir, kerugian Garuda dimulai pada 2014. Saat itu Garuda rugi hingga US$ 370 juta, angka yang sangat besar mengingat sejak 2007 perusahaan ini selalu mencetak keuntungan berkisar US$ 50 juta hingga US$ 100 juta per tahun.

Penurunan performa keuangan sudah dirasakan sejak 2013. Meski masih mencatatkan keuntungan, laba perusahaan turun dari US$ 110,6 juta pada 2012 menjadi US$ 10,8 juta setahun kemudian. Tren ini berlanjut hingga 2014 yang mengalami kerugian hingga ratusan juta dolar AS.

Salah satu penyebab kerugian Garuda saat itu adalah tingginya beban biaya pemeliharaan dan perbaikan yang meningkat hampir 2 kali lipat. Di sisi lain, pendapatan Garuda hanya tumbuh rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

Dua tahun kemudian, Garuda mencoba bangkit dan kembali mencetak laba meski tidak terlalu tinggi. Pada 2015 dan 2016, perseroan masing-masing mencetak laba US$ 76,5 juta dan US$ 8,1 juta.

Rapor minus Garuda kembali terjadi pada 2017. Perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia ini kembali merugi US$ 214,9 juta. Kali ini, beban operasional menjadi penyebab utamanya. Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan, beban yang meningkat tajam adalah biaya bahan bakar yang tak mampu tertutupi oleh pendapatan.

Berlanjut tahun 2018, secara operasional Garuda Indonesia masih mencatat hasil negatif dari bisnis penerbangan yang menjadi tumpuan utamanya. Namun, secara keseluruhan perusahaan mengklaim sudah untung sebesar US$ 5 juta.

Bergeser pada sisi utang, dalam beberapa tahun terakhir, rasio total utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) perseroan menunjukkan tren kenaikan. Tahun lalu, DER Garuda mencapai 188,3 kali. Artinya, total utang yang ditanggung sudah 188 kali dari modal yang tersedia. DER tertinggi Garuda terjadi pada 2008 dengan 496,8 kali.

Dengan kondisi seperti ini, Garuda memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Perusahaan bukan hanya berusaha meningkatkan pendapatan dan meraup laba, tetapi juga harus mampu menutup utang agar tidak terus naik di masa mendatang.

***