Advertisement
Advertisement
Analisis | Sulitnya Menggaet Investasi Apple dan Tesla di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Sulitnya Menggaet Investasi Apple dan Tesla di Indonesia

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani/ AI
Presiden Jokowi meminta CEO Apple Tim Cook berinvestasi di Indonesia. Namun, Indonesia akan sulit menarik investasi asing tanpa mengubah iklim investasi dan strategi pengembangan industri di dalam negeri. Terutama investasi dari perusahaan-perusahaan berteknologi tinggi. Apalagi Indonesia selama ini masih mengandalkan sumber daya alam dan perkebunan sebagai komoditas ekspor utama.
Reza Pahlevi
1 Mei 2024, 07.20
Button AI Summarize

Seusai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi), CEO Apple Tim Cook mengatakan akan mempertimbangkan untuk menanamkan modal di Indonesia. Pernyataan pengganti Steve Jobs tersebut merespons permintaan Jokowi agar perusahaan elektronik asal Amerika Serikat (AS) ini mau berinvestasi di tanah air.

Tim Cook datang ke Jakarta dalam serangkaian kunjungan ke tiga negara Asia Tenggara yakni Vietnam, Indonesia, dan Singapura pada 15-19 April 2024. Di antara tiga negara, investasi Apple ke Indonesia yang terendah. Apple hanya berinvestasi senilai Rp1,6 triliun untuk membangun Apple Developer Academy di sejumlah daerah. 

Di Singapura, Apple mengucurkan Rp4 triliun untuk mengembangkan kampus Apple serta laboratorium riset perangkat keras. Investasi terbesar Apple di Asia Tenggara jatuh ke Vietnam. Di negara itu, Apple merogoh hingga Rp256 triliun untuk membangun pabrik yang memproduksi MacBook, iPad, dan Apple Watch. 

Vietnam adalah salah satu negara yang menerima berkah relokasi pabrik Apple dari Cina. Sejak 2018, perusahaan tersebut memang melakukan diversifikasi produksi untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi yang selama ini ada di negeri panda. Apple telah menambah pabrik yang memproduksi iPhone di India. Di Vietnam, Apple membangun pabrik MacBook dan iPad. 

Indonesia juga menginginkan kesempatan ini. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu konsumen terbesar Apple. Foxconn, perusahaan Taiwan perakit iPhone, pernah sempat berencana melakukan groundbreaking pabriknya di Indonesia pada 2022.  Namun, rencana investasi tidak kunjung terwujud hingga saat ini.

Tak hanya Apple, pemerintah juga pernah beberapa kali merayu bos Tesla dan SpaceX Elon Musk agar membangun pabrik di Indonesia. Presiden Jokowi malahan pernah menyempatkan bertemu langsung dengan Musk di Texas di sela-sela kunjungan ke AS pada Mei 2022. Alih-alih mendapatkan investasi, Tesla malah memilih membangun kantor pusat untuk kawasan Asia Tenggara di Malaysia pada 2023 lalu. 

Managing Director American Chamber of Commerce di Indonesia, Lin Neumann berharap, keputusan Tesla yang memilih Malaysia dapat membuat Indonesia mempertimbangkan ulang kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).

“Kebijakan (TKDN) sudah lama ditentang investor luar negeri dan membantu Vietnam terlihat lebih menarik dalam beberapa tahun terakhir,” tulisnya di kolom opini Nikkei Asia, Agustus 2023 lalu.

Tensi antara Amerika Serikat (AS) dan Cina membuat banyak pabrikan asal AS mencoba memperluas produksinya keluar dari Cina. Ini sebagai jaga-jaga jika tensi memanas. Dengan kebijakan investasi saat ini, Indonesia akan kesulitan untuk menuai berkah dari relokasi pabrikan asal AS ini.

Mandeknya Industri Manufaktur

Selain kebijakan TKDN, sektor industri Indonesia dianggap kurang menarik bagi investasi manufaktur berteknologi tinggi seperti Apple dan Tesla. Terutama dari iklim dan hasil manufakturnya. 

Data Bank Dunia menunjukkan nilai tambah industri manufaktur di Indonesia mengalami penurunan sejak awal milenium. Nilai tambah industri pengolahan turun dari 32% terhadap total produk domestik bruto (PDB) pada 2003 menjadi hanya 18% pada 2022.

Kondisi ini berkebalikan dengan Vietnam. Pada 2005, nilai tambah manufaktur negara ini hanya 19% dari total PDB. Kini, menanjak menjadi 25%.

Adapun India, perakit iPhone sejak 2017, memiliki nilai tambah manufaktur lebih rendah dari Indonesia. Pada 2022, nilai tambah manufaktur India hanya 13% dari total PDB.

India dan Indonesia memiliki struktur ekonomi yang mirip, keduanya bergantung pada perdagangan hasil tambang dan penggalian. Namun yang membedakan, India tidak menggantungkan pada hasil tambang.

Ini terlihat dari proporsi ekspor kedua negara. Sumber daya mineral seperti hasil tambang dan minyak mentah sama-sama menjadi komoditas ekspor utama. Ekspor mineral Indonesia mencapai 27,85% dan India mencapai 20,32% pada 2022.

Perbedaannya, India masih mengekspor hasil manufaktur seperti produk kimia yang mencapai 13,74% dari total ekspor dan produk permesinan sebesar 12,16%. 

Ini berkebalikan dengan Indonesia yang komoditas ekspor pelengkap mineral adalah produk turunan hewani-nabati (13,97%) dan metal (13,85%). Ekspor turunan hewani-nabati didorong oleh ekspor kelapa sawit, sementara metal didorong industri pemurnian hasil tambang. Kedua industri ini tidak melibatkan teknologi tinggi.

Indeks kompleksitas ekonomi Indonesia juga menjadi yang terendah jika dibandingkan dengan Malaysia, Vietnam, Thailand, dan India. Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan skor indeks minus, yaitu -0.09.

Indeks kompleksitas ekonomi disusun Harvard Growth Lab untuk memeringkatkan negara-negara berdasarkan jumlah dan kompleksitas produk yang diekspor satu negara. Kompleksitas produk dinilai dari seberapa sulit memproduksi produk yang diekspor.

Jika hanya melihat 10 komoditas ekspor tertinggi, hanya ada dua komoditas ekspor Indonesia yang digolongkan kompleksitas tinggi menurut indeks ini. Dua produk ini adalah mobil dan baja anti-karat.

Sementara, negara-negara lain memiliki setidaknya 5 dari 10 komoditas tertinggi yang digolongkan kompleksitas menengah atau tinggi. Negara-negara lain ini adalah Vietnam, India, Malaysia, dan Thailand.

Vietnam, Malaysia, dan Thailand pun memiliki komoditas integrated circuit seperti cip dan mikrocip sebagai salah satu komoditas ekspor terbesar. Ini adalah komponen yang banyak digunakan dalam alat elektronik yang dapat mempermudah perusahaan teknologi ketika memutuskan membangun pabrik di negara-negara tersebut. 

Indonesia sama sekali tidak memiliki produk mesin dalam 10 produk ekspor tertingginya. Tidak hanya menunjukkan masih sederhananya manufaktur di Indonesia. Perusahaan teknologi yang ingin membangun pabrik di Indonesia juga berarti harus lebih banyak mengandalkan impor.

Salah Arah TKDN?

Indonesia menerapkan kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk mendukung dan mengembangkan produksi domestik. Kebijakan ini juga diharapkan untuk mengurangi impor dan memperbaiki neraca perdagangan.

Kajian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia pada 2022 menemukan alih-alih berdampak baik, kebijakan TKDN justru berdampak buruk. Kebijakan ini berdampak negatif terhadap produktivitas, keluaran (output), ekspor, tenaga kerja, dan nilai tambah di sektor manufaktur Indonesia.

Kebijakan TKDN terutama memberatkan untuk sektor teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK). Sektor ini juga yang ingin dikembangkan pemerintah dengan merayu Apple membangun pabrik di sini. Namun, adanya TKDN dapat membuat Apple berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.

CSIS menemukan sektor telekomunikasi dan TIK adalah sektor yang paling banyak menerima regulasi TKDN, sebanyak 11 dari 58 aturan. Tidak hanya telekomunikasi dan TIK, kebijakan TKDN juga menyasar sektor kesehatan. Kebijakan ini mempersulit pengembangan sektor-sektor ini karena produksinya yang masih bergantung komponen impor.

“Penerapan kebijakan TKDN, di saat industri TIK dan kesehatan masih banyak bergantung pada barang input dari impor, hanya akan memicu ketidakpastian iklim investasi di Indonesia,” tulis laporan tersebut.

CSIS pun melakukan simulasi untuk melihat dampak ekonomi secara makro jika penurunan impor untuk produk input dalam sektor TIK, farmasi, dan alat kesehatan terjadi akibat TKDN. Hasilnya adalah turunnya konsumsi, ekspor, impor, dan PDB dengan stagnannya investasi.

Penelitian menyimpulkan kebijakan TKDN yang lebih ketat hanya akan meningkatkan biaya input untuk perusahaan domestik yang menyebabkan turunnya hasil barang jadi. Perlu ada sejumlah kebijakan tambahan yang dapat mendorong daya saing industri domestik.

Pasar Besar, tapi Kelas Menengah Sedikit

Pemerintah selalu menggembar-gemborkan pasar Indonesia yang besar ketika ingin menarik investasi luar negeri. Secara demografi, Indonesia merupakan negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia. Besarnya jumlah penduduk memang menggiurkan.

Namun, jumlah ini jadi tidak begitu menarik jika melihat porsi kelas menengah Indonesia, kelas yang disasar Apple dan Tesla. Laporan Bank Dunia pada 2020 menghitung baru 23,6% masyarakat Indonesia yang digolongkan kelas menengah atau 53,6 juta jiwa.

Proporsi terbesar adalah masyarakat menuju kelas menengah yang mencapai 114,7 juta jiwa atau 44% dari total penduduk. Sisanya 28 juta (10,7%) masuk kelompok miskin, 61,6 juta (23,6%) masuk kelompok rentan, dan hanya 3,1 juta (1,2%) masuk kelompok kelas atas.

Bank Dunia menggolongkan ini berdasarkan pengeluaran. Kelas atas memiliki pengeluaran di atas Rp6 juta sebulan, kelas menengah Rp1,2 juta – Rp6 juta sebulan, menuju kelas menengah Rp532 ribu – Rp 1,2 juta sebulan, rentan Rp354 ribu – Rp532 ribu sebulan, dan miskin di bawah Rp 354 ribu sebulan.

Kecilnya pasar untuk Apple dan Tesla juga terlihat dari penjualan ponsel dan mobil di Indonesia. Riset Counterpoint menemukan Apple bahkan tidak termasuk dalam enam ponsel paling laris di Indonesia pada 2023.

Sebanyak 5 dari 6 merek terlaris berasal dari Cina, dengan Samsung satu-satunya yang berasal dari Korea Selatan. Oppo memiliki pangsa pasar terbesar dengan 20%, Samsung 18%, Vivo 17%, Xiaomi 16%, Realme 11%, dan Infinix 10%.

Di antara keenam merek ini, hanya Oppo dan Samsung yang memiliki rata-rata harga jual di atas Rp5 juta berdasarkan situs jual beli ponsel Eraspace. Realme, Vivo, dan Xiaomi memiliki rata-rata harga sekitar Rp3 juta dan Infinix hanya Rp2 juta.

Keenam harga merek ponsel ini jauh di bawah Apple. Rata-rata produk iPhone dijual seharga Rp12,4 juta. Jika pun Apple diproduksi di Indonesia, rata-rata harga ini tetap sulit ditekan untuk bersaing dengan keenam merek di atas.

Sementara, 10 mobil dengan penjualan terbanyak di Indonesia memiliki harga dasar di bawah Rp500 juta. Setengah dari daftar mobil terlaris bahkan memiliki harga dasar di bawah Rp 200 juta. 

Toyota Innova memiliki harga dasar Rp379,1 juta dan berhasil terjual 66.460 unit pada 2023. Model Tesla termurah, Model 3, dijual setara Rp620 juta di Australia. Ini jauh lebih mahal dibanding harga dasar 10 mobil terlaris di Indonesia.

Indonesia seharusnya tidak hanya mengandalkan pasar besar untuk menarik investasi perusahaan teknologi ke dalam negeri. Perlu ada perubahan kebijakan serius untuk meningkatkan kinerja dan kompleksitas manufaktur lokal agar dapat lebih menarik di mata investor luar negeri.

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize