Advertisement
Advertisement
Analisis | Investasi Kunci Momentum Emas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata

Dia mengingatkan, Indonesia harus segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena pada 2050 Indonesia akan memasuki masa aging populations. “Jika pertumbuhan ekonomi seperti sekarang (hanya 5 persenan), bisa-bisa kita akan menjadi tua sebelum menjadi kaya,” katanya.

Dua masalah pokok yang disorot Chatib Basri, seperti kualitas SDM (termasuk di dalamnya ketenagakerjaan) dan pertumbuhan ekonomi memang krusial—sama pentingnya dengan mengenjot investasi riil/langsung. Masalah kualitas SDM, misalnya sangat strategis karena saat ini dunia sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Jika bangsa Indonesia mau menjadi pemenang, khususnya pada 2045, kualitas SDM Indonesia, termasuk produktivitas pekerjanya memang harus terus ditingkatkan.

Produktivitas tenaga kerja Indonesia sudah membaik meskipun memang belum memuaskan. Data Asian Productivity Organization (APO) menunjukkan, pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai 24,3 ribu dolar AS, dua kali lipat lebih tinggi dibanding produktivitas pada 1990. Adapun, menurut data The Conference Board dalam Total Economy Database, produktivitas per pekerja Indonesia pada 2017 telah menembus 24,6 ribu dolar AS.

Berdasarkan data APO, peringkat Indonesia berada di urutan 11 dari 20 negara yang produktivitas pekerjanya baik. Jika dilihat dari sesama negara anggota ASEAN, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih berada di urutan keempat. Dari sisi daya saing, Indonesia berada pada posisi ke-45 di antara 140 negara. Adapun di tingkat ASEAN, Indonesia berada pada posisi keiga di antara sembilan negara ASEAN yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report 2018 pada komponen human capital dan indikator keahlian tenaga kerjanya. Berdasarkan fakta ini memang masalah peningkatan kualitas SDM dan produktivitas tenaga kerja masih menjadi pekerjaan rumah terbesar bangsa ini.

Katadata

Katadata

Adapun peringatan Chatib tentang aging population juga sangat masuk akal sebab pada 2050 Indonesia sudah tidak memiliki bonus demografi lagi. Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia bertajuk ‘Indonesia towards 2030 and beyond: A Long-Run International Trade Foresight’ dan dipublikasikan pada 5 Juni 2017 menyebutkan, jumlah tenaga kerja usia produktif akan mencapai puncaknya pada 2030 dengan proporsi sebesar 53,1 persen dari total populasi Indonesia. Kemudian akan turun dan memasuki periode 'dividen terlambat' dari bonus demografi mulai 2031.

Jika pada 2030 Indonesia ditargetkan masuk kelompok negara berpendapatan tinggi, maka pendapatan per kapita Indonesia harus mencapai minimal 15 ribu dolar per AS per tahun. Indonesia juga membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 13 persen hingga 2030. Namun, proyeksi ini dianggap tidak realistis.

Skenario Pertumbuhan

Dalam studi LPEM tersebut digunakan beberapa skenario pertumbuhan ekonomi riil dalam rupiah antara 7,9-9,9 persen, pendapatan per kapita Indonesia per tahun pada 2030 diperkirakan antara 9.000-11.700 dolar AS, bukan 18 ribu dolar AS. Depresiasi rupiah hingga 2030 diestimasikan sekitar 0,8 persen per tahun dan pertumbuhan populasi sekitar 1,1 persen per tahun. Menurut proyeksi LPEM UI, sampai 2030 Indonesia masih belum mencapai kategori negara berpenghasilan tinggi. Indonesia mungkin bisa masuk kategori itu pada 2036, dengan syarat mampu mencatat pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 8,9 persen.

Bank Indonesia (BI) lebih optimistis. Hasil riset BI memang menekankan perlunya Indonesia bekerja keras untuk mengejar posisi menjadi negara maju dan berpendapatan menengah atas, atau bahkan negara berpendapatan tinggi. Jika pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa mencapai 5,6 persen per tahun, Indonesia baru bisa naik level pada 2045 untuk meraih pendapatan per kapita di atas 10 ribu dolar AS. Indonesia, menurut BI, bisa naik level lebih cepat pada 2040 jika pertumbuhan ekonomi ditingkatkan lebih tinggi lagi sebesar 6,4 persen.

Lalu, bagaimana caranya agar pemerintah bisa menarik lebih banyak lagi investasi masuk ke Indonesia? Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani menyebutkan, iklim investasi perlu diperhatikan agar investor merasa nyaman dan mudah melakukan investasi di Tanah Air.

Pemerintah, kata Rosan, juga bisa memberikan pengampunan pajak atau tax amnesty, pemotongan pajak penghasilan, penguatan badan investasi, dan hukum ketenagakerjaan. Pemotongan pajak penghasilan akan berdampak pada perusahaan makin kompetitif dan melakukan ekspansi yang akhirnya akan membuka lapangan kerja baru.

Kepala Ekonom HSBC ASEAN Joseph Incalcaterra mengungkapkan, Pemerintah Indonesia telah melakukan kemajuan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Untuk menarik FDI misalnya, pemerintah telah mengeluarkan 16 Paket Reformasi Kebijakan, tiga di antaranya fokus terhadap pengurangan regulasi bisnis.

Peringkat Indonesia, dalam survei Kemudahan Berbisnis yang dilakukan antara tahun 2014 sampai dengan 2018, naik ke peringkat 72 dari sebelumnya di peringkat 114. Sayangnya, peringkat itu kembali turun ke 73 pada 2019 ini, kemungkinan karena momentum reformasi sudah melambat. Presiden Jokowi menargetkan Indonesia bisa berada di peringkat Top 40 Dunia.

Sementara dalam Paket Reformasi Kebijakan ke-10 yang dikeluarkan pada Februari 2016, pemerintah menghilangkan batas kepemilikan asing yang masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) di 35 sektor. Namun, pembatasan itu masih ada ada, sehingga diperlukan liberalisasi lebih lanjut. Pemerintah telah memberikan sinyal untuk mengeluarkan beberapa sektor lagi dari DNI, tapi masih belum diimplementasikan.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menegaskan pemerintah sudah dan sedang memperbaiki peraturan, termasuk peraturan daerah, yang saling tumpang tindih serta merampungkan online single submission (OSS). Oleh karena itu, tidak ada keraguan lagi bagi investor untuk masuk ke Indonesia. Sebab dengan OSS, memperkecil peluang orang untuk ‘bermain’ atau korupsi. “Semua perizinan dilakukan secara online dan transparan,” ujarnya.

***

Artikel ini merupakan hasil kerjasama Katadata dan HSBC