Advertisement
Advertisement
Analisis | Simalakama Mitigasi Covid-19, Kesehatan atau Ekonomi? Halaman 2 - Analisis Data Katadata

 Di dalam negeri, pandangan serupa telah disampaikan kalangan ekonom melalui survei yang diselenggarakan The Indonesia Regional Science Association (IRSA) pada awal April lalu (klik di sini). Dari 145 ekonom yang menjadi responden, mayoritas meminta pemerintah mendahulukan kebijakan pencegahan virus corona untuk menyelamatkan nyawa dan kesehatan manusia. Meski kebijakan itu berdampak negatif terhadap perekonomian.

 Bahkan mereka berpandangan, mengabaikan intervensi untuk membatasi penyebaran Covid-19 justru akan menyebabkan perekonomian terpuruk lebih dalam. Pemerintah diharapkan meningkatkan investasinya untuk peningkatan kapasitas sistem kesehatan, seperti pembangunan RS darurat, produksi ventilator, serta alat perlindungan diri (APD).

Merancang Kebijakan Ekonomi yang Tepat

Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

Krisis ekonomi dipastikan bakal terjadi. Pemerintah perlu segera bertindak mengambil kebijakan untuk mengantisipasi dampak krisis. Namun siapa yang lebih dulu diselamatkan?

Jason Furman, profesor di Harvard Kennedy School sekaligus mantan penasehat ekonomi Obama, di buku yang sama dengan tegas mengatakan “lindungi orang sekarang, membantu ekonomi pulih kemudian.“

Lebih lanjut di tengah ketidakpastian dan situasi yang terus berubah, pemerintah perlu bertindak cepat dan lakukan apa saja yang bisa dilakukan. “Banyak bertindak lebih baik daripada terlalu sedikit,” kata Furman. Sedikit tindakan tak hanya merugikan kesehatan masyarakat, melainkan juga berpotensi memperpanjang krisis ekonomi.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, seperti mengalokasikan anggaran kesehatan. Kemudian memberikan bantuan tunai untuk rumah tangga dan pendampingan bagi dunia usaha. Karena yang perlu dilakukan adalah mencegah agar dampak krisis tidak terakumulasi, sehingga upaya memperbaiki ekonomi tidak makin berat ketika krisis berakhir.

Pada dasarnya, pemerintah perlu mencegah orang atau dunia usaha mengalami kebangkrutan yang tidak perlu. Hal ini dengan memastikan orang tetap memiliki uang untuk berbelanja meski tidak lagi bekerja.

Seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Italia Roberto Gualtieri, “Tak ada yang harus kehilangan pekerjaan karena virus corona.“ Kalimat yang kemudian ditambahkan Alberto Alesina dari Universitas Harvard dan Francesco Giavazzi dari Universitas Bocconi, ”Dan jika ada yang kehilangan pekerjaan, maka pendapatan mereka akan dijamin hingga mendapatkan pekerjaan baru.“

Langkah yang Diambil Indonesia

Foto: ANTARA FOTO/REUTERS/Kai Pfaffenbach/pras/dj

Jika melihat urutan langkah yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo dalam menyikapi pandemi Covid-19, urusan ekonomi agaknya yang menjadi perhatian utama dari pada mengantisipasi penyebaran virus. Setidaknya itu terjadi ketika kasus sudah mulai merebak di sejumlah negara. Pada Februari, pemerintah memberikan stimulus Rp 8,5 triliun untuk memperkuat ekonomi dalam negeri melalui sektor pariwisata.

(Baca: Posisi Kesiapan Indonesia di Dunia Hadapi Ledakan Covid-19)

 Pada pertengahan Maret, pemerintah kemudian meluncurkan stimulus lanjutan senilai Rp 22,5 triliun. Stimulus ini berupa kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk menopang sektor industri dan memudahkan ekspor-impor.

Baru pada akhir Maret, pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menangani penyebaran virus. Stimulus Rp 405,1 triliun juga dikeluarkan mendampingi kebijakan kesehatan itu. Meski terlambat, tapi kebijakan pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran sosial patut diapresiasi.

Total tiga kali stimulus yang digelontorkan mencapai 2,5 persen terhadap PDB. Angka ini melebihi negara-negara yang jadi pusat wabah virus corona. Namun jauh lebih rendah dari negara-negara tetangga, seperti Singapura (10,9 persen) dan Malaysia (10 persen).

Mantan menteri keuangan Chatib Basri mengatakan, pemerintah masih bisa memangkas anggaran belanja. Misalnya, anggaran perjalanan dinas ASN yang telah dikurangi Rp 26,8 triliun dapat dipotong kembali. Pergi ke luar kota tentu tidak dilakukan karena penerapan PSBB.

Selain itu, anggaran belanja modal fisik juga bisa dipangkas lebih besar. “Mungkin eksekusi tidak tahun ini. Belanja modal fisik, misalnya infrastruktur, bisa ditunda,” ujarnya.

Hasil pemangkasan itu dapat dialokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19, salah satunya bantuan sosial. Guru besar Harvard Kennedy School Rema Hanna dalam tulisannya di harian Kompas mengatakan, bantuan sosial dari stimulus pemerintah belum mencukupi.

Stimulus diberikan pada program yang sudah berjalan, yakni Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako. Anggaran PKH menjadi Rp 37,4 triliun, disalurkan untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dari sebelumnya 9,2 juta KPM. Penerima sembako juga naik 31,6 persen setelah anggaran ditambah menjadi Rp 43,6 triliun.

Dua program ini menyasar masyarakat miskin, tetapi tidak termasuk kelas menengah bawah yang mendadak kehilangan pendapatan dan pekerjaan akibat pandemi. “Program perlindungan sosial ini dirancang dengan memilih sasaran berdasarkan status pendapatan masa lalu dan aset yang dimiliki selain kondisi saat ini,” tulis Rema.

Karena itu, pemerintah membutuhkan mekanisme baru untuk menjangkau masyarakat di kelas tersebut. Kartu Prakerja muncul sebagai solusi. Program yang semula dirancang untuk meningkatkan kompetensi masyarakat dialihkan menjadi semi bantuan sosial bagi pekerja yang terkena dampak Covid-19. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlahnya sekitar 2,8 juta orang hingga 13 April lalu.

Pengalihan fungsi tersebut membuat pemerintah menaikkan anggaran program ini. Begitu pula dengan jumlah peserta dan besaran manfaat. Dengan target 5,6 juta peserta, setiap orang akan menerima manfaat Rp 3,55 juta. Sebanyak Rp 2,4 juta diberikan secara bertahap selama empat bulan pasca-pelatihan sebagai insentif. Sementara, sisanya digunakan untuk membayar pelatihan.

Sayangnya, Kartu Prakerja dinilai tidak tepat sasaran dan menimbulkan kontroversi. Pertama, kesenjangan digital masih tinggi sehingga tidak semua pekerja terdampak bisa menggunakannya. Kedua, anggaran pelatihan berbayar dapat dialokasikan menjadi bantuan sosial. Ketiga, bantuan langsung tunai akan lebih bermanfaat bagi pekerja terdampak untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah krisis.

Jalan pemerintah untuk mengatasi krisis ini masih panjang. Sama halnya dengan pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir. Sebagaimana yang disampaikan para ekonomi di tulisan ini, bertindak cepat dan banyak lebih baik daripada sedikit. Jangkauan kebijakan ekonomi harus diperluas dan tepat sasaran. Semua dilakukan agar perekonomian Indonesia tidak jatuh ke jurang yang dalam, seperti keinginan Jokowi di awal pandemi.