Advertisement
Advertisement
Analisis | Bagaimana Pipa Air Bersih dapat Menurunkan Stunting di Provinsi NTT? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Bagaimana Pipa Air Bersih dapat Menurunkan Stunting di Provinsi NTT?

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia. Persoalan terbesar di provinsi ini adalah minimnya fasilitas air bersih layak dan sanitasi. Selain minimnya anggaran, pemerintah desa tidak memiliki kewenangan untuk mengatur alokasi dana untuk program jangka panjang yang sesuai kebutuhan desanya.
Leoni Susanto
8 April 2024, 10.15
Button AI Summarize

Siang itu Albertina (41) warga Desa Randoria, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluarkan satu dari belasan dirigen air lima liter miliknya. Jeriken-jerikennya kali ini kosong, sebab air sedang mengalir lancar di rumahnya.

Walaupun rumahnya sudah tersambung dengan pipa sambungan rumah (SR), beberapa kali bak penampungan air di Desa Randoria kering. Saluran pipa SR di rumah Albertina juga beberapa kali macet. Jika sudah begitu, jeriken-jerikennya akan kembali dibutuhkan. Setidaknya dalam sebulan, dua sampai tiga kali jeriken Albertina akan digunakan untuk mengambil air.

“Biasa kita angkut sampai sepuluh dirigen naik motor untuk ambil air di sungai bawah. Sehari bisa dua kali,” katanya pada Katadata.co.id pada Kamis, 22 Maret 2024. 

Rumah ibu tiga anak ini berada di Desa Randoria, sebuah desa yang berada di ketinggian 850 mdpl dan sudah sejak lama mengalami kesusahan akses air bersih. Herman (69) tokoh masyarakat di desa bercerita, semasa kecil dia sampai harus menggunakan air embun pagi di dedaunan untuk mencuci wajah. 

Desa Randoria tidak memiliki mata air sendiri. Sejak tahun 70-an, desa harus membayar menggunakan hasil tani untuk bisa membangun pipa saluran dari mata air desa tetangga. Tak elak saluran pipa sering bermasalah. Belum lagi masyarakat juga saling berebut air di bak penampungan, terutama saat kemarau.

Jika kemarau datang dan air di bak penampungan kering, warga desa akan turun ke sungai bawah berjarak sekitar tiga kilometer dengan membawa jeriken masing-masing. Anak-anak Albertina bahkan ikut membawa jerikennya untuk mengambil air.

“Yang prioritas airnya untuk minum dan masak. Kadang sampai dua hari tidak mandi. Kasihan anak-anak kalau mau berangkat sekolah,” cerita Albertina.

Anak-anak di Desa Randoria juga akan membantu orang tua mereka mengambil air sepulang sekolah. Biasa mereka akan mengambil air secara beramai-ramai dan satu anak akan membawa satu jeriken yang mereka gunakan untuk mandi.

“Ramai-ramai sama teman-teman sepulang sekolah ambil air dipakai untuk mandi dan minum. Kadang pegal,” kata Nalda (11), salah seorang anak di Desa Randoria.

Desa Randoria hanya satu dari sekitar tiga ribu desa di NTT, provinsi yang dikenal sering krisis air bersih dan memiliki prevalensi anak stunting yang tinggi. Apa yang terjadi di Desa Randoria adalah kondisi umum yang sering terjadi di NTT.

Di NTT, mayoritas rumah tangga masih menggunakan mata air terlindung sebagai sumber air minum utama. Di Kabupaten Ende, pada 2022 lebih dari separuh rumah tangga masih menggunakan mata air terlindung. Sedangkan 23,8% menggunakan leding dan 13,7% menggunakan sumur terlindung.

Hal yang jadi masalah adalah ketika lokasi desa jauh dari sumber mata air, seperti kasus Desa Randoria. Desa Randoria terletak di dataran tinggi sehingga menggali sumur juga menjadi tantangan. 

Susahnya akses terhadap sumber mata air dan minimnya dukungan infrastruktur menyebabkan kondisi sanitasi dan akses air minum yang layak di NTT tergolong rendah dibanding provinsi lain di Indonesia.

Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak di NTT pada 2022 masih mencapai 73,7%, terendah keempat dari 34 provinsi dan di bawah rata-rata nasional sebesar 80,9%. Sedangkan persentase rumah tangga dengan akses air minum layak di NTT mencapai 86,7%, masih di bawah rata-rata nasional sebesar 91%.

Pentingnya Sanitasi dan Air Bersih untuk Penurunan Stunting

Pemerintah pusat lewat program-program pengentasan kemiskinan dan capaian untuk Sustainable Development Goals (SDGs) sebenarnya menargetkan perbaikan sanitasi dan akses air bersih di seluruh Indonesia. Pada 2030, pemerintah ingin akses air minum dan sanitasi mencapai 100%. Sebab sanitasi dan akses air bersih ini juga masuk ke dalam langkah penting intervensi sensitif percepatan penurunan stunting.

 

Pada 2023 lalu, prevalensi stunting di Indonesia masih berada di angka 21,6%. Padahal, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting di tahun 2024 hingga 14%. Berdasarkan riset Kemenkes, 60% kasus stunting disebabkan karena sanitasi yang buruk dan tidak tersedianya air bersih yang layak.

NTT merupakan provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi kedua di Indonesia. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi stunting di NTT tembus mencapai 37,9%, melebihi rata-rata nasional dan melebihi batas toleransi stunting menurut WHO 20%.

Walaupun penting, masalah pendanaan masih menjadi hambatan untuk perbaikan tata kelola sanitasi dan air bersih di NTT. Misalnya dalam salah satu indikator spesifik penurunan stunting yang adalah cakupan stop keluarga buang air besar sembarangan (BABS). 

Salah satu solusi yang disebut Kepala Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil NTT Ruth D. Laiskodat untuk untuk perbaikan tata kelola ini adalah keterlibatan dari seluruh lintas sektor untuk melengkapi sarana pendukung lewat berbagai sumber dana baik Dana Desa, CSR, APBD II, maupun mitra seperti organisasi nirlaba Wahana Visi Indonesia.

Minimnya Anggaran untuk Sanitasi dan Air Minum Layak

Alokasi dana untuk anggaran air minum dan sanitasi di NTT memang masih menjumpai berbagai persoalan. Mulai dari sedikitnya alokasi untuk anggaran air minum dan sanitasi, masih bergantungnya desa terhadap Dana Desa yang alokasinya sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, belum adanya pendapatan asli desa (PADes) yang menunjang, hingga susahnya pemantauan dan penerapan kebijakan transparansi. 

Penelitian Wishanti (2020) menyebut bahwa ada beberapa aspek yang mendasari lambatnya penyelesaian masalah manajemen air di Indonesia. Salah satunya masalah desentralisasi dan otonomi daerah karena tidak semua pemda memiliki kapasitas yang cukup untuk untuk menetapkan anggaran, serta membuat peraturan daerah terkait kebutuhan sanitasi dan air minum.

Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri sebenarnya mengimbau untuk mengalokasikan minimal 2% APBD untuk anggaran bidang air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL). Kemendagri menyebut pelaksanaan realisasi APBD untuk AMPL ini akan dipantau dan dievaluasi untuk mengukur kemajuan pencapaian akses universal air minum aman dan sanitasi layak di kabupaten. 

Namun di Kabupaten Ende di NTT misalnya, setidaknya dalam empat tahun terakhir anggaran untuk sanitasi dan air minum layak tidak pernah mencapai 2%. Kalkulasi di bawah ini berdasarkan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik sanitasi dan air minum yang diterima di Ende. 

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize