Advertisement
Advertisement
Analisis | Posisi Kesiapan Indonesia di Dunia Hadapi Ledakan Covid-19 - Analisis Data Katadata
ANALISIS DATA

Posisi Kesiapan Indonesia di Dunia Hadapi Ledakan Covid-19

Dwi Hadya Jayani

22/04/2020, 10.00 WIB

Ilustrasi: Joshua Siringoringo

Indonesia memiliki 1,2 unit tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk. Kapasitas ini lebih rendah dari negara dengan kasus Covid-19 tinggi, seperti AS, Tiongkok, Italia, Korea Selatan, dan Malaysia.


Jakarta adalah pusat pandemi Covid-19 di Indonesia. Hingga 19 April, ada 3.279 kasus terkonfirmasi positif, atau sekitar 46 persen dari total kasus nasional. Sejumlah ahli memperkirakan angka tersebut masih akan terus bertambah. Ini sekaligus memunculkan kekhawatiran akan kemampuan layanan kesehatan nasional.

Riset Katadata Insight Center (KIC) yang dirilis 3 April lalu menyebutkan Jakarta adalah provinsi paling rentan terhadap penyebaran Covid-19. Hal ini disebabkan tingginya mobilitas penduduk ibu kota dan wilayah sekitarnya. Meski begitu, fasilitas dan tenaga kesehatan, serta alokasi APBD membuat provinsi ini lebih siap menghadapi pandemi dibandingkan provinsi lain.

Jika melihat data harian sepekan terakhir (14-21 April), ada tambahan rata-rata 132 kasus baru per hari di Jakarta. Sementara pasien sembuh dan meninggal, masing-masing  sekitar 18 dan 12 orang setiap hari. Ini artinya, tambahan kasus baru, hampir lima kali lebih tinggi daripada kasus yang selesai.

Memang dari seluruh kasus aktif di Jakarta, tidak seluruhnya dirawat di rumah sakit (RS). Hanya 1.839 kasus atau 60 persen yang dirawat, sementara 695 kasus (23 persen) melakukan isolasi mandiri. Namun terus bertambahnya jumlah pasien dapat menyebabkan RS rujukan kelimpungan. RSUP Persahabatan misalnya, dari 60-80 pasien rujukan yang datang tiap hari hanya bisa menampung 15 persennya yakni 7-12 pasien saja.

Di Jakarta, menurut data Kementerian Kesehatan terdapat 189 rumah sakit (RS) dengan total 23.973 tempat tidur pada April 2020. Dengan penduduk Jakarta sekitar 10,5 juta, artinya hanya tersedia 2,3 tempat tidur per 1.000 penduduk. Namun tidak seluruh RS di Jakarta dapat merawat pasien Covid-19, pemerintah hanya menetapkan 13 RS rujukan.

Gambaran kapasitas fasilitas kesehatan di Jakarta menjadi parameter kemampuan secara nasional. Hal ini mengingat Jakarta memiliki kapasitas layanan kesehatan terbaik di tanah air, tapi berpotensi kewalahan melayani lonjakan kasus baru. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang pertumbuhan kasusnya paling cepat dan rasio kematian tertinggi akibat Covid-19.

Kapasitas Layanan Kesehatan Terbatas

Foto: KIC

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 2.889 unit RS di seluruh Indonesia pada April 2020. Total tempat tidur yang tersedia mencapai 317.442 unit atau 1,2 unit per 1.000 penduduk. Kapasitas ini lebih rendah dari negara dengan kasus Covid-19 tinggi, seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Italia, Korea Selatan, dan Malaysia.

Korea Selatan misalnya, salah satu negara yang sukses menahan penyebaran corona memiliki rasio 11,5 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk. Sementara Italia dan Amerika Serikat masing-masing berkapasitas sebesar 3,4 dan 2,9 unit ranjang per 1.000 penduduk.

Akan tetapi, tidak semua tempat tidur di rumah sakit dapat digunakan untuk penanganan pasien berstatus kritis. Pasien dengan gejala berat yang membutuhkan alat bantu pernafasan (ventilator) serta pemantauan berkala, tetap memerlukan perawatan di ruang khusus.

Menurut studi yang dipublikasikan jurnal Critical Care Medicine pada Januari 2020 lalu, Indonesia hanya memiliki 1.910 ruang Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Units/ ICU) dengan 7.094 unit tempat tidur. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, rasio ketersediaan ranjang perawatan kritikal di Indonesia hanya 2,7 per 100 ribu populasi. Sementara di Jakarta, dikutip dari data SIRS Yankes Kementerian Kesehatan, terdapat 1.469 unit tempat tidur perawatan kritis—yang meliputi ICU, ICCU, dan HCU—atau 13,9 per 100 ribu penduduk.

Kementerian Kesehatan mengakui kapasitas layanan kesehatan yang ada, masih kurang untuk menampung pasien covid-19 yang terus bertambah. Hal ini diungkap oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo, saat rapat bersama Komisi IX, Kamis (2/4).

Saat itu Bambang mengatakan jumlah rumah sakit rujukan sudah ditambah dari 100 menjadi 132 rumah sakit. Kapasitas ruangannya pun bertambah dari yang hanya 950-an menjadi 1.925 ruangan. Namun, tetap saja kapasitas itu tidak akan mampu menampung jumlah pasien. Hingga 19 April, data Kemenkes mencatat ada 5.307 pasien positif Covid-19 yang masih dirawat.

Tak hanya dari kebutuhan tempat tidur, kekhawatiran jika terjadi lonjakan pasien juga berasal dari kurangnya alat kesehatan. Covid-19 menyerang sistem pernafasan manusia, sehingga kebutuhan alat bantu (ventilator) sangat penting.

Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat jumlah ventilator rumah sakit yang ada di Indonesia saat ini hanya 8.413 unit. Sangat jauh dari total kebutuhan yang mencapai 29.876 unit.

Tingginya kebutuhan ventilator membuat Wakil Menteri BUMN Budi G. Sadikin memohon bantuan Elon Musk, pemilik Tesla, menyediakan alat bantu pernafasan ini.

Twitter Elonmusk
Twitter Elonmusk (twitter)

Lalu bagaimana dengan tenaga kesehatan? Andre Rahadian, Koordinator Relawan Gugus Tugas Covid-19, mengatakan Indonesia membutuhkan tambahan 1.500 dokter dan 2.500 perawat dalam menghadapi pandemi. Pada 2018, total ada 93.628 dokter di Indonesia. Dari jumlah itu 56.084 adalah dokter umum dan 37.544 dokter spesialis.

Jika jumlah penduduk Indonesia sebanyak 265 juta jiwa, maka rasionya sebesar 0,4 per 1.000 populasi. Hal ini menunjukkan, hanya terdapat empat dokter untuk melayani 10 ribu penduduk. Rasio ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Korea Selatan, Tiongkok, dan Malaysia yang memiliki dua dokter untuk menangani 1.000 penduduknya. Tak hanya dokter, ketersediaan perawat dan bidan juga rendah yakni hanya dua orang untuk melayani 1.000 penduduk.

Persoalan lain yang menghambat pelayanan Covid-19 adalah minimnya alat perlindungan diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Korban dari tenaga medis telah banyak berjatuhan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengimbau tenaga medis tidak turun langsung merawat pasien Covid-19 jika tidak dibekali APD.

Sebelumnya untuk memenuhi ketersediaan APD, tenaga medis—terutama di daerah—berinisiatif membuat APD secara mandiri. Seperti masker dari kain dilengkapi tali, mantel hujan dari plastik, sepatu boots, dan pelindung wajah dari karet tebal. Tentunya APD buatan sendiri ini tidak sesuai standar sehingga tenaga medis rentan tertular Covid-19.

Potensi Ledakan Jumlah Pasien Covid-19

Foto: ANTARA FOTO/REUTERS/Kai Pfaffenbach/pras/dj

Setelah selama ini dinilai tertutup, kini pemerintah mulai membuka data. Selasa (14/4) lalu, Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto mengungkap data Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang ternyata sangat tinggi. Total ODP mencapai 139.137 orang dan PDP sebanyak 10.482 orang.

Dari jumlah tersebut pemerintah baru mampu memeriksa 21% di antaranya atau sebanyak 31.628 orang. Sementara, dari orang-orang yang diperiksa ini pemerintah mencatat orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 4.839 orang. Artinya, 15,3% ODP dan PDP yang diperiksa, hasilnya positif Covid-19.

Mengacu kondisi ini, jika 149.619 orang total ODP dan PDP diperiksa, ada kemungkinan  hasilnya 22.443 orang yang positif. Dengan jumlah ini tentu saja Indonesia akan kewalahan. Tenaga, alat, dan pelayanan kesehatan yang ada saat ini tidak akan mencukupi.

Rendahnya kapasitas fasilitas dan tenaga kesehatan di tanah air menyebabkan kekhawatiran terhadap kemampuan penanganan Covid-19. Terutama jika jumlah kasus mengalami ledakan seperti yang diprediksi banyak pihak. Meski memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih baik dari daerah lain, tapi Jakarta pun mengalami keterbatasan ketika terjadi peningkatan kasus.

Jika penyebaran kasus melonjak, Indonesia dikhawatirkan akan mengalami kondisi seperti yang terjadi AS, Italia, dan negara lainnya. Meski memiliki sistem kesehatan yang baik, tetap saja tidak optimal dalam menangani pasien. Hal ini akibat kasus yang terinfeksi melebihi kapasitas alat dan tenaga kesehatan yang tersedia.

Pemerintah telah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan mewajibkan penggunaan masker di tempat-tempat umum. Namun itu perlu diimbangi dengan intervensi yang lebih signifikan untuk menahan laju penyebaran Covid-19. Mulai dari deteksi dini melalui pemeriksaan massal, penelusuran kontak, serta membatasi mobilitas penduduk. Selain itu yang juga penting adalah transparansi data dan informasi agar masyarakat mengetahui persoalan sehingga senantiasa dapat waspada.

***