Advertisement
Advertisement
Analisis | Sulitnya Caleg Perempuan Menembus Gedung Senayan - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Sulitnya Caleg Perempuan Menembus Gedung Senayan

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani/ AI
Tingkat keterwakilan perempuan di parlemen diprediksi meningkat pada Pemilu 2024. Namun, jumlahnya masih tergolong rendah di bawah porsi ideal 30%. Ada banyak hambatan yang dihadapi caleg perempuan.
Puja Pratama
13 Mei 2024, 11.23
Button AI Summarize

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memproyeksikan keterwakilan perempuan di DPR hasil Pemilu 2024 meningkat menjadi 22,1% dibandingkan Pemilu 2019 yang sebesar 20,5%. Meski ada kenaikan, bahkan yang tertinggi sejak Pemilu 1999, jumlah perempuan di parlemen masih belum ideal.

Idealnya, proporsi keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan di badan eksekutif maupun legislatif sebesar 30%. Ini merupakan resolusi dalam Deklarasi dan Platform Aksi Beijing pada Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan pada 15 September 1995 yang kemudian diadopsi PBB. 

Menurut peneliti Perludem Heroik Mutaqin Pratama, Indonesia tak pernah mencapai angka keterwakilan perempuan dalam parlemen sebesar 30%. Salah satunya karena ada persoalan dalam kebijakan kuota. “Kebijakan saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan,” kata dia kepada Katadata, Maret 2024.

Kebijakan Afirmatif yang Tidak Mengikat

UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU 10 tahun 2023 menyebutkan sekurangnya ada keterwakilan 30% perempuan di tiap daerah pemilihan (dapil) dari tiap partai. Namun dari Daftar Calon Tetap (DCT) DPR Pemilu 2024, Katadata menemukan hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan 30% di seluruh dapil. 

Ketua Bidang Humas DPP PKS Ahmad Mabruri Mei Akbari mengatakan, perempuan merupakan salah satu basis kekuatan partainya. Makanya, PKS tidak kesulitan mencari kader perempuan untuk bertarung dalam pemilihan legislatif. 

“PKS satu-satunya partai yang sanggup memenuhi kuota minimal tersebut di semua level, di seluruh dapil,” kata dia pada Rabu, 3 April 2024.

Denny Arinanda (2018) dalam “Politik Adil Gender: Sebuah Paradoks” menyatakan, rendahnya keterwakilan perempuan tercermin juga dari minimnya sosok perempuan dalam jabatan partai. “Salah satu akar masalah rendahnya keterwakilan perempuan adalah pengabaian partai politik terhadap peran perempuan,” katada dia.

Menurut Heroik, pengabaian tersebut juga terlihat dari kecenderungan partai yang menempatkan perempuan dalam divisi rumah tangga. Fenomena ini mengesankan kehadiran perempuan dalam partai sebatas sebagai pemenuhan syarat administratif.

Sementara Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan, dalam berbagai regulasi mengenai Pemilu saat ini, tak ada satupun yang mengatur sanksi bagi partai yang gagal mengakomodasi keterwakilan perempuan 30%. 

Kebijakan afirmasi (affirmative action) ihwal keterwakilan perempuan pertama kali melalui UU 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. UU ini mengatur komposisi keterwakilan perempuan minimal 30%.

Kebijakan afirmasi ini diterapkan pula dalam kelembagaan partai politik melalui UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. UU ini mengharuskan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian dan kepengurusan di tingkat pusat hingga kabupaten/kota.

Meski sudah ada regulasi, Heroik mengatakan, partai tidak sungguh-sungguh melakukan upaya kaderisasi perempuan. “Biasanya kaderisasi dilakukan menjelang pemilu,” kata dia. 

Elektabilitas Caleg Perempuan Rendah

Menurut Mabruri, caleg perempuan tidak mudah meraup suara di pemilu. Kendati proporsi keterwakilan sudah memenuhi ambang 30%, jumlah caleg perempuan PKS justru diperkirakan paling sedikit. 

Dia mengatakan, sebagian besar caleg perempuan yang berpotensi terpilih memiliki latar belakang sebagai pengusaha. “Kerja mereka bagus, tetapi mengonversikan kerja tersebut menjadi suara bukan pekerjaan yang gampang. Ini juga terkait dengan biaya dan dana yang mereka alokasikan untuk kampanye,” kata Mabruri.  

Menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati, pada Pemilu 2024 ini ada kecenderungan caleg perempuan yang terpilih merupakan pebisnis dan memiliki hubungan dinasti. “Sehingga mereka memiliki kekuatan cukup untuk memenangi pemilu,” kata dia.

Tantangan dari Zipper System dan Nomor Urut

Di tiga pemilu terakhir, Perludem menganalisis caleg dengan nomor urut satu dan dua cenderung memiliki peluang lebih besar untuk melaju ke Senayan. Persoalannya, menurut Perludem, kecenderungan laki-laki untuk mengisi nomor urut tersebut sangat tinggi dibandingkan perempuan. 

Data proyeksi hasil Pemilu 2024 yang dihimpun Perludem menunjukkan, sebaran caleg perempuan terbanyak berada di nomor urut 3-6 yang memiliki peluang keterpilihan lebih rendah dibandingkan nomor urut 1-2. Ini ditunjukkan dengan lebih dari 50% caleg perempuan terpilih pada Pemilu 2024 berada di nomor urut satu.

Analisis lembaga riset sosial politik Cakra Wikara Indonesia menunjukkan, peluang caleg perempuan untuk memenangi pemilu lebih besar jika mendapatkan nomor urut 1-3. Sementara nomor urut 3 -6 keterpilihannya terus menurun di setiap pemilu.

Menurut peneliti Perludem Heroik Mutaqin Pratama, fenomena ini terjadi karena Indonesia masih menerapkan zipper system 1:3, belum zipper system murni. Zipper system adalah salah satu mekanisme penerapan kebijakan afirmasi yang mengatur minimal satu perempuan dari tiga bakal calon legislatif. 

Regulasi mengenai zipper system ini dapat ditelusuri pertama kali pada UU 10 tahun 2008 yang mengatur pelaksanaan pemilihan legislatif 2009, khususnya pada pasal 53 dan pasal 55 ayat (2). Implementasinya, dari nomor urut 1 sampai 3, harus ada satu bakal calon perempuan, seperti yang tertulis di Pasal 8 PKPU No.10 2023.

Kelemahan zipper system 1:3 ini, menurut dia, mekanisme penempatan nomor urut tak diregulasi dengan baik. “Sehingga partai bisa saja menempatkan perempuan di nomor urut tiga ke belakang seperti yang selalu terjadi di beberapa periode pemilu terakhir,” kata dia. 

Heroik mengatakan, perlu ada aturan zipper system yang mendudukkan satu calon perempuan di nomor urut 1-2. Adapun sistem yang dimaksud zipper sistem murni adalah pengurutan caleg laki-laki dan perempuan secara berselang-seling.

Usep Hasan Sadikin (2016) dalam Jurnal Perludem “Menarik Kerah Keterwakilan Perempuan” menjelaskan, implementasi zipper system di Indonesia selama ini hanya efektif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan hanya dalam tahap pencalonan. Penerapannya dianggap tak efektif untuk mendongkrak keterpilihan perempuan. 

Resep Meningkatkan Keterwakilan Perempuan

Peneliti Perludem Heroik Mutaqin Pratama berpendapat perlu revisi UU Pemilu untuk meningkatkan keterpilihan caleg perempuan. Menurutnya, harus diatur sanksi yang tegas bagi partai politik yang gagal memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. 

Upaya lainnya adalah meningkatkan peran perempuan dalam jabatan-jabatan strategis dalam kelembagaan partai. “Keterwakilan perempuan itu dimulai dari internal parpolnya. Ketika perempuan duduk di jabatan otoritatif, dia juga akan membawa perspektif gendernya, sehingga dia akan cenderung lebih banyak melibatkan perempuan,” kata dia. 

Dari segi pendanaan, negara harus bisa mendesain regulasi yang melahirkan pembiayaan afirmatif yang inklusif bagi caleg perempuan. “Harus ada pembiayaan afirmatif, atau alokasi dana negara khusus untuk kaderisasi perempuan,” ujar Heroik.

Sistem ini, kata dia, bisa dilengkapi dengan metode reward and punishment dalam implementasinya. Apabila partai tersebut dapat meningkatkan keterwakilan di dalam kursi legislatif, negara akan memberikan sejumlah insentif untuk partai tersebut.

Menurut Heroik, kaderisasi dan pendidikan politik merupakan hal yang krusial bagi penguatan parpol di Indonesia. Dia mendesak parpol meninggalkan cara lama, yakni melakukan kaderisasi hanya menjelang pemilu.

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize