Advertisement
Advertisement
Analisis | Tumpulnya “Jurus 3T” Melawan Covid-19 di Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata

Isolasi bisa dilakukan jika orang-orang tersebut teridentifikasi, salah satunya melalui pelacakan kontak. KawalCOVID19 dalam tulisan “Serial Data Virus Korona 2: Rasio Lacak-Isolasi (RLI) dan Korelasinya dengan Kematian Kumulatif” menargetkan kapasitas pelacakan sebesar 1:30. Ini berarti dari setiap satu orang positif ada 30 orang kontak erat yang dikarantina atau isolasi, minimal dalam 14 hari terakhir.

Tim KawalCOVID19 membandingkan total orang dalam pemantauan (ODP) dengan kasus positif untuk mendapatkan gambaran jumlah orang yang dilacak per kasus positif, atau disebut Rasio Lacak-Isolasi (RLI). Hingga 20 Agustus 2020, RLI Indonesia baru sebesar 4,77. Artinya, hanya sekitar lima orang yang dilacak dari satu kasus terkonfirmasi positif.

Karena data RLI tersedia per kota dan kabupaten, kami membandingkan rasio di setiap ibu kota provinsi. Belum ada yang memenuhi target, bahkan Pekanbaru dengan rasio tertinggi pun hanya melacak 21 orang. Kemudian, Jakarta, Surabaya, dan Semarang, ibu kota tiga provinsi dengan kasus Covid-19 terbanyak di Indonesia, baru melacak 1-2 orang per kasus positif.

Selain mencegah penyebaran lebih luas, pelacakan yang masif bisa menekan angka kematian. Jika seseorang yang terinfeksi lebih cepat ditemukan, maka langkah penanganan bisa segera dilakukan. Kondisi pasien pun tidak terlanjur parah sampai tidak bisa diselamatkan.

Namun, karena keterbatasan pelacakan di Indonesia, LaporCovid-19 mencatat ada 9.671 orang yang meninggal diduga akibat virus corona, umumnya berstatus ODP atau PDP (pasien dalam pengawasan), hingga 21 Agustus 2020. Angka tersebut di luar total kematian dari kasus positif yang biasanya diumumkan pemerintah.

Karena itu, Indonesia perlu belajar dari Vietnam. Masyarakat di negara itu memiliki kesadaran tinggi untuk melapor ke otoritas kesehatan jika telah melakukan kontak dekat atau sempat berada di tempat yang sama dengan pasien positif. Hal ini, didukung komunikasi publik dan transparansi data yang baik dari pemerintah, memudahkan proses pelacakan yang dilakukan hingga tiga tingkat. 

Laporan “Emerging Covid-19 Success Story: Vietnam’s Commitment to Containment” yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan Vietnam bersama Harvard Medical School dan Oxford University Cilinical Research Unit menjelaskan otoritas kesehatan akan melacak kontak erat (F1) dari pasien positif (F0). Jika F1 dites dan hasilnya positif, maka kontak eratnya (F2) juga akan dilacak dan diperiksa. Proses ini pun bisa terus berlanjut hingga F5.

Sementara di Indonesia, kesadaran tersebut belum terbangun. Banyak pasien positif yang tidak ingat melakukan kontak dengan siapa saja atau kontak erat yang tidak jujur bepergian ke mana saja. Padahal, dukungan semua lapisan masyarakat diperlukan untuk proses pelacakan.

Tracing memerlukan kerja sama antara tenaga kesehatan, organisasi masyarakat, dan ketua RT/RW. Kerja sama dan kejujuran dari orang positif dan keluarganya pun penting,” jelas dr. Laela Soraya dari puskesmas di Dompu Timur, Nusa Tenggara Barat dalam seri webinar Katadata.co.id dan KawalCOVID19 pada 6 Agustus lalu..

Treatment

Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

Poin penting dalam perawatan adalah tidak menunda. KawalCOVID19 mengatakan kontak erat dari pasien positif Covid-19 harus menjalani isolasi sejak teridentifikasi, meski hasil tesnya belum keluar, hingga terbukti tidak terinfeksi. Isolasi yang dilakukan secara mandiri juga harus memenuhi standar yang berlaku.

“Pastikan mereka dikarantina dengan prosedur yang benar, bukan sekadar diam di rumah tetapi masih berinteraksi dengan anggota keluarga,” jelas tim tersebut dalam tulisan yang sama.

Namun, perawatan yang baik dan cepat sulit dilakukan di Indonesia karena adanya keterbatasan pelaksanaan pada dua langkah sebelumnya dan ketidaksiapan fasilitas kesehatan. Akibatnya, beban kapasitas rumah sakit bisa bertambah.

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan baru 40,1 persen tempat tidur isolasi rumah sakit di Indonesia yang terisi pasien Covid-19 per 7 Agustus 2020. Meski masih mencukupi, rasio ini perlu diantisipasi lantaran proses identifikasi kasus hingga kini belum maksimal dan adanya potensi gelombang kedua virus.

Pelaksanaan yang buruk pada langkah ini lalu berdampak pada jumlah korban meninggal. Rasio kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 4,4 persen pada 21 Agustus 2020, lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yang sebesar 3,5 persen. Meski begitu, masih ada sejumlah provinsi yang tingkat kematiannya di atas angka nasional.

Penanganan Covid-19 di Indonesia pada bulan pertama dan bulan kelima belum jauh berbeda. Pelaksanaan beberapa langkah masih di bawah standar internasional, sementara rasio yang mengukur keparahan pandemi seringkali di atas rata-rata dunia. Jika awalnya karena terlambat antisipasi, maka kini seharusnya tidak ada lagi alasan untuk mengabaikan 3T.

Ketiga langkah tersebut terbukti belum dilakukan secara masif dan agresif. Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu berbenah agar penyebaran virus corona di Indonesia segera terkendali.

***