Mengejar Mimpi Industri
Baterai Berkelanjutan Dalam Negeri
Hulu-hilir industri baterai kendaraan listrik bermanfaat, tapi tanpa pengawasan yang baik, ekses industri ini berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Prinsip pembangunan rendah karbon berkeadilan dapat menjadi jalan keluar.
Setahun terakhir ini tercatat beberapa perkembangan penting dalam industri baterai kendaraan listrik Indonesia. Pada awal Juli 2024, Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo meresmikan pabrik baterai kendaraan listrik, PT Hyundai LG Industri (HLI) Green Power. Pabrik yang terletak di Karawang, Jawa Barat ini digadang-gadang sebagai fasilitas pembuatan sel baterai pertama dan terbesar di Asia Tenggara.
Investasi pabrik ini mencapai US$3,1 miliar atau setara Rp45,88 triliun. Ketika beroperasi komersial pada Maret 2025, PT HLI Green Power akan memiliki kapasitas produksi baterai sebesar 30 gigawatt/jam.
“Dengan dibangunnya smelter, pabrik sel kendaraan listrik, [Indonesia] akan berperan penting dalam rantai pasok kendaraan listrik,” ujar Jokowi saat memberikan kata sambutan.
Kemudian, pada 7 Agustus, Jokowi kembali meresmikan pabrik bahan anoda baterai litium PT BTR Energy Material di kawasan ekonomi khusus (KEK) Kendal, Jawa Tengah. Pabrik yang didanai modal dari Tiongkok ini memiliki kapasitas produksi 160 ribu ton per tahun. Alhasil, BTR Energy Material merupakan produsen anoda terbesar di dunia.
Gerak Cepat untuk Keuntungan dan Lingkungan
Kehadiran PT HLI Green Power dan PT BTR Energy Material menggambarkan jangkauan serta jaringan industri baterai listrik yang mulai terbentuk di Indonesia.
Hingga saat ini, Indonesia masih mengekspor sebagian besar nikel setengah jadi ke Cina untuk dijadikan komponen utama baterai kendaraan listrik, seperti katoda dan anoda. Namun, Indonesia mulai mengembangkan kapasitas produksi komponen baterai kendaraan listrik, sehingga ke depannya proses ini akan berlangsung di dalam negeri.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah, termasuk nikel, pada 2020, untuk mendorong sektor manufaktur dalam negeri. Sejak itu, pemerintah memastikan agar keuntungan dari industri nikel berkembang melalui peningkatan nilai tambah di dalam negeri.
“Kebijakan ini demi peningkatan added value dari nikel untuk pengelolaan mineral di Indonesia,” ungkap mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono dikutip dari situs Kementerian ESDM.
Berdasarkan kajian Traction Energy Asia bertajuk “Pemetaan Rantai Pasok Baterai Kendaraan Listrik di Indonesia”, rantai produksi baterai kendaraan listrik mengikuti alur berikut. Pertama, ada sektor hulu seperti penambangan bahan baku mineral yang kemudian diproses dan dimurnikan di pabrik peleburan berbahan bakar batubara.
Kedua, sektor menengah. Pada tahap ini, mineral olahan diproses menjadi elemen baterai, seperti katoda, anoda, dan separator. Adapun di sektor hilir perakitan dan pemasangan baterai ke kendaraan listrik.
Kemudian, pasca penggunaan, baterai kendaraan listrik didaur ulang atau repurposed. Misalnya, mineral berharga seperti nikel dapat dipulihkan untuk digunakan kembali, dan baterai EV bekas juga dapat digunakan untuk penyimpanan energi dari sumber variabel seperti tenaga angin atau tenaga surya.
Pembangunan ekonomi bukan satu-satunya alasan. Kendaraan listrik juga digunakan menjadi salah satu jurus untuk menekan emisi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) menyebutkan, Pemerintah Indonesia menetapkan komitmen penurunan emisi di sektor energi sebesar 358 juta ton setara karbon dioksida (MTCO2e). Angka ini setara 12,5 persen dari total target pengurangan emisi pada 2030.
Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga mencanangkan target kendaraan listrik yang melaju di jalan sebesar 15 juta unit pada tahun yang sama. Salah satu tonggak kebijakan ini adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan yang telah diperbarui menjadi menjadi Perpres No. 79 Tahun 2023.
“Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius penerapan kendaraan listrik, yakni kepemilikan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit kendaraan listrik roda dua pada 2030,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam diskusi panel High-Level Closed-Door Ministerial Discussion, IEA’s 9th Global Conference on Energy Efficiency (GCEE) di Nairobi, Kenya, Rabu (22/5).
Target ambisius pemerintah adalah menjadi pemain utama dalam industri baterai global. Salah satu langkah konkretnya, yakni meningkatkan produksi nikel sulfat hingga 1 juta ton pada 2025. Ditambah target produksi baterai kendaraan listrik dengan kapasitas 140 GWh pada 2030. Target tersebut membutuhkan investasi sekitar US$35 miliar.
Terbukti, saat ini smelter nikel mendominasi smelter di Indonesia. Data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan, sebanyak 54 smelter nikel telah beroperasi di Indonesia dengan kapasitas total pengolahan 300 juta wet metric ton.
Jumlah smelter yang beroperasi ini terbagi menjadi dua jenis. Sebanyak 49 smelter berteknologi pirometalurgi atau energi termal berbahan bakar batubara, dan 5 smelter berteknologi hidrometalurgi atau ekstraksi menggunakan larutan berair.
Pemerintah memberikan insentif fiskal signifikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam pembangunan pabrik baterai dan smelter high pressure acid leaching. Insentif ini meliputi pengurangan pajak penghasilan (tax holiday), pembebasan pajak pertambahan nilai untuk impor mesin dan peralatan, serta insentif bea masuk.
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan beberapa kawasan industri khusus yang difokuskan pada produksi baterai listrik dan pengolahan nikel. Misalnya, Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah dan Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera.
Pada saat yang bersamaan, cadangan nikel juga harus dialokasikan untuk memenuhi pasar stainless steel atau baja nirkarat.
“Diperkirakan pada 2040, penggunaan nikel untuk stainless steel sebanyak 48 persen, sementara baterai 30 persen,” kata Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan Perhapi Muhammad Toha mengutip data Wood Mackenzie dalam webinar bertajuk “LFP vs Baterai Nikel: Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia”, Senin (5/2).
Toha menjelaskan permintaan nikel terhadap baterai akan meningkat dari 3 persen atau 163 ribu ton pada 2020 menjadi 30 persen atau 1,2 juta ton pada 2040. Namun, jumlahnya masih lebih sedikit jika dibandingkan nikel yang digunakan untuk pembuatan baja nirkarat sebesar 1,9 juta ton pada 2040.
Rantai Pasok Mengerek Ekonomi dan Tenaga Kerja
Saat ini, kondisi industri hulu-hilir baterai Indonesia dapat dikatakan masih berkembang. Data yang dihimpun Traction menunjukkan, sektor hulu masih mendominasi rantai pasok. Tercatat, ada 435 tambang mineral bahan baku baterai dan 53 smelter beroperasi di Indonesia.
Sektor menengah baru memiliki 1 produsen komponen sel baterai, dan 7 produsen baterai. Sementara, sektor hilir relatif mulai terbentuk, dengan 10 pabrik kendaraan listrik dan 2 perusahaan daur ulang.
Kendati sedang dalam pengembangan, industri baterai telah menunjukkan dampak di wilayah-wilayah yang menjadi mata rantai pasokan baterai.
Traction menyorot pusat-pusat produksi tersebut, yakni Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dan Kabupaten Karawang, serta Kabupaten Bekasi yang berada di Jawa Barat. Ketiga wilayah ini merupakan perwakilan pusat sektor hulu dan hilir industri baterai kendaraan listrik di Indonesia.
Analisis Traction Energy Asia menunjukkan, pengembangan industri nikel ini menghasilkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang tidak sedikit.
“Ketiga hal itu (dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan) perlu diperhatikan agar pembangunan industri baterai berkelanjutan bisa diterapkan,” ucap Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Pratama.
Di Morowali, Traction menemukan ada peningkatan pesat pada pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dalam kurun waktu 2011-2022 dari sektor pertambangan dan penggalian.
“Sektor ini menyumbang sebesar 17,29 persen dengan nilai PDRB sektor mencapai Rp14,8 triliun,“ tulis laporan tersebut. Meskipun Traction mencatat kontribusi ini menurun secara tahunan, nilai PDRBnya terus meningkat.
Pada waktu bersamaan, sektor industri pengolahan semakin meningkatkan kontribusinya. Pada 2019, kontribusi sektor ini hanya sekitar 36,85 persen dari nilai PDRB sebesar Rp 6,3 miliar. Tetapi pada 2022 tingkat kontribusi melonjak 73,19 persen atau senilai Rp 47,4 triliun.
Tren yang sama juga bisa diamati di Kabupaten Bekasi dan Karawang. Di kedua kabupaten ini, masing-masing mencatat peningkatan PDRB industri pengolahan sebesar 5,82 persen dan 7,53 persen dari sektor pengolahan. Adapun, sektor ini menyumbang 77 persen PDRB Bekasi dan 70 persen untuk Karawang.
Industri baterai juga telah meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Dalam kurun waktu 2015-2022, Morowali, Bekasi, dan Karawang mencatat tren peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Di Morowali, Traction mencatat dari tenaga kerja di bawah 48 ribu orang, penyerapan mencapai puncaknya pada 2021 dengan adanya sekitar 55.000 jiwa.
Sementara di Bekasi dan Karawang, jumlah tenaga kerja mencapai puncaknya pada 2022, masing-masing sebesar 1.799.668 jiwa dan 1.077.939 jiwa.
Namun, lembaga riset ini juga mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di sektor hulu dan hilir. Di Morowali, TPT tahun 2020-2021 konstan sebesar 5,35 persen sebelum menurun ke 3,31 persen pada 2022. Berdasarkan analisis, hal ini disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara kualifikasi atau keahlian tenaga kerja lokal dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Selain itu, Traction juga melihat masih adanya tenaga kerja dari luar daerah yang masuk di Morowali, tetapi hanya di sektor tertentu. “Mayoritas tenaga kerja yang berasal dari luar daerah tersebut umumnya bekerja sebagai kuli bangunan, pekerja kasar, dan/atau pekerja operasional di sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan,“ tulis Traction dalam laporan.
Di sektor hilir, masing-masing TPT untuk Bekasi dan Karawang melandai, meski memiliki angka yang cukup tinggi. Bekasi tercatat 10,31 persen, sedangkan Karawang 9,87 persen.
“Sembari Indonesia mengembangkan sektor tengah, sebaiknya dibangun tidak jauh di wilayah Karawang dan Cikarang, supaya dampak ekonominya dan pembangunan lainnya akan berganda,” ujar Tommy.
Tantangan Lingkungan Hulu-Hilir
Pada saat bersamaan, Traction juga menggarisbawahi tantangan lingkungan industri baterai. Misalnya, pada emisi gas rumah kaca (GRK), kualitas udara, dan tutupan hutan.
Di indikator pertama, Traction menilai daur hidup atau life cycle assessment (LCA) dalam memproduksi 1 kilogram baterai. Lima indikator yang disorot adalah potensi pemanasan global, potensi dampak asam pada lingkungan, potensi dampak racun pada kesehatan manusia, pembentukan partikel yang mencemari udara, dan kualitas udara yang mempengaruhi manusia secara langsung.
Temuannya, sektor tengah berkontribusi 45-51 persen terhadap dampak lingkungan untuk seluruh indikator. Dampak terbesarnya pada potensi dampak asam terhadap lingkungan.
Dengan masih belum terbentuknya kapasitas produksi bahan baku baterai yang besar untuk langsung menerima mineral yang telah sebagian diolah. “Akibatnya, bahan semi-olahan yang dihasilkan pada tahap hilir masih harus diekspor ke luar negeri, sehingga menghasilkan dampak yang lebih besar,“ ujar laporan tersebut.
Analisis LCA juga menunjukkan kegiatan di sektor hulu turut berkontribusi terhadap penyebab emisi ini. Smelter nikel diketahui menghasilkan emisi nitrogen oksida (NOx) dan sulfur oksida (SOx) dari pembangkit listrik tenaga uap captive-nya. Sementara, sektor hilir menghasilkan dampak GRK yang rendah karena utamanya melakukan proses perakitan saja.
Menurut Tommy, hal ini tidak lepas dari keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terintegrasi atau captive dalam wilayah pengolahan nikel. Seluruh industri nikel di Sulawesi Tengah memiliki kapasitas PLTU captive sebesar 8,4 gigawatt (GW), sementara di Morowali sendiri terpasang 4,2 (GW).
PLTU captive ini tidak dilengkapi teknologi scrubber untuk mengurangi zat beracun dari cerobongnya. “Kalau pemerintah berencana memperluas industri nikel, maka dampak polusi udara, tanah, dan air ke wilayah sekitar akan semakin parah,” ujar Tommy.
Penurunan kualitas udara menjadi salah satu masalah di lingkungan sekitar industri. Kegiatan pertambangan di sektor hulu di Morowali menghasilkan partikel debu, gas, dan senyawa berbahaya seperti sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NO2). Lalu, sektor manufaktur yang berlangsung di pabrik-pabrik juga melepas karbon monoksida (CO), hidrokarbon, dan oksida nitrogen.
Namun, sektor hilir di Bekasi dan Karawang sangat berisiko menghasilkan konsentrasi senyawa-senyawa CO, NO2 dan SO2 lebih banyak. Pasalnya, dua senyawa pertama (CO dan NO2) dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna oleh bahan bakar hasil hilir mudik kendaraan bermotor. Sementara senyawa kedua (SO2) dihasilkan dari penggunaan pembangkit listrik tenaga uap, proses industri, dan transportasi laut.
Traction juga memperhatikan dampak kemunculan industri baterai terhadap tutupan hutan, khususnya di Morowali. “Sampai 2022, tutupan hutan tersisa di Kabupaten Morowali yang masuk dalam wilayah izin usaha pertambangan (IUP) komoditas nikel seluas 100.666 hektar,“ tulis Traction dalam laporannya.
Luasan ini termasuk dalam 543.615 hektar tutupan hutan nasional dalam wilayah IUP nikel yang tersebar di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
“Ini bagian dari pembangunan berdasarkan program Proyek Strategis Nasional (PSN). Melalui program ini, banyak peraturan tata ruang termasuk kehutanan yang dapat ditangguhkan untuk mempercepat investasi dan pembangunan,” kata Tommy menjelaskan.
Traction melihat, praktik pertambangan yang baik dibutuhkan untuk memastikan agar tutupan hutan ini tetap dapat dipertahankan.
Solusi: Pembangunan Rendah Karbon Berkeadilan
Traction mengajukan agar industri baterai kendaraan listrik menerapkan prinsip pembangunan rendah karbon. Traction menulis, pembangunan rendah karbon bertujuan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.
Cara ini dapat ditempuh melalui efisiensi penggunaan sumber daya, termasuk meningkatkan standar dan tata kelola pertambangan mineral Indonesia yang buruk untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, penggunaan energi terbarukan, dan mengubah pola konsumsi dan produksi.
Namun, Traction juga mengingatkan agar pembangunan rendah karbon juga harus berkeadilan. “Terlebih lagi untuk memberikan manfaat untuk masyarakat setempat,” kata Tommy.
Untuk itu, Traction mencatat tiga hal yang harus dicapai. Pertama, memastikan akses sumber energi bersih dan peluang ekonomi ramah lingkungan yang setara.
Kedua, melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mendapatkan dukungan luas dan berkelanjutan untuk transisi energi. “Salah satunya memberikan pelatihan untuk masyarakat lokal,” ujarnya.
Ketiga, membantu melindungi kelompok-kelompok rentan dampak perubahan iklim, termasuk ke perubahan cuaca ekstrem dan peningkatan akses ke layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik.
Menerapkan isu ini bukan tanpa tantangan. Mengurangi emisi GRK membutuhkan adopsi teknologi tinggi. Investasi berbiaya besar perlu digelontorkan agar transisi ini bisa berjalan.
Namun, menerapkan pembangunan rendah karbon berkeadilan membuka lapangan kerja baru di bidang teknologi hijau dan energi terbarukan, memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat.
Prinsip ini dapat turut menjaga ekosistem dan sumber daya alam dan memberikan akses merata bagi masyarakat. Selain itu, inovasi teknologi ramah lingkungan juga bisa didorong.
Traction merekomendasikan beberapa langkah agar pembangunan rendah karbon dapat terwujud. Tommy mengungkapkan, saat ini sudah ada standar-standar industri yang dapat diterapkan.
Dia mencontohkan, EU Batteries Regulation yang mengatur persyaratan daur hidup baterai yang diproduksi di Uni Eropa (UE), dari jejak karbon di hulu hingga daur ulang bahan baku di hilir.
“UE juga memiliki peraturan corporate sustainability due diligence directive, sebagai standar keberlanjutan perusahan produsen kendaraan listrik,” kata Tommy menjelaskan.
Sementara, Tiongkok menerbitkan dokumen Panduan Uji Tuntas Rantai Pasok Mineral Bertanggung Jawab. Dokumen ini mengatur asesmen risiko lingkungan dalam rantai produksi baterai global yang bekerja sama dengan perusahaan dari negara yang kini menjadi salah satu pusat produksi baterai dunia.
Menanggapi kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran yang akan menggenjot hilirisasi, Tommy mengatakan, pemerintah pusat bisa memperbaiki standar industri nikel dan baterai dalam skema PSN dengan standar-standar ini.
Tommy mencontohkan Harita Nickel di Maluku Utara, yang menjadi pertambangan dan smelter nikel pertama yang berkomitmen diaudit oleh Initiative for Responsible Mining Assurance atau IRMA. Menurut dia, IRMA merupakan salah satu lembaga dengan standar pertambangan berkelanjutan yang ketat di dunia.
Inisiatif ini dapat dikembangkan pemerintah pusat, terlebih lagi dengan banyaknya investasi di industri baterai oleh Tiongkok dan Uni Eropa. “Pemerintah pusat dapat berkomunikasi dan berkolaborasi dengan pemerintah Tiongkok, Uni Eropa agar standar-standar uji tuntas dari masing-masing pihak menjadi bagian dari investasi,” katanya.
Selain dukungan kemudahan regulasi dan insentif, harus ada juga dukungan infrastruktur sosial yang menjadi paket kebijakan untuk PSN.
“Pembangunan PSN dapat diperkuat dengan konsultasi dengan masyarakat lokal, supaya bisa memastikan juga bentuk kompensasi yang baik,” kata Tommy menerangkan.
Dia menambahkan, Traction juga tengah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Morowali merancang kebijakan jangka menengah daerah, terutama memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.
“Kami bahas bersama masalah seperti pengawasan emisi GRK, pengurangan kemiskinan, dan lainnya,” ungkap Tommy.