
“Nggak ada niat TNI mau dwifungsi lagi. Come on. Nonsense, itu saya katakan,” ujar Presiden Prabowo Subianto saat menjawab pertanyaan Uni Lubis, salah satu jurnalis senior yang ikut mewawancarai presiden ke-8 itu di kediamannya di Hambalang, Jawa Barat.
Dalam sesi wawancara yang berlangsung pada 6 April itu, presiden mengajak tujuh jurnalis senior untuk menanyainya berbagai topik yang tengah hangat di masyarakat, termasuk berbagai isu negatif di pemerintahannya yang baru berjalan setengah tahun.
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru disahkan pada 20 Maret 2025 adalah salah satu yang ditanyakan. Meski penolakan terhadap revisi itu marak, bahkan melibatkan demonstrasi di berbagai daerah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah tetap mengesahkannya.
“Semua tentara yang akan masuk jabatan-jabatan sipil (harus) pensiun dini. Hanya ada beberapa lembaga yang memang diizinkan,” kata Prabowo.
Kendati UU TNI memastikan pembatasan kewenangan tentara, beberapa pasal di dalamnya dinilai tetap bercelah. Pada pasal 3 ayat (1) draf revisi yang beredar, misalnya, menyebut pengerahan TNI berada langsung di bawah presiden. Sebelum revisi, undang-undang mengatur presiden harus mendapatkan persetujuan DPR jika ingin melakukan mengerahkan militer. Persetujuan parlemen merupakan bentuk penerapan kontrol militer oleh sipil.
Penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa menjadi contoh dari pengerahan langsung itu. Meski UU TNI tak menyebut sektor pangan, tentara tetap dapat dilibatkan asal ada titah dari presiden tanpa melalui perundingan di parlemen.
Presiden Prabowo juga menugaskan tentara mengelola sejumlah BUMN baru di sektor energi dan pangan, hasil reinkarnasi tiga perusahaan negara yang sebelumnya bergerak di sektor konstruksi. Perusahaan baru itu antara lain PT Agrinas Palma untuk sawit dan biodiesel; PT Agrinas Pangan Nusantara untuk pangan; dan PT Agrinas Jaladri Nusantara untuk sektor perikanan.
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute Made Supriatma menilai, ada banyak celah yang bisa digunakan pemerintah untuk memasukkan militer ke ranah sipil selain lewat undang-undang. Dalam beberapa tahun terakhir, TNI tampak leluasa membuat nota kesepahaman atau MoU dengan berbagai pihak, termasuk kementerian, pemerintah daerah, bahkan perguruan tinggi.
Salah satu contoh, pada 14 Maret, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi meneken kerja sama proyek pembangunan infrastruktur di Jabar.
“Seharusnya pemerintah dan (pemerintah) daerah bikin proyek-proyek padat karya untuk membantu masyarakat yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja). Di Jawa Barat banyak sekali yang kena PHK. Tapi ini diambil tentara. Bisa dibayangkan konsekuensinya,” kata Made kepada Katadata.do.id pada 15 April.
Di tingkat kementerian, TNI sudah menekan MoU dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; Kementerian Pertanian; dan Kementerian Kehutanan. Kementerian-kementerian tersebut jauh dari urusan pertahanan, apalagi perang.
Risiko Ekonomi Tentara Keluar Barak
Keterlibatan militer dalam urusan sipil dan program nontempur kerap dikaitkan dengan pendekatan militeristik. Dalam pemerintahan, pendekatan ini dapat menimbulkan ketidakpastian politik, bahkan ekonomi, di suatu negara. Investor cenderung menghindari negara yang menunjukkan dominasi militer karena risiko perubahan kebijakan yang tiba-tiba dan potensi konflik sosial yang meningkat.
Tingkat keterlibatan militer dalam sektor sipil tidak selalu sebanding dengan besarnya anggaran pertahanan suatu negara. Dalam beberapa kasus, negara dengan belanja militer tinggi justru mampu menjaga batas tegas antara fungsi pertahanan dan aktivitas sipil, termasuk ekonomi. Hal ini menunjukkan profesionalisme militer dan kerangka institusional yang kuat memainkan peran penting dalam mencegah dominasi militer di luar ranah pertahanan.
Berdasarkan data Multidimensional Measures of Militarization (M3), negara-negara maju di daratan Asia dengan porsi belanja militer yang besar sekalipun, seperti Israel, Korea Selatan, dan Singapura tidak menempatkan militer dalam ranah perusahaan negara dan swasta.
Amerika Serikat (AS), yang kontribusi belanja militernya mencapai 3,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), juga melakukan hal yang sama.
Di sisi lain, negara-negara yang cenderung militeristik dan melibatkan tentara dalam perusahaan negara, seperti Myanmar dan Pakistan, tampak kesulitan mendorong roda perekonomiannya.
Myanmar mengalami pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih lambat. Rata-rata pertumbuhan tahunan (CAGR) selama satu dekade terakhir hanya 1,03%. Negara itu bahkan mencatatkan investasi asing langsung (FDI) net inflows terendah di ASEAN, yaitu US$1,52 miliar.
Keterlibatan junta militer Myanmar yang bernama Tatmadaw dalam kehidupan politik dan ekonomi mencapai puncaknya dengan kudeta militer pada 2021. Hal ini dinilai berkontribusi menghambat pertumbuhan. Konstitusi Myanmar menjamin militernya mendapat alokasi 25% kursi parlemen dan sejumlah kementerian penting.
Pada 2019, Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) PBB pernah melaporkan bahwa militer Myanmar ikut berbisnis dan memiliki dua perusahaan besar, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC).
Kedua perusahaan menaungi 26 anak perusahaan. Operasional bisnisnya menggurita hingga 120 sektor, mulai dari farmasi, manufaktur, asuransi, pariwisata, bahkan perbankan. Perusahaan-perusahaan ini juga memegang lisensi pertambangan batu mulia, terutama giok dan rubi, di negara bagian Kachin dan Shan yang berada di wilayah utara berbatasan langsung dengan Cina.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sebelumnya mengkhawatirkan efek crowding out jika TNI diperbolehkan berbisnis. Apalagi diberi mandat mengelola program atau perusahaan negara.
Crowding out yang dimaksud Bhima mengacu pada peningkatan belanja pemerintah yang justru menurunkan belanja sektor swasta, sehingga mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, potensi ekonomi pada belanja program MBG minim karena tentara mengambil porsi pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pelaku swasta, UMKM, bahkan petani.
Selain itu, posisi TNI yang ditempati di BUMN juga berdampak pada munculnya sistem ekonomi komando. Kondisi ini berpotensi berdampak pada investor, sehingga menimbang ulang keinginan berinvestasi di tanah air, baik lewat pasar saham maupun FDI.
Negara-negara lain di kawasan yang mengalami intervensi dan penguatan militer dalam pemerintahan sipil juga menunjukkan pola penurunan kepercayaan investor. Thailand, umpamanya, menghadapi penurunan signifikan dalam aliran FDI akibat kudeta militer pada 2014.
Pada 22 Mei 2014, Angkatan Darat Kerajaan Thailand melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra yang memenangkan pemilihan umum pada 2011. Sesaat setelah kudeta, Negeri Gajah Putih dilanda krisis politik hingga enam bulan lamanya. Pemimpin kudeta dan panglima militer Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha, kemudian memimpin pemerintahan junta militer dan menjabat sebagai perdana menteri hingga 2023.
Meski ada pemulihan sejak 2014, proporsi FDI terhadap PDB di Thailand belum pernah mencapai titik tertingginya seperti pada 2013. Sebelumnya, pada 2011, FDI negara itu juga sempat anjlok ke level 0,7% terhadap PDB karena ditimpa banjir besar yang berlangsung selama 175 hari, dari 25 Juli 2011 hingga 16 Januari 2012. Banjir merendam 19 provinsi, termasuk Bangkok, ibu kota Thailand.
Adapun Vietnam dan Cina punya corak yang agak lain. Meski masuk sebagai negara yang turut melibatkan tentara di dalam perusahaan negara menurut data M3, kedua negara dikendalikan partai komunis. “Tentara tunduk kepada partai. Dan petinggi partai diisi para teknokrat,” kata Made Supriatma.
Cina, misalnya, di bawah Xi Jinping, melakukan reformasi yang cukup signifikan terhadap institusi pertahanannya. Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) menjadi kekuatan militer yang modern dan profesional dengan pengembangan rudal hipersonik, kapal induk, dan aset perang siber.
Ekonomi Tetap Menjadi Kunci
Tingginya rasio belanja militer terhadap belanja pemerintah sering digunakan sebagai indikator kadar militeristik suatu negara. Negara dengan proporsi pengeluaran militer yang besar biasanya menunjukkan peran militer yang dominan dalam politik, keamanan, dan kebijakan nasional.
Myanmar secara konsisten memiliki rasio belanja militer tertinggi bahkan jika dibandingkan AS dan Israel. Setelah 2019, rasionya melonjak tajam, mendekati 25% pada periode 2022-2023. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa Tatmadaw memegang peran sentral dalam pemerintahan pascakudeta militer.
Sejumlah penelitian menunjukkan adanya korelasi yang cukup signifikan dari besarnya belanja militer terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Di satu sisi, belanja militer yang besar dapat mendorong sektor manufaktur dan teknologi hingga membuka lapangan pekerjaan. Di sisi lain, tingginya belanja militer dapat menggeser prioritas yang lebih mendorong pertumbuhan ekonomi seperti infrastruktur.
Guru Besar Ekonomi Pertahanan Universitas Cranfield Inggris, Ron Matthews, dalam kuliah umumnya di Universitas Islam Internasional Indonesia pada Februari 2024 mengatakan, kekuatan militer justru sangat dipengaruhi kekuatan ekonomi.
Mendongkrak perekonomian sebagai basis, dengan kata lain, jauh lebih penting ketimbang peningkatan kekuatan militer yang dilakukan tanpa mengutamakan kesejahteraan ekonomi dan kemajuan pembangunan.
Penelitian Cappelen dkk (1984) menyimpulkan, militer yang mampu mendorong perekonomian hanya terjadi pada negara-negara yang melakukan penelitian inovatif di bidang militer dan teknologi. Hal ini tidak terjadi di negara-negara yang memberikan kesempatan militer mengelola hal-hal lain di luar koridornya.
Misalnya, menurut laporan yang dirilis National Conference of State Legislatures (NSCL) “Military's Impact on State Economies” (2018), Departemen Pertahanan AS ikut berkontribusi terhadap perekonomian negara. Salah satunya lewat kontrak-kontrak dengan perusahaan swasta untuk peralatan, suplai, konstruksi, hingga kesehatan, dan teknologi di bidang militer.
Paradigma ini berbeda dengan Myanmar yang mengedepankan militer, tetapi tidak fokus mengembangkan perekonomiannya. Meski rasio belanja militernya sangat besar, Myanmar justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat akibat ketidakstabilan politik dan sanksi internasional yang berujung pada minimnya investasi yang masuk.
Di Indonesia, corak militerisme mewarnai kepemimpinan Prabowo sejak awal menjabat. Anggota kabinet yang mayoritas sipil digembleng retret ala militer. Sedangkan tentara diberi tugas mengeksekusi dan mengawal kerja-kerja sipil di banyak program strategis pemerintah, seperti MBG hingga swasembada pangan dan energi.
Pada awal Januari lalu, Prabowo bahkan membekali 200 kolonel dengan kursus singkat manajemen dan bisnis di kediamannya di Hambalang.
Kepentingan Politik atau Pertahanan?
Laboratorium Indonesia 2045 (LAB45), lembaga kajian bidang proyeksi strategis, menilai revisi UU TNI lebih didorong aspek politik ketimbang substansi penguatan TNI.
Penyesuaian kebijakan pertahanan, menurut LAB45, idealnya bertujuan untuk menjawab perubahan ancaman, pergeseran karakter perang, serta perkembangan teknologi. Namun draf revisi UU TNI yang beredar tidak banyak menjawab permasalahan tersebut.
“Pembahasan dan diskursus yang terjadi justru hanya sekadar menyasar hal-hal yang sifatnya administratif, seperti masa usia pensiun dan penambahan penempatan TNI aktif di jabatan sipil,” tulis LAB45 dalam komentarnya yang dirilis pada 18 Maret.
Made Supriatma menyoroti timpangnya struktur personel di tubuh TNI. Mengacu pada Pelaporan Kekuatan Personal (Lapkuatpers) Mabes TNI serta Mabes Angkatan dan Luar Struktur tahun 2024, jumlah kolonel, perwira bintang satu dan bintang dua tercatat melebihi jumlah yang dibutuhkan.
Sebaliknya, menurut data yang sama, posisi letnan kolonel hingga letnan satu mengalami defisit. Padahal posisi-posisi tersebut merupakan ujung tombak pertempuran dan pertahanan. “Posisi jenderal sudah keputusan politik,” kata Made.
Mayor Jenderal TNI (Purn) Sisriadi, dalam artikelnya di majalah bulanan Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Wira, edisi Maret-April 2018, menyimpulkan bahwa menumpuknya perwira tinggi di TNI salah satunya justru disebabkan oleh penambahan usia pensiun yang diatur UU TNI lama, dari 55 menjadi 58 tahun. Saat menulis artikel tersebut, Sisriadi masih menjabat Sekretaris Ditjen Kuathan Kementerian Pertahanan,
Alih-alih memperketat jumlah jenderal, revisi UU TNI malah menambah usia pensiun bintang satu ke atas hingga melebihi 60 tahun. Khusus bintang empat, masa pensiunnya bahkan bisa diperpanjang maksimal dua tahun kalau presiden mau.
Editor: Aria W. Yudhistira