Advertisement
Analisis | Seberapa Besar Dampak Tarif Trump Memukul Ekonomi Indonesia? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Seberapa Besar Dampak Tarif Trump Memukul Ekonomi Indonesia?

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Tarif impor resiprokal Trump memicu guncangan di pasar keuangan global, hingga memukul kurs rupiah terhadap dolar AS jatuh ke level terendahnya sepanjang sejarah. IHSG ikut terperosok. Intensitas perang dagang antara AS dan Cina yang terus meningkat juga menghantui ekonomi Indonesia. Seberapa besar dan panjang dampaknya?
Muhammad Almer Sidqi
11 April 2025, 13.05
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Indonesia masuk ke dalam pusaran perang dagang 2.0 yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Presiden yang baru menjabat untuk periode kedua tersebut mengumumkan Indonesia dikenakan tarif resiprokal sebesar 32%. Kebijakan timbal-balik ini merupakan tarif tambahan kepada negara-negara yang selama ini menikmati surplus perdagangan atas Negeri Paman Sam.

Dua hari kemudian, 4 April, pada perdagangan non-deliverable forward (NDF), nilai tukar rupiah langsung anjlok hingga sempat menyentuh level Rp17.006 per dolar AS. Pelemahan ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah, melampaui level saat krisis moneter 1998 dan pandemi Covid-19 pada 2020. Sepanjang kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, rupiah tercatat melemah hingga 8,3% terhadap dolar AS.

Pelemahan rupiah seiring sejalan dengan guncangan yang dialami Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sejak 20 Oktober 2024, saat Prabowo dilantik, hingga 8 April 2025, IHSG turun sekitar 22,86%. 

Analisis yang dilakukan Office of Chief Economist (OCE) Bank Mandiri menyebut ketidakpastian global akibat perang dagang menghantam jalur pasar keuangan dan meningkatkan volatilitas. Tarif resiprokal, misalnya, bakal membatasi pasokan dolar AS, memperbesar potensi keluarnya modal asing dari pasar saham dan obligasi, dan pada akhirnya, semakin menekan rupiah.

Saat perdagangan perdana usai Lebaran 2025, pada 8 April lalu, IHSG langsung anjlok 9,19% ke level 5.912. Bursa Efek Indonesia (BEI) pun kembali memberlakukan penghentian sementara perdagangan saham atau trading halt. Padahal BEI baru mengubah aturan batas trading halt menjadi 8% menjelang pembukaan perdagangan bursa sahamnya. 

Pada 18 Maret, otoritas bursa juga sempat melakukan trading halt setelah IHSG amblas lebih dari 5%. Sebelum dua kali trading halt pada 2025, BEI terakhir kali melakukannya pada 9 Maret 2020 atau sepekan setelah pengumuman kasus pertama virus corona di Indonesia. 

Menjelang akhir Maret lalu, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) kembali menahan suku bunganya di level 4,25-4,50%. Suku bunga yang masih cenderung tinggi ini menjadikan AS masih lebih menarik bagi investor global, meski ada ekspektasi pemangkasan suku bunga hingga 100 basis points pada kebijakan The Fed selanjutnya

Arus modal keluar dari asing itu pun berkontribusi terhadap pelemahan rupiah. Hal ini terlihat dari dominasi net foreign sell sejak Oktober 2024. Pada saat peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara—yang juga menjadi salah satu sentimen domestik yang paling berperan—net foreign sell bahkan mencapai Rp3,74 triliun dalam sehari, terbesar sejak Oktober 2024. 

PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat adanya penyusutan proporsi aset investor asing di pasar modal Indonesia. Pada Agustus 2024, porsi kepemilikan investor asing mencapai 48,5%. Namun, pada Februari 2025, porsinya turun menjadi 41,24%.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga menjadi indikator penting. Pada laporan interim awal Maret 2025, OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 hanya berada di kisaran 4,9%. Prediksi ini di bawah proyeksi pemerintah yang sebesar 5,2%.

“Penurunan tersebut mencerminkan outlook investasi yang lebih lemah dan kenaikan risiko perdagangan dari ancaman kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump,” kata Assuabi Ibrahim, pengamat pasar uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka, dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Katadata.co.id, Kamis, 27 Maret.

Dampak Pelemahan Rupiah

Melemahnya rupiah akan langsung berdampak pada sektor riil, terutama industri yang bergantung pada impor bahan baku dan barang penolong. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor jenis itu mendominasi ketimbang impor barang konsumsi dan barang modal. Fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi biaya produksi dan profitabilitas perusahaan karena ketergantungan impor ini.

Pada 2023, total nilai impor Indonesia mencapai angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan bahan baku dan barang penolong mendominasi sebesar US$161,15 miliar. Meski angka ini lebih rendah dibandingkan 2022 yang mencapai US$181,26 miliar, kontribusinya tetap paling besar, lebih dari separuh total impor Indonesia.

Peningkatan impor juga tercermin dari tren totalnya sejak 2015. Satu dekade lalu, rata-rata nilai impor Indonesia masih di kisaran US$11,8 miliar per bulan. Pada 2024, rata-ratanya menjadi US$19,4 miliar. Pelemahan rupiah pun ditaksir akan menambah beban industri dalam negeri. 

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut pekerja yang terdampak PHK sejak awal 2025 sudah mencapai 40 ribu orang. PHK didominasi dari sektor industri manufaktur. Jumlah ini sekitar lima kali lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dengan kondisi rupiah yang semakin anjlok, bukan tidak mungkin PHK akan terus meluas di masa mendatang. 

Pada Februari 2025, BPS juga mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,09% secara tahunan. Pada Januari 2025, inflasi turun tajam ke 0,76% sebelum akhirnya menjadi negatif (-0,09%) pada Februari 2025, menunjukkan adanya tekanan deflasi yang semakin kuat menjelang 2025.

Penurunan ini, menurut BPS, dipengaruhi oleh turunnya harga komoditas tertentu, seperti tarif listrik (-2,16%), beras (-0,11%), tomat (-0,11%), cabai merah (-0,11%), dan daging ayam ras (-0,02%). Adapun deflasi sering terjadi ketika permintaan agregat turun, sementara pasokan tetap stabil atau meningkat. Dalam konteks saat ini, deflasi mencerminkan lemahnya permintaan. 

Yang juga penting adalah posisi Indonesia sebagai konsumen kedelai terbesar di dunia. AS, di sisi lain, merupakan pemasok kedelai terbesar ke negara ini. Meski fluktuatif, volumenya tetap signifikan dibandingkan negara lain dengan nilai rata-rata US$1,1 miliar. 

Menurut Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, rata-rata kebutuhan kedelai segar Indonesia setiap tahunnya mencapai 2,8 juta ton yang dipasok dari berbagai negara. 

Produksi kedelai nasional yang masih amat rendah menjadi biang keladi tingginya impor tersebut. Sepanjang 2020-2022, misalnya, produksi kedelai Indonesia hanya berkisar 200-300 ribu ton. Produksi tertingginya terjadi pada 2018 dengan 615 ribu ton. 

Secara total, impor kedelai segar dan olahan Indonesia rata-rata mencapai 7 juta ton per tahun. Pelemahan rupiah, dengan demikian, bakal membikin harga kedelai di pasar domestik menjadi lebih mahal. Apalagi kedelai merupakan salah satu sumber utama protein di negara ini. 

Menggerus Surplus Perdagangan

Pengenaan tarif resiprokal AS juga berpotensi menggerus surplus perdagangan Indonesia. Selama periode 2015-2024, menurut data Trade Map, nilai ekspor Indonesia ke AS secara konsisten lebih tinggi dibanding ekspor AS ke Indonesia. Nilainya juga cenderung meningkat dari 2015 hingga 2022, mencapai puncaknya pada 2022 sebesar US$37,2 miliar. 

Tarif bea yang tinggi akan meningkatkan harga barang-barang Indonesia yang diekspor ke AS. Hal ini dapat mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS, yang berpotensi menurunkan volume impor AS dari Indonesia. Selain kinerja perdagangan Indonesia yang berpotensi turun signifikan, para pelaku usaha eksportir juga harus memutar otak agar produksi mereka bisa terserap. 

AS merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah Cina dengan proporsi 10% dari total ekspor. Ketergantungan Indonesia dengan AS sebagai salah satu pasar ekspor utama pun akan menyebabkan tekanan yang lebih besar pada kinerja ekspor Indonesia.

Dengan tarif resiprokal Trump, OCE Bank Mandiri menilai, surplus perdagangan dengan AS yang telah terjadi sepanjang dua dekade akan menjadi bumerang buat Indonesia.  

Adapun ekspor negara ini lebih banyak ditopang oleh komoditas komponen elektronik, tekstil, dan alas kaki dengan nilai rata-rata melebihi US$1 miliar per tahun.

Meski bergerak fluktuatif, ekspor keempat komoditas tersebut menunjukkan tren positif dalam rentang satu dekade terakhir. Pada 2024, misalnya, nilai ekspor komoditas elektronik mencapai US$4,1 miliar, atau naik sekitar 241% ketimbang tahun 2015 silam. 

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, penurunan ekspor akan menyebabkan perlambatan produksi dalam negeri. 

Menurut riset Indef tentang dampak perang dagang kali ini, produksi tekstil dan pakaian jadi Indonesia diperkirakan tumbuh -7,34%, komponen elektrik -6,25%, komponen elektronik -10,14%, dan produk-produk manufaktur lainnya -22,11%. 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia, pada akhirnya, juga bakal terkikis. Indef menaksir tarif resiprokal AS sebesar 32% akan menurunkan Produk Domestik Bruto Indonesia sebesar 0,05%.

Proyeksi dampak di atas juga diperparah dengan intensitas perang tarif antara AS dan Cina. Beijing baru-baru ini menetapkan tarif balasan untuk barang-barang AS hingga 84% dan berlaku mulai 10 April. Aksi ini dipicu oleh langkah Washington yang mengganjar mereka tarif bea hingga 104%. 

Jumlah itu meningkat hingga nyaris dua kali lipat dari tarif sebelumnya. Mulanya, Trump menetapkan tarif resiprokal 54% untuk Cina, yang kemudian dibalas 34% oleh Xi Jinping. 

Cina memang yang paling “diincar” Trump dalam konfrontasi ini. Negeri itu merupakan mitra dagang terbesar AS dengan surplus perdagangan sekitar US$400 miliar per tahun. 

Menteri Keuangan Scott Bessent bahkan menyebut Cina sebagai pelanggar terburuk dalam sistem perdagangan internasional. “Mereka memiliki ekonomi yang paling tidak seimbang dalam sejarah dunia modern, dan saya dapat beritahu Anda, eskalasi ini merugikan mereka,” katanya, pada 9 April.

Ekonomi Cina pun diprediksi akan melambat akibat perang dagang ini. OCE Bank Mandiri menaksir, perlambatan ekonomi Cina akan turut memperdalam defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok.

Sejak 2015, Indonesia hanya mencatatkan sekali surplus dengan Cina pada 2023 sebesar US$2 miliar. Sisanya mengalami defisit. Pada 2018, defisitnya bahkan mencapai US$18,4 miliar. 

Jika ditilik trennya, impor atas barang-barang Cina cenderung meningkat. Hal yang sama terjadi pada ekspor Indonesia ke Cina. Ini menandakan bahwa upaya memperkecil defisit dilakukan Indonesia juga dengan meningkatkan volume ekspor selain mengurangi impor.

Masalahnya, perlambatan ekonomi Cina yang juga merupakan mitra dagang terbesar negara ini berpotensi mengurangi permintaan ekspor dari Indonesia. 

Sebaliknya, dengan ganjaran tarif 104% di AS, bukan tidak mungkin Cina akan mencari pasar alternatif agar produk-produknya bisa terserap, salah satunya berpotensi menyebabkan arus barang masuk lebih besar ke Indonesia dan menghantam daya saing industri dalam negeri. Apalagi barang-barang dari Cina terkenal punya harga miring. 

Adapun OCE Bank Mandiri merekomendasikan pemerintah memperkuat pengamanan dan kebijakan (safeguard) yang dapat meminimalisasi barang dumping dan selundupan, terutama dari Cina.

Editor: Aria W. Yudhistira