Energi Fosil Jadi Tumpuan
KATADATA ? Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan berkembangnya pusat-pusat bisnis dan kawasan urban baru yang tak terdengar sebelumnya, di Cina dan India. Gemerlap kota yang didorong arus urbanisasi itu tak hanya menjadi motor pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut, tapi mengerek pertumbuhan Asia. Pertumbuhan Cina memang tak lagi fenomenal hingga dua digit, tapi dengan angka tujuh persen, ekonomi akan terus bergeliat dan membuka peluang usaha baru.
Munculnya kawasan urban dan pusat-pusat bisnis baru menjadi tanda pertumbuhan yang massif. Di Cina, dalam satu tahun, jumlah rumah yang dibangun melebihi jumlah seluruh rumah yang ada di Spanyol. Di Mumbai, India, menjadi kota dengan besaran ekonomi melampaui Portugal. Sejumlah kota lainnya di Asia ikut dalam arus pertumbuhan ini. Kawasan urban kian meluas, membentuk sebuah megacity yang terus memunculkan permintaan dan pasar baru.
Tak pelak, pertumbuhan yang besar itu ditopang oleh--dan seterusnya menuntut ketersediaan?energi dalam jumlah besar pula. Badan Energi Internasional memperediksi kebutuhan energi dunia naik sepertiga pada periode 2011-2037. Asia akan menjadi konsumen terbesar energi. Pada 2030, konsumsi energi Cina akan melampaui 200 BTU (British Thermal Unit), atau dua kali lipat konsumsi AS. Dan pada 2030, Cina mengantikan AS sebagai importir minyak terbesar.
Meski tenaga nuklir kian meluas digunakan di Asia, dan sejumlah negara mulai menggunakan sumber energi hijau terbarukan, bahan bakar fosil, yaitu minyak, gas, dan batubara, tetap berada di peringkat teratas. Pada 2035, Asia diperkirakan akan mengimpor minyak setara dengan seluruh jumlah produksi yang dihasilkan negara-negara Timur Tengah saat ini. Adapun impor gas akan meningkat menjadi lima kali lipat, karena produksi lokal tak sanggup memenuhi permintaan.