Undang-undang IKN Resmi Digugat Din Syamsuddin ke MK

Image title
7 Maret 2022, 13:58
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020). MK menunda semua jadwal persidangan sementara waktu mulai Senin (27/7) untuk dilakukan sterilisasi guna mencegah penyebaran COVID-19.
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020). MK menunda semua jadwal persidangan sementara waktu mulai Senin (27/7) untuk dilakukan sterilisasi guna mencegah penyebaran COVID-19.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) resmi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Sirajuddin (Din) Syamsuddin bersama 20 pemohon lainnya. Mereka di antaranya adalah Azyumardi Azra, Didin Damanhuri, Nurhayati Djamas, dan Mufidah Said Bawazier.

Gugatan tersebut telah diterima MK dengan nomor perkara 30/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022 pada Selasa, 1 Maret lalu. Para pemohon dalam petitum meminta MK untuk menyatakan pembentukan Undang undang tentang Ibu Kota Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Secara formil, para pemohon menyebut pembentuk undang-undang, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah mengadakan sosialisasi dan mendengar pendapat beberapa ahli sebagai narasumber. Namun, DPR dinilai hanya mendengarkan pendapat narasumber untuk memenuhi kriteria right to be heard atau pemenuhan hak untuk didengar.

DPR dalam penyusunan Undang-undang IKN disebut tidak mempertimbangkan pendapat masyarakat atau right to be considered dan memberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang disampaikan masyarakat atau right to be explained.

“Padahal untuk dapat dikualifikasi pembentukan undang-undang yang telah dilakukan proses deliberasi yang cukup dan bermakna (meaningful participation) adalah dengan dipenuhinya right to be heard, right to be considered, dan right to be explained,” tulis pemohon dalam alasan pengujian formil seperti dikutip dalam dokumen permohonan pada Senin (7/2).

Sementara terkait dengan uji materiil, pemohon menyebut Otorita IKN sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terutama Pasal 18 ayat (1) dan (2), Pasal 18A ayat (1), dan Pasal 18B ayat (1) mengenai pemerintah daerah.

Pada Pasal 1 ayat (2) UU IKN berbunyi bahwa IKN bernama Nusantara yang selanjutnya disebut sebagai Ibu Kota Nusantara adalah suatu pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi. Dalam dalilnya, para pemohon menyebut frasa ‘setingkat provinsi’ menunjukkan bahwa format IKN menurut UU IKN bukanlah sebagai suatu provinsi.

Selanjutnya pada Pasal 1 ayat (8) berbunyi bahwa Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Ibu Kota Nusantara. 

Selain itu, Pasal 4 UU IKN yang menentukan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian disebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Beleid tersebut mengatur bahwa nomenklatur jabatan kepala pemerintahan daerah dipilih secara demokratis.

“Maka dengan demikian apakah Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintah daerah atau satuan pemerintah pusat?” tulis pemohon.

Pasal 5 ayat (4) UU IKN kemudian menyebut bahwa Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala daerah pemerintah daerah khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri. Pemohon menyebut frasa ‘setingkat menteri’ menegaskan kepala otorita bukanlah kepala daerah dan bukan juga menteri. Hal tersebut lantas disebut tidak memberikan kepastian hukum terkait kedudukan Kepala Otorita.

UU IKN resmi berlaku sejak ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Februari lalu. UU IKN di antaranya mengatur tugas dan wewenang Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.

Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Otorita Ibu Kota Nusantara mulai beroperasi paling lambat akhir 2022. Mulai tahun depan di 2023, kegiatan persiapan dan/atau pembangunan IKN yang sebelumnya dilaksanakan kementerian/lembaga, dapat dialihkan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara atau tetap dilanjutkan oleh kementerian/ lembaga tersebut.

Sejumlah nama muncul sebagai kandidat Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara mulai dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjajaha Purnama atau Ahok, mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bambang Brodjonegoro, hingga Abdullah Azwar Anas.

Sesuai UU IKN, Presiden Jokowi harus sudah menunjuk dan melantik Kepala Otorita paling lambat dua bulan setelah undang-undang disahkan, atau pada 14 April 2022. Jokowi sudah memberikan petunjuk soal calon pejabat yang akan berasal dari kalangan non partai. Presiden juga akan melantik sosok tersebut pada beberapa pekan ke depan.

“Non-parpol,” kata Jokowi saat menjawab pertanyaan awak media di Kantor DPP Nasdem, Jakarta, Selasa (22/2) dikutip dari Antara.

Reporter: Nuhansa Mikrefin

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...