Daftar Panjang Salah Investasi yang Menggerus Dana Bumiputera
Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera tengah menghadapi persoalan likuiditas keuangan yang teramat berat. Kewajibannya terus membengkak sementara nilai asetnya kian menciut. Salah satu penyebab utamanya adalah kesalahan investasi yang terus berulang. Pengelola asuransi jiwa tertua di Indonesia ini akan mengambil tindakan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata, aset Bumiputera saat ini tak sampai Rp 10 triliun. Bahkan, aset finansial yang likuid di bawah Rp 4 triliun dari total aset finansial yang berkisar Rp 6 triliunan. Sebaliknya, kewajibannya per Juli lalu mencapai Rp 20 triliunan.
Penyebabnya, perusahaan berulang kali mengalami rugi investasi lantaran menempatkan dana di aset-aset finansial yang berisiko tinggi. Hal ini sudah terendus oleh Pengelola Statuter Bumiputera yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menggantikan direksi dan komisaris guna menyelesaikan restrukturisasi di tubuh perusahaan mutual tersebut.
“Tahun depan penindakan,” kata Pengelola Statuter AJB Bumiputera bidang SDM, Umum dan Komunikasi Adhi Massardi kepada Katadata, Selasa (20/12). (Baca juga: Kondisi Keuangan AJB Bumiputera Terancam Memburuk)
AJB Bumiputera misalnya, menderita rugi besar lantaran berinvestasi di saham perusahaan minyak dan gas bumi PT Sugih Energy Tbk. (SUGI). Sumber Katadata mengatakan, nilai investasi di saham tersebut mencapai Rp 250 miliar. Belakangan, investasi itu tergerus bersamaan dengan jatuhnya harga saham SUGI di bursa.
Bahkan, saat ini, saham SUGI dibekukan perdagangannya oleh otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) karena dinilai penurunan harga sahamnya tak wajar.
Namun, penjelasan lebih terang datang dari manajemen Bumiputera. Berinvestasi pada saham SUGI itu sesungguhnya bagian dari restrukturisasi portofolionya.
"Tidak ada uang kas yang dikeluarkan. Itu transaksi swap dengan saham-saham yangg sudah bertahun-tahun merugi. Nilai saham-saham yg ditukar hanya setengahnya, jadi pada saat transaksi nilai portofolionya naik dua kali lipat," ujar seorang manajemen AJB Bumiputera yang enggan disebut namanya tersebut.
Sedangkan mantan Komisaris AJB Bumiputera Irvan Rahardjo mengungkapkan, persoalan salah urus investasi semacam ini kerap terjadi. Saban tahun, ada saja dana investasi AJB yang karam dan tidak bisa kembali. Ujungnya, 'dana raib' itu dicatatkan dalam pos aktiva lain (reklasifikasi).
Cara ini juga dipakai manajemen AJB Bumiputera untuk menutup kasus kerugian investasi bernilai Rp 457 miliar pada era pertengahan tahun 2000. “Memang kelihatannya sengaja (dibobol)," ujar Irvan.
Hal itu terlihat dari keputusan investasi yang tanpa melalui prosedur atau standardisasi, misalnya kriteria penunjukan manajer investasi untuk mengelola dana. "Tidak ada kriteria manajer investasi harus (berperingkat) triple A, triple B. Suka-suka saja, kedekatan saja,” katanya.
Irvan menunjuk beberapa contoh kesalahan investasi yang berujung kepada kerugian AJB Bumiputera. Antara lain Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) oleh berbagai manajer investasi. Ia mencatat KPD besutan PT Bumiputera Capital Indonesia (BCI), PT Optima Kharya Capital Management, PT Sinergy Asset Management, PT Falcon Asia Resources Management, PT NATPAC Asset Management, dan PT Sarijaya Permana Sekuritas. "Rata-rata kerugian investasi itu di atas Rp 100 miliar."
Dalam surat tertanggal 1 Februari 2011 yang dilayangkan direksi AJB Bumiputera kepada pengawas perasuransian ketika itu – Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Kementerian Keuangan - terungkap fakta, penempatan investasi yang dilakukan perusahaan melanggar keputusan Menteri Keuangan mengenai jenis-jenis investasi yang dibolehkan.
Alhasil, AJB Bumiputera juga mendapatkan sanksi peringatan ketiga dari Bapepam-LK. Untuk mencabut sanksi itu dilakukanlah reklasifikasi. Kasus investasi ini jadi salah satu penyebab auditor independen menyematkan opini tidak wajar untuk laporan keuangan AJB Bumiputera pada 2009 sampai 2011. Auditor independen menyoroti KPD sebesar Rp 457 miliar dan Rp 511 miliar pada 2010 dan 2009.
Yang menjadi sorotan, kasus ini diduga melibatkan Direktur Utama AJB Bumiputera pada masa itu yaitu Madjdi Ali. Namun, menurut Irvan, Madjdi tak pernah diproses secara hukum. Bahkan, Irvan mengungkapkan, Kepala Eksekutif Pegawas Industri Keuangan Non-Bank OJK, Firdaus Djaelani, mengusulkan kembali Madjdi sebagai Direktur Utama AJB Bumiputera pada 2013 lalu. Alhasil, ia menjabat lagi hingga 2015.
Belakangan, di era Madjdi pula, muncul kasus pembobolan keuangan AJB Bumiputera dengan menggunakan polis asuransi PT Bridgestone Tires Indonesia. Modusnya, polis lama Bridgestone ditutup dan diterbitkan polis baru. Alhasil, manajemen AJB Bumiputera memperoleh komisi.
Nilai pertanggungan polis mencapai Rp 200 miliar. Adapun komisi yang dinikmati manajemen berkisar 15-30 persen dari nilai itu atau sekitar Rp 30 miliar – Rp 60 miliar. Imbas kasus tersebut, OJK akhirnya mencopot direksi, termasuk Madjdi.
Katadata sudah mencoba menghubungi Majdji untuk mengklarifikasi soal dugaan-dugaan tersebut. Namun, Majdji tidak membalas pesan singkat dan telepon.
Kasus salah urus investasi lain yang juga jadi sorotan adalah penjualan aset tanah seluas 15 hektare di Kuningan, Jakarta Selatan, pada era 1990-an. Kini, lokasi itu dikenal dengan nama Mega Kuningan.
Bumiputera menjual lahan tersebut kepada perusahaan Bakrie dengan iming-iming kepemilikan saham sebesar 58,15 persen. Belakangan, pada 1997, harga saham perusahaan tersebut anjlok. Ujung-ujungnya, saham AJB Bumiputera kembali dibeli balik oleh perusahaan Bakrie dengan harga sangat murah.
Kasus tersebut sempat dikonfirmasi Katadata kepada Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk. Ambono Janurianto. Namun, dia mengaku tak mengetahui transaksi itu. “Saya tidak tahu,” ujarnya.
Praktik-praktik salah investasi inilah yang diduga turut menyebabkan menyusutnya aset finansial dan properti AJB Bumiputera. Berdasarkan informasi terakhir yang diperoleh Katadata, aset finansial cuma tersisa Rp 5,5 triliun dan properti Rp 2,5 triliun. Adapun nilai riil aset finansial bisa lebih rendah dari itu bila dijual.
(Baca juga: Komisi Keuangan DPR Tolak Peluang Bailout Bumiputera)
Selain kasus salah urus investasi, masih berjejer kasus penggerogotan keuangan yang diduga dilakukan manajemen dan mantan manajemen AJB Bumiputera. Sumber Katadata menyebut, seorang mantan direksi bahkan menuntut dibayarkannya komisi atas suatu polis asuransi. Prosesnya hingga ke meja hijau. "Bagaimana mungkin direksi menerima komisi, sedangkan ia bukan agen asuransi. Itu namanya gratifikasi,” katanya.
Koordinator Pengelola Statuter Bumiputera Didi Achdijat enggan mengomentari tentang salah urus investasi AJB Bumiputera di masa lalu. “Kesalahan (bisnis) asuransi bukan cuma di investasi,” kata dia.
Ia pun menyatakan tak akan memeriksa kasus-kasus di masa lalu yang menyebabkan kritisnya keuangan AJB Bumiputera. Apalagi, ongkos pengusutan juga pasti tak murah. (Baca juga: Sri Mulyani Pantau Langkah OJK Selamatkan Bumiputera)
“Tugas saya menyelesaikan apa yang terjadi sekarang,” ujarnya. Yang terpenting, klaim pemegang polis bisa dibayarkan semuanya. Namun, ia mempersilakan bila ada pihak lain yang mau mengusut. Silahkan kalau ada yang mau ke belakang mengusut."