Impor Barang Modal Naik 20%, Surplus Dagang November Menciut
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan pada November 2017 sebesar US$ 130 juta. Angka itu terus merosot dalam tiga bulan terakhir karena kenaikan impor barang modal. Pada Oktober 2017, surplus neraca perdagangan sebesar US$ 900 juta pada September 2017 mencapai US$ 1,7 milar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan merosotnya surplus diakibatkan oleh kenaikan impor sebesar 6,42% menjadi US$ 15,15 miliar secara month to month. Sementara ekspor naik sangat tipis 0,26% menjadi US$ 15,28 miliar dibanding Oktober 2017.
Menurut Suhariyanto, selama November 2017 golongan bahan baku/penolong memberikan porsi terbesar impor. Rinciannya, 73,57% dengan nilai US$ 11,15 miliar berupa bahan baku/penolong, diikuti oleh impor barang modal 17,44% senilai US$ 2,64 miliar, dan impor barang konsumsi 8,99% senilai US$ 1,36 miliar.
Secara month to month, impor barang konsumsi meningkat 8,21%, bahan baku 3,32%, dan barang modal 20,65%. "Kami harapkan kenaikan impor barang modal berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi dan sisi pengeluaran," kata Suhariyanto di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (15/12).
(Baca juga: WTO Setuju Mempertahankan Subsidi bagi Nelayan Kecil)
Untuk golongannya, impor migas naik sebesar US$ 26,9 juta atau 1,22% dan nonmigas naik 8,37% atau US$ 887,1 juta. Peningkatan impor migas dipicu oleh naiknya nilai impor hasil minyak dan gas sebesar US$ 231,8 juta (19,46%) dan US$ 43,6 juta (18,19%).
Neraca Perdagangan Indonesia (2012-Okt 2017)
Sedangkan kenaikan impor nonmigas berasal dari golongan mesin dan pesawat mekanik sebesar US$ 378,5 juta, mesin dan pesawat listrik dengan nilai US$ 168,2 juta, perangkat optik US$ 77,9 juta, dan kendaraan US$ 71,3 juta, serta kapal terbang dan bagiannya US$ 60,8 juta.
"Kenaikan impor bahan baku yang tidak bisa kita produksi sendiri dan bahan modal bakal meningkatkan produktivitas domestik," ujar Suhariyanto.
Impor paling banyak berasal dari Tiongkok dengan pangsa 26,46% senilai US$ 31,78 miliar, Jepang dengan 11,56% atau US$ 13,89 miliar, dan Thailand 7,03% sebesar US$ 8,44 miliar. Negara Asia Tenggara menyumbang US$ 24,46 miliar dan Uni Eropa sebesar US$ 11,20 miliar.
(Baca juga: Kerja Sama Dagang Indonesia - Cile Guna Dorong Ekspor ke Amerika Latin
Menurut Suhariyanto, 91% ekspor Indonesia merupakan produk nonmigas. Ia juga menjelaskan tren tahunan ekspor pada triwulan keempat menurun dan bakal berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.
Secara month to month, ekspor migas turun US$ 1,27 miliar atau -14,22%, ekspor pertanian juga anjlok US$ 320 juta atau -9,5%, dan ekspor pertambangan sebesar US$ 2,25 miliar atau -8,09%. "Industri pengolahan masih menunjukkan peningkatan dengan minyak kelapa sawit, besi baja, dan, tekstil meningkat 4,39%," ujar Suhariyanto.
Ekspor Indonesia paling banyak menuju Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Namun, terjadi peningkatan nilai transaksi dari US$ 36,6 miliar menjadi US$ 40,99 miliar untuk negara nontradisional. "Meskipun pangsanya turun tapi total ekspornya bergerak naik dari menunjukkan bahwa ekspor merambah ke negara nontradisional," jelas Suhariyanto.
Kontribusi ekspor berasal dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur yang mencapai 38,91% dari seluruh ekspor nasional. Jawa Barat senilai US$ 26,89 miliar, Jawa Timur senilai US$ 16,97 miliar, dan US$ 16,02 miliar.