BPH Migas Usul Dana Desa untuk Bangun Sub Penyalur BBM
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi/BPH Migas mengusulkan agar dana desa bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur Bahan Bakar Minyak/BBM. Tujuannya memperluas penyaluran BBM, bahkan bisa mencapai tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengatakan saat ini Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum/SPBU yang ada di Indonesai mencapai 7.445. Padahal di Indonesia kurang lebih ada 85.000 desa. Jadi, untuk menyediakan BBM itu tidak bisa hanya bergantung pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo Tbk sebagai penyalur, khususnya jenis Solar dan Premium.
Agar jangkauan lebih luas perlu ada sub penyalur. Apalagi hingga kini ada 170 daerah di 16 provinsi yang berminat membangun sub penyalur BBM.
Untuk itu, BPH Migas meminta dukungan DPR untuk pemanfaatan dana desa. "Kami tahu ada dana desa satu desa Rp 1,5 miliar melalui regulasi yang ada bisa digunakan untuk mem-back up BBM Satu Harga ke sub penyalur tadi. Sehingga akan menggerakkan roda ekonomi di desa-desa," kata Fanshurullah usai melakukan audiensi dengan Ketua DPR di Jakarta, Senin (19/3).
Kementerian ESDM juga sudah menerbiktan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2018 tentang tentang kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak/BBM, Bahan Bakar Gas/BBG dan elpiji (Liquefied Petroleum Gas/LPG). Lewat aturan itu, pengaturan sub penyalur sudah memiliki payung hukum.
Dalam aturan itu, sub penyalur BBM adalah perwakilan dari sekelompok konsumen pengguna Solar dan Premium di daerah yang tidak terdapat penyalur. Sub penyalur ini bisa membangun SPBU yang secara ukuran lebih kecil daripada konvensional
Jadi mereka hanya menyalurkan BBM khusus kepada anggotanya dengan kriteria yang ditetapkan BPH Migas. Selain itu, tidak boleh menjual BBM selain ke pengguna akhir.
Pembangunan sub penyalur nantinya tidak lagi melibatkan Pertamina atau AKR. Jadi langsung dibangun oleh pemerintah daerah setempat atau koperasi di suatu desa.
Adapun harga di sub penyalur tidak sama seperti di penyalur. Penyebabnya adalah beban biaya angkut dari penyalur ke sub penyalur sehingga harga BBM-nya berbeda dibandingkan harga BBM yang sudah ditetapkan pemerintah. "Biaya angkut yang ditentukan oleh bupati setempat, dan harga sesuai dengan musyawarah dari desa," kata dia.
Ada beberapa kriteria yang ditentukan BPH Migsa terkait pendirian sub penyalur di suatu daerah, diantaranya keberadaan sub penyalur berjarak maksimal 5 km dari Agen Penyalur Minyak Tanah dan Solar (APMS) terdekat atau 10 km dari SPBU terdekat. Volume yang boleh diangkut dari penyalur ke sub penyalur maksimal 3 Kilo Liter (KL).
Anggota BPH Migas Henry Ahmad mengatakan sub penyalur ini statusnya resmi dan tidak sama dengan penjual BBM eceran seperti yang marak saat ini. " Sub penyalur ini bukan objek niaga, hanya untuk mewakiliki kepentingan sekelompok masyarakat," kata dia.
(Baca: Bangun SPBU Tak Perlu Lagi Surat Keterangan Penyalur)
Ketua DPR Bambang Soesatyo mendukung adanya program tersebut. Namun BPH Migas harus mengawasinya agar tidak ada penyelewengan. "Kami juga minta kepolisian untuk mengawasi ke desa-desa, terutama menangkap para penimbun yang memainkan harga," kata dia.