Pembatasan Ekspor Belum Berdampak Signifikan ke Harga Karet Dunia
Penerapan pembatasan ekspor karet melalui Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) belum berdampak signifikan terhadap peningkatan harga jual karet dunia. Padahal skema pembatas ekspor tersebut telah diimplementasikan sepanjang kuartal pertama 2018 oleh Indonesia, Malaysia, dan Thailand sebagai produsen karet terbesar yang tergabung dalam kesepakan International Tripartite Rubber Council (ITRC).
Meski belum memberi dampak signifikan terhadap perbaikan harga, namun setidaknya pembatasan itu dapat mengurangi tekanan penurunan harga jual sehingga tidak anjlok terlalu dalam.
“Kebijakan AETS sudah menjadi teknis, tidak lagi fundamental,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo kepada Katadata, Senin (2/4).
(Baca : Indonesia, Thailand, dan Malaysia Tahan Ekspor Agar Harga Karet Naik)
Mengacu International Rubber Consortium (IRCo), karet SIR 20 sempat menyentuh level US$ 2,33 per kilogram pada awal tahun lalu, kemudian merosot hingga sekitar US$ 1,46 di November 2017. Namun, ketika kebijakan pembatasan AETS mulai dibentuk pada Desember 2017 hingga Januari 2018, diakui Moenardji harga mulai bergerak stabil.
Adapun isu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok juga tercatat telah membuat harga tertekan hingga mencapai US$ 1,52 per kg, dimana harga karet SIR 20 terpantau mencapai sekitar US$ 1,46 pada 19 Maret 2018. “Menjelang akhir Maret, pasar kembali tertekan untuk komoditas,” ujar Moenardji.
Sementara itu, Direktur Perundingan APEC dan Organisasi Internasional, Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Deny Wachyudi Kurnia menjelaskan evaluasi ketiga negara terkait implementasi AETS akan dilakukan setelah data harga karet keluar pada 15 April 2018.
“Rencananya bulan Mei akan kami evaluasi,” tuturnya.
(Baca juga: Pemerintah Kaji Perluasan Dana Perkebunan dari Sawit ke Karet)
Selain masalah harga, banyak juga kondisi lain yang disorot ketiga negara. Misalnya, terkait kepatuhan tiap negara untuk pencapaian tujuan AETS berupa upaya mencegah kelebihan pasokan di pasar internasional.
Pembatasan ekspor karet dalam kebijakan AETS juga dianggap tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Karenanya, untuk meningkatkan nilai tambah karet alam, petani meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan hilirisasi atau industri pengolahan karet di dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Petani Karet Indonesia (APKI) Lukman Zakaria menyatakan pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang mengangkat nilai tambah karet petani. “Hilirisasi itu dilakukan supaya petani jadi produsen ekspor, bukan sekadar di pemasok karet di tingkat hulu,” kata Lukman, Februari lalu.