Pengaturan Harga BBM Nonsubsidi Mengancam Iklim Investasi
Pemerintah diminta untuk berhati-hati dalam mengatur harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi. Ini karena kebijakan itu bisa berpengaruh pada iklim investasi, apalagi jika kebijakan pemerintah bisa merugikan badan usaha.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pemerintah memang memiliki kewenangan mengatur harga BBM sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi (MK). Tahun 2003, MK pernah memutuskan perkara No.002/PUU-I/2003 dengan menyatakan harga BBM dan gas bumi yang diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Namun, Komaidi khawatir harga yang disetujui pemerintah tidak sesuai dengan hitungan badan usaha bisa berdampak negatif bagi iklim investasi. Selain itu, dikhawatirkan akan ada pengurangan pasokan, jika harga itu merugikan badan usaha.
Dampak lainnya, mereka bisa menggeser investasinya ke negara yang memiliki pasar lebih baik. “Pemerintah harus hati-hati dalam hal ini, kemungkinan akan pada mundur jika mereka rugi," kata Komaidi kepada Katadata.co.id, Rabu (25/4).
Mundurnya para investor ini juga akan mengancam infrastruktur hilir migas. Pengembangan infrasturktur hilir yang ditargetkan pemerintah bisa berjalan cepat malah jadi melambat.
Selain sektor swasta, menurut Komaidi, kebijakan ini juga akan memukul lini bisnis PT Pertamina (Persero). "Pertamina akan makin berat tugasnya," kata dia.
Berbeda dengan Komaidi, Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih mendukung upaya pemerintah mengatur harga BBM nonsubsidi. Kebijakan itu akan berdampak baik bagi masyarakat karena badan usaha tidak lagi semaunya dalam menaikkan harga. Alhasil, harga BBM lebih stabil.
Pengaturan harga BBM non subsidi ini juga menurut Eni tidak akan mengganggu ikilm investasi. Ini karena pemerintah mengatur harganya dengan mempertimbangkan badan usaha. "Kalau diatur begitu saya pikir Shell dan lain-lain juga tidak ada masalah untuk investasi," kata dia.
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Harya Adityawarman juga menilai aturan itu tidak berpengaruh terhadap iklim investasi. "Ini terbukti kemarin waktu kami kumpulin semua badan usaha terkait dengan pengaturan ini tidak ada yang keberatan. Bahkan waktu kami menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pun kami libatkan mereka," ujar dia kepada Katadata.co.id, Kamis (26/4).
Mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 21 tahun 2018 , setidaknya ada tiga pertimbangan untuk memberikan persetujuan itu. Pertama, kondisi perekonomian. Kedua, kemampuan daya beli masyarakat. Ketiga, ekonomi riil dan sosial masyarakat.
(Baca: Shell Beri Masukan ke Pemerintah Soal Pengaturan Harga BBM Nonsubsidi)
Adapun harga tertinggi ditentukan berdasarkan harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) peraturan daerah provinsi setempat sesuai dengan margin paling tinggi 10% dari harga dasar. Ini berbeda dari aturan sebelumnya yang ditentukan batas bawah sebesar 5%.
Namun, dalam aturan tersebut ada pengecualian untuk harga jual eceran jenis BBM Umum selain yang disalurkan sendiri oleh badan usaha pemegang izin usaha niaga migas. Harga itu ditentukan badan usaha dan wajib dilaporkan ke menteri. Laporan itu, dilakukan evaluasi secara berkala setiap enam bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Jika badan usaha melanggar ketentuan itu, akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan ini berlaku 10 April 2018.