Pertahankan Fasilitas Bea Masuk Impor, Pemerintah Raih Dukungan di AS
Kementerian Perdagangan menyatakan kunjungan kerja pemerintah RI ke Amerika Serikat (AS) untuk mempertahankan fasilitas bea masuk impor (Generalized Systems of Preference/GSP) produk Indonesia mendapat dukungan dari beberapa pengusaha dan parlemen AS.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menyatakan Indonesia mendapatkan dukungan dari pengusaha importir AS.
“Dukungan antara lain berasal dari United States Department of Commerce (Departemen Perdagangan AS), Vice Minister United States Department of Agriculture (Departemen Pertanian), serta anggota parlemen AS juga memberikan dukungan,” kata Kasan kepada Katadata, Rabu (1/8).
Namun, untuk hasil akhir review fasilitas GSP masih menunggu keputusan perwakilan perdagangan AS (United States Trade Representative/USTR) setelah mengkaji dan menimbang permintaan dan penawaran dari Indonesia.
"Keputusan akhir bakal dikeluarkan pada 2018. Sebab, USTR pasti akan melakukan pengkajian GSP untuk negara lain," ujarnya.
(Baca : Pencabutan Insentif Bea Masuk Impor AS Berpotensi Merugikan Indonesia)
Indonesia telah memberikan pendapat kepada Duta Besar USTR Robert Lightizer pada 27 Juli 2018. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan dalam pertemuan itu pihaknya telah memaparkan kepada Lighthizer beberapa isu terkait hambatan perdagangan yang menjadi perhatian Indonesia. Contohnya, proses peninjauan ulang terhadap Indonesia sebagai negara penerima skema GSP dan pengecualian bagi Indonesia atas pengenaan kenaikan tarif impor produk besi baja dan aluminium AS.
Dia mengatakan GSP untuk Indonesia sebetulnya tak hanya ditujukan untuk kepentingan industri di Indonesia, tetapi juga juga untuk kepentingan industri AS. “Karena terkait proses produksi domestik mereka, jadi sebetulnya ini kerja sama yang saling menguntungkan,” ujar Enggar.
Indonesia masih memerlukan GSP untuk meningkatkan daya saing produk di pasar AS. Produk-produk Indonesia yang selama ini diekspor dengan memanfaatkan fasilitas GSP antara lain karet, ban mobil, perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai.
Pada 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP bernilai US$ 1,9 miliar. Angka ini rupanya masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar US$ 5,6 miliar; Thailand US$ 4,2 miliar; dan Brasil US$ 2,5 miliar.
Dalam pertemuan pembahasan tentang fasilitas GSP, selain dihadiri oleh delegasi dari sejumlah kementerian, ikut pula di antaranya delegasi bisnis dari Indonesia yang terdiri dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Eksportir Buah dan Sayur Segar Indonesia (ASEIBSSINDO), dan Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI)/Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI).
(Baca : Ancaman Pencabutan Potongan Bea Masuk Impor AS Tak Berdampak Besar)
Sementara itu, pelaku usaha dari Indonesia yang turut serta antara lain produsen ban mobil, pelaku usaha dari industri minyak kelapa sawit, produk pertanian dan hortikultura, perikanan, baja, aluminium, tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, produk susu, serta consumer goods.
Vice President Regulatory Affairs, National Association of Chemical Distributors (NACD) Jennifer Gibson mengungkapkan asosiasi beranggotakan 440 distributor kimia ini menyatakan masih memiliki kergantung pada bahan baku kimia untuk memenuhi permintaan global. Bahan baku impor itu akan diproses menjadi barang jadi sektor pertanian, industri, makanan, kosmetik, obat-obatan, serta manufaktur.
“Beberapa perusahaan kami melakukan impor bahan kimia dari India dan Indonesia untuk kemudian diekspor kepada konsumen yang tersebar dunia, sehingga pencabutan program bisa berdampak negatif,” kata Jennifer.
Selain dari asosiasi importir kimia, dukungan pemberian fasilitas GSP AS untuk Indonesia juga datang dari asosiasi importir AS, asosiasi tekstil AS, hingga anggota kongres AS. Selain itu, perusahaan dalam negeri juga telah menyambangi korporat besar seperti Boeing menjajaki kerja sama, juga menggalang dukungan.
(Baca: Soal Ancaman Tarif, Indonesia Siap Lobi AS dan Tempuh Jalur Negosiasi)
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengapresiasi kesiapan pemerintah untuk berangkat ke AS dan melakukan perundingan. Dia menilai pemerintah bisa membuktikan Indonesia mampu menarik perhatian AS untuk menyelesaikan masalah GSP.
Kendati demikian menurutnya, seluruh pihak harus optimistis terkait hasil akhir pemberian program GSP kepada Indonesia.
“Kelihatannya jalan cukup positif, kita lihat saja keputusan hasilnya,” ujar Shinta.