Aturan Tarif Cukai Dinilai Buat Persaingan Industri Rokok Tak Sehat
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Tembakau dinilai berpotensi menyebabkan persaingan industri hasil tembakau (IHT) menjadi tidak sehat. Alasannya, aturan tersebut membuat terjadinya merger dan akuisisi di antar-industri hasil tembakau.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, dengan aturan PMK Nomor 146/2017 terjadi tahapan penyederhanaan melalui penggabungan struktur (simplifikasi) tarif cukai hasil tembakau (CHT) dalam kurun waktu 2018-2021. Simplifikasi tersebut dilakukan untuk golongan sigaret kretek mesin (SPM), sigaret kretek tangan (SKT), serta sigaret putih mesin (SPM).
(Baca juga: Kemenperin Kaji Dampak Kenaikan Cukai terhadap Industri Rokok)
Dengan simplifikasi tersebut nantinya struktur CHT hanya sebanyak lima layer pada 2021 dari 12 layer pada 2017. Enny menilai, hal tersebut bakal merugikan IHT skala menengah kecil lantaran tarif CHT semakin besar bagi mereka.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, kenaikan tarif kumulatif untuk SKM dan SPM akibat simplifikasi bagi golongan IIA sebesar 84,41% dari Rp 385 menjadi Rp 710 per batang. Sementara, kenaikan tarif kumulatif untuk SKM dan SPM golongan IIB sebesar 91,89% dari Rp 370 menjadi Rp 710 per batang.
"Penggabungan struktur cukai tersebut tentu akan berdampak langsung pada struktur persaingan dan keberlanjutan IHT, terutama golongan menengah kecil," kata Enny di Jakarta, Senin (13/8).
(Lihat Ekonografik: Ratusan Triliun Terbakar Rokok)
Semakin besarnya tarif CHT akan membuat proses merger dan akuisisi IHT golongan menengah dan kecil terjadi. Tujuannya agar skala produksi dapat terpenuhi dan kontinuitas bisnis dapat berjalan.
Sebab, saat ini saja kinerja industri IHT terus mengalami penurunan seiring meningkatnya tarif CHT. Pada 2014 pertumbuhan IHT tercatat mencapai 8,33%, sementara tahun 2017 kinerja industri tersebut -0,84%.
Dengan demikian, Enny memperkirakan ada potensi IHT akan terkonsentrasi kepada beberapa korporasi besar saja. Hal tersebut, kata dia, dapat membuat persaingan usaha tak sehat.
Hal senada disampaikan Komisioner KPPU Kodrat Wibowo. Menurut Kodrat, ada potensi pengerucutan IHT kepada korporasi-korporasi besar. Hal tersebut saat ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya jumlah pabrik IHT di Indonesia.
Kodrat memaparkan, jumlah pabrik rokok pada 2018 hanya tersisa sekitar 600 unit. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya. Padahal, pada 2008 jumlah pabrik IHT tercatat masih sebanyak 3.281 unit.
"Kalau ini terus berlangsung dan menjadi lebih sedikit, kan dengan mudah ada perilaku yang mencoba memanfaatkan posisi dominan. Kecenderungannya akan bersekongkol, itu tak boleh," kata Kodrat.
Karenanya, Kodrat meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali penerapan PMK Nomor 146 Tahun 2017. Pemerintah juga diminta menyiapkan langkah antisipasi atas potensi terjadinya persaingan tidak sehat ini.
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo juga meminta agar pemerintah mengkaji ulang PMK Nomor 146 Tahun 2017. Sebab, Eddy menilai saat ini terjadi penurunan tren volume produksi dan selera konsumen IHT. Hal tersebut antara lain disebabkan adanya faktor pembatasan iklan dan aktivitas merokok di ruang publik, serta larangan penerimaan rokok bagi peserta bansos.
Andreas menilai pemerintah perlu kembali mengkaji PMK tersebut untuk menjaga keberlangsungan IHT. "Perlu kajian mendalam soal roadmap dan semua pihak terakomodasi karena menyangkut kepentingan banyak pihak," kata Andreas.
Ada pun, Enny meminta agar pemerintah membuat peta jalan komprehensif terkait keberlangsungan IHT di Indonesia. Hal itu ditujukan sebagai kebijakan alternatif agar IHT dapat bertahan dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Dalam peta jalan tersebut, pemerintah diminta mempertimbangkan kesiapan pelaku IHT, aspek tenaga kerja, nilai budaya, nasib petani tembakau, serta keunikan produk tembakau khas Indonesia.
"Peta jalan itu perlu setingkat Peraturan Pemerintah (PP), bukan kewenangan kementerian teknis. Perlu ada harmonisasi agar seluruh target yang diinginkan tercapai," kata Enny.