Walhi Minta Moratorium Lahan Sawit Diperpanjang Hingga 25 Tahun
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyambut positif terbitnya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Namun, Walhi meminta jangka waktu moratorium seharusnya diterapkan selama 25 tahun.
Dalam pernyataannya, Walhi menyebut Inpres 8/2018 seharusnya menunda perluasan lahan sawit sesuai usulan saat pembahasan. “Dalam pandangan kami, pemulihan lingkungan membutuhkan waktu yang panjang,” tulis Walhi dalam keterangan resmi yang dikutip Jumat (21/9).
Inpres 8/2018 merupakan pedoman instruksi penataan ulang atas pengelolaan sumber daya alam, khususnya sektor perkebunan kelapa sawit. Karenanya, selain perbaikan tata kelola lahan perkebunan sawit, mereka juga meminta hal itu dilanjutkan dengan penegasan sikap pemerintah untuk menolak Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan.
(Baca : Jokowi Teken Inpres Penghentian Sementara Perluasan Lahan Sawit)
Selain itu, Walhi juga meminta upaya penegakkan hukum atas pelanggaran korporasi besar. Sehingga, pemerintah membuka proses dan informasi evaluasi perizinan dengan partisipasi aktif masyarakat.
Upaya transisi yang berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan hidup, serta pemulihan ekosistem juga harus terus didorong. “Produktivitas perkebunan sawit harus diarahkan pada upaya memberikan dukungan terhadap petani,” tulis Walhi dalam keterangannya.
Terakhir, Walhi meminta Inpres bisa menjawab persoalan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan agraria. Sebab, proses evaluasi perizinan tidak boleh lepas dan harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka Reforma Agraria yang menjadi program prioritas pemerintah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) mengenai moratorium atau penghentian sementara perluasan lahan sawit tertanggal 19 September 2018. Pemerintah menegaskan menghentikan sementara pemberian izin lahan sawit selama tiga tahun.
Inpres tentang penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit ini di antaranya bertujuan meningkatkan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan.
(Baca juga: Beda dengan RI, Amerika Batasi Biodiesel Maksimal 20%)
Lewat Inpres, pemerintah juga hendak memberikan kepastian hukum, serta menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Selama ini industri kelapa sawit mendapatkan sorotan karena perluasan lahan secara masif berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas karbon.
Inpres ini memberikan intruksi kepada beberapa pejabat, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertahanan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur, serta Bupati/Walikota.
Dalam instruksi kesebelas, tercantum penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang telah diterbitkan dilakukan paling lama tiga tahun sejak Instruksi Presiden ini dikeluarkan dan pelaksanaan peningkatan produktivitas kelapa sawit dilakukan secara terus-menerus.
Jokowi meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk melakukan koordinasi dan evalusi perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Inpres juga meminta koordinasi untuk pendataan kawasan hutan, peta Izin Usaha Perkebunan, Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan, Izin Lokasi, dan Hak Guna Usaha (HGU).
Menko Bidang Perekonomian juga yang nantinya melaporkan pelaksanaan Instruksi Presiden ini kepada Presiden secara berkala setiap enam bulan atau sewaktu-waktu diperlukan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan telah menerima informasi tentang Inpres 8/2018. Gapki juga langsung mempelajari dan membahas secara internal isi Inpres.
(Baca juga: Rencana Pengusaha Sawit Cari Dana untuk Petani di Forum IMF-Bank Dunia)
“Kami akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait,” kata Ketua Bidang Komunikasi Gapki, Tofan Mahdi, Kamis (20/9).
Saat ini jumlah luas perkebunan sawit mencapai 14,03 juta hektare, yang sebagian besar dimiliki pengusaha sekitar 59%. Sisanya dimiliki petani 40% dan perkebunan negara 1%.
Produktivitas kelapa sawit yang dihasilkan petani masih tertinggal jauh dari kalangan pengusaha. Lahan petani hanya mampu menghasilkan sekitar 3 ton kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) per hektar sementara pengusaha mampu menghasilkan 5-6 ton CPO per hektar.