Bila Harga Minyak US$ 100, Kurs Rupiah Berisiko Tembus 16 Ribu
Harga minyak dunia berpotensi merangkak naik seiring berkurangnya pasokan di antaranya imbas konflik Iran dengan Amerika Serikat (AS). Kondisi ini menjadi tantangan bagi negara-negara importir minyak termasuk Indonesia. Tantangan yang dimaksud dari mulai tekanan inflasi, defisit anggaran dan transaksi berjalan, nilai tukar mata uang, hingga pertumbuhan ekonomi.
Ekonom DBS Timur Baig dan Ma Tieying melakukan analisis mengenai beragam dampak yang mungkin terjadi bila rata-rata harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel tahun depan. Saat berita ini dibuat, harga minyak brent berada di level US$ 84,45 per barel untuk kontrak pembelian Desember 2018, sedangkan harga minyak WTI berada di level US$ 74,53 per barel untuk kontrak November 2018.
Bila harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel, Ekonom DBS memprediksi pemerintah Indonesia bakal menyesuaikan harga minyak. Penyesuaian penuh harga minyak akan mengerek inflasi sebesar 1%. Namun, dengan pemikiran bahwa penyesuaian dilakukan secara gradual setelah Pemilihan Umum Presiden, maka tambahan terhadap inflasi diperkirakan sebesar 0,3% sehingga inflasi keseluruhan tahun berada di kisaran 4,3%. Inflasi yang lebih tinggi bakal menggerus pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
(Baca juga: BI: Kebijakan Menekan Defisit Transaksi Berjalan Menuai Hasil di 2019)
Sementara itu, defisit minyak diperkirakan bakal semakin lebar, sehingga membuat defisit transaksi berjalan menembus 3,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi tersebut turut menjadi faktor pendorong arus keluar modal asing yang membuat nilai tukar rupiah berpotensi melemah ke kisaran Rp 16.500 per dolar AS.
“Kami menyakini Bank Indonesia akan menaikkan bunga acuan beberapa kali agar tetap ahead the curve untuk menghadapi tekanan yang lebih besar terhadap rupiah karena pelebaran defisit transaksi berjalan dan inflasi yang mendekati batas atas sasaran BI yaitu 4,5% dalam skenario kami,” demikian tertulis dalam analisis Ekonom DBS yang di lansir pada Jumat (5/10). Bunga acuan diprediksi bisa mencapai 7% pada 2019 mendatang, atau naik 125 basis poin dari posisi saat ini 5,75%.
(Baca juga: Boy Thohir Ubah Transaksi Dolar Adaro Senilai Rp 25 Triliun ke Rupiah)
Di sisi lain, kenaikan harga minyak ke level US$ 100 per barel bakal berdampak positif terhadap anggaran pemerintah. Alasannya, tambahan pendapatan dari kenaikan harga minyak lebih besar dibandingkan kemungkinan tambahan belanja buat subsidi solar. Setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 barel maka pendapatan pemerintah naik Rp 3 triliun.
Bila mengacu pada asumsi harga minyak dalam anggaran pemerintah yang sebesar US$ 70 per barel tahun depan, maka tambahan pendapatan bisa berkisar Rp 90 triliun. Sementara itu, tambahan subsidi solar diasumsikan sama dengan tahun ini yakni Rp 1.500 per liter. “Dengan skenario ini, pertumbuhan ekonomi akan turun ke bawah 5%,” demikian tertulis.