Perbaharui Data Beras, BPS Gunakan Metode Penghitungan Komprehensif
Badan Pusat Statistik (BPS), baru saja melakukan penyempurnaan data produksi padi dan beras untuk memperkuat kualitas tata kelola beras dan akurasi statistik. Dalam penyempurnaan tersebut, BPS melakukan penghitungan secara komprehensif melalui perhitungan luas baku sawah, perbaikan perhitungan konversi gabah kering menjadi beras, hingga proses verifikasi data dalam dua tahap.
Proses verifikasi data di 16 provinsi sentra produksi padi dilakukan dalam dua tahapan, pertama yang mencakup 87% luas lahan baku sawah di Indonesia. Sedangkan luas bahan baku 13% sisanya yang berada di provinsi lain bakal selesai pada akhir tahun 2018.
Berdasarkan perhitungan luas panen diperkirakan produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 49,65 Juta ton sampai bulan September 2018. Alhasil, potensi produksi sampai Desember 2018 diperkirakan sebesar 56,54 juta ton gabah atau setara dengan 32,42 juta ton beras.
(Baca: Produksi Beras 2018 Diprediksi Lebih Rendah dari Data Kementan)
BPS juga menghitung luas panen tahun 2018 diperkirakan mencapai 10,9 juta hektare. Sehingga, dengan angka konsumsi beras 29,57 juta ton per tahun, maka diketahui ada surplus beras sebesar 2,85 juta ton.
Secara garis besar, tahapan perhitungan produksi beras dimulai dari perhitungan luas lahan baku sawah nasional, perhitungan luas panen dengan Kerangka Sampel Area (KSA), perhitungan tingkat produktivitas lahan per hektare, serta perhitungan angka konversi dari gabah kering panen (GKP) ke gabah kering giling (GKG) dan angka konversi dari GKG ke beras.
Keseluruhan tahapan dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan berbagai Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Dalam tahapan untuk penetapan luas lahan baku sawah nasional, perhitungannya disempurnakan melalui verifikasi melalui citra satelit sangat tinggi oleh LAPAN kemudian diolah BIG dengan metode Cylindrical Equal Area (CEA) untuk dilakukan pemilahan dan deliniasi antara lahan baku sawah dan bukan sawah.
Metode ini menghasilkan angka luas sawah yang aktual sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Selanjutnya verifikasi tahap kedua dilakukan melalui validasi ulang di lapangan oleh Kementerian ATR.
BPS menggunakan luas pahan baku sawah nasional yang ditetapkan untuk menghitung luas panen padi.
Perhitungan berdasarkan pengamatan yang objektif (Objective Measurement) menggunakan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) yang dikembangkan bersama BPPT dan telah mendapat pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Metode ini melibatkan pengamatan visual dengan menggunakan HP berbasis android, sehingga dapat diamati kondisi lahan apakah berada dalam kondisi fase persiapan lahan, fase vegetatif, fase generatif, fase panen, lahan puso, lahan sawah bukan padi, atau lahan bukan sawah.
(Baca: Kisruh Berjilid-jilid Impor Beras yang Berujung “Perang” Menteri)
Selanjutnya, dalam tahapan untuk perhitungan tingkat produktivitas per hektar, BPS juga melakukan penyempurnaan metodologi dalam menghitung produktivitas per hektar, dari metode ubinan berbasis rumah tangga menjadi metode ubinan berbasis KSA untuk mengurangi risiko lewat panen sehingga perhitungan menjadi lebih akurat.
Metode ini juga telah mengakomodir penanam padi jajar legowo serta telah menggunakan aplikasi berbasis android dengan metode pengolahan berbasis web dan software untuk meminimalkan tingkat kesalahan data, sehingga dapat dihasilkan data yang akurat sesuai kondisi lapangan.
Terakhir, tahapan penetapan angka konversi dari GKP ke GKG yang konversi akhir menjadi beras, survei dilakukan pada dua periode yang berbeda dengan basis provinsi sehingga akan didapatkan angka konversi untuk masing-masing provinsi.
Sebelum ada perhitungan dengan metode baru, perhitungan data produksi gabah dan beras hanya dengan metode eye estimate yang merupakan laporan yang bersifat subjektif. Konversi juga hanya berdasarkan satu musim tanam dan secara nasional.
Akurasi statistik beras menjadi salah satu isu penting, lantaran berperan besar terhadap pengambilan kebijakan pangan yang berkaitan erat dengan penentuan harga pangan.
Menanggapi polemik validitas data, Kementerian Pertanian menegaskan bahwa data produksi yang digunakan merupakan hasil keputusan dalam rapat koordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang disebut data Angka Ramalan II. "Artinya, Kementan menjunjung tinggi prinsip satu peta satu data dan tidak berwenang mengeluarkan data secara sepihak," tulis Kementan dalam situs resminya.
Kendati untuk proyeksi angka produksi dan konsumsi beras Kementan memiliki angka yang jauh lebih besar dibanding BPS. Kementerian Pertanian optimis harga beras 2018 tetap stabil tanpa perlu impor hingga tahun depan, terlebih awal tahun 2019 sudah memasuki musim panen. Kementan memprediksi produksi beras tahun ini surplus sebesar 13,03 juta ton, lebih tinggi 30,3% dari prediksi BPS. Perkiraan surplus tersebut dihitung dari target produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, dengan perkiraan total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton.
Sementara itu, pemerintah menyebut statistik beras memiliki data lebih akurat. " Hal ini untuk mengetahui kondisi surplus atau defisit produksi beras agar Pemerintah dapat melakukan tindakan untuk stabilisasi harga beras seperti melalui operasi pasar ataupun upaya lain seperti impor beras," tulis Sekertariat Wakil Presiden Republik Indonesia dikutip dari keterangan resmi, Selasa (23/10).
Rapat mengenai pembaruan data beras dilakukan di Kantor Wakil Presiden Senin, 22 Oktober 2018 dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang P.S Brodjonegoro, serta Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Selain itu, turut hadir pula, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan/Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Koordinator Staf Ahli Wakil Presiden Sofyan Wanandi, Staf Ahli Wakil Presiden Mohammad Ikhsan dan Juru Bicara Wakil Presiden Husain Abdullah.