Mahkamah Konstitusi Kembali Tolak Gugatan Ambang Batas Calon Presiden

Dimas Jarot Bayu
25 Oktober 2018, 16:25
Aksi Hapus Ambang Batas Nyapres
ANTARA FOTO/ Reno Esnir
Sejumlah aktifis pro demokrasi yang mendaftarkan Pengujian Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, membentangkan spanduk seusai melengkapi syarat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Kamis (21/6). Mereka meminta MK untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2018 mendatang.

Mahkamah Konstitusi kembali menolak gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Atas dasar itu, ambang batas persyaratan pencalonan presiden alias presidential threshold sebesar 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen suara sah nasional sebagaimana diatur dalam pasal tersebut tetap berlaku.

Majelis hakim merasa tak memiliki alasan untuk mengubah pendirian mereka sebagaimana tercantum dalam berbagai putusan sebelumnya. Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan mengenai ambang batas presidensial sejak 2008 hingga 2018. Putusan terakhir atas penolakan gugatan tersebut teregister dalam Putusan MK No. 72/PUU-XV/2017. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta pada Kamis (25/10).

(Baca juga: Pendukung Prabowo Kembali Ajukan Uji Materi Syarat Calon Presiden)

Dalam pertimbangannya, Mahmakah menolak permohonan karena menilai klausul mengenai presidential threshold bersifat konstitusional dan merupakan bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Penerapan presidential threshold juga dinilai sesuai dengan penguatan sistem pemerintahan presidensial.

Penguatan dilakukan dengan pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di DPR. Kemudian, penyederhanaan jumlah partai politik.

Terhadap argumentasi pemohon bahwa persyaratan ambang batas calon presiden menghilangkan esensi Pilpres karena berpotensi menghadirkan capres tunggal, Mahkamah menilai hal tersebut sekilas tampak logis. Hanya saja, argumentasi pemohon mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syaratnya terpenuhi.

Alhasil, kendati diberlakukan syarat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, kemungkinan lahirnya partai politik baru akan tetap terbuka. “Terlebih lagi, untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebuah partai politik terlebih dahulu haruslah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM,” kata Hakim Maahkamah Saldi Isra.

Terhadap argumentasi para pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum, Mahkamah menilai hal itu tidak beralasan sama sekali. Sebab, rumusan Pasal 222 UU Pemilu tidak memberi ruang untuk ditafsirkan berbeda karena telah sangat jelas.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...