Faktor Rupiah dan Harga Energi, Rugi PLN dalam 3 Bulan Meroket Rp 13 T
Hingga akhir September tahun ini, kerugian yang diderita PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) mencapai Rp 18,4 triliun. Padahal, pada periode sama tahun lalu, perusahaan masih meraup untung Rp 3,06 triliun. Penyebabnya adalah pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga energi.
Kerugian yang diderita PLN tersebut melanjutkan kondisi yang menimpanya sejak pertengahan tahun ini. Pada semester I 2018, kerugian perusahaan ini sebesar Rp 5,36 triliun. Artinya, dalam kurun tiga bulan terakhir (Juli-September 2018), kerugian PLN meroket lebih tiga kali lipat atau sekitar Rp 13 triliun.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengatakan salah satu penyebab kerugian tersebut adalah pelemahan kurs. “Kerugian itu akibat depresiasi rupiah terhadap mata uang asing. Kalau besok kurs menjadi Rp 10 ribu per US$, maka akan muncul keuntungan,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Selasa (30/10).
Dalam laporan keuangan kuartal III 2018 yang dipublikasikan hari ini, PLN memang mencatatkan laba Rp 9,6 triliun, atau naik dari tahun lalu yang hanya Rp 8,4 triliun. Namun, ada kerugian kurs sebesar Rp 17,3 triliun, yang jauh lebih tinggi dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp 2,2 triliun.
Dalam tiga bulan terakhir atau dibandingkan semester I 2018, rugi kurs PLN di akhir September tahun ini juga bertambah sekitar Rp 6 triliun.
Kinerja keuangan PLN juga terpukul oleh kenaikan harga energi selama kuartal III 2018. Hingga September 2018, beban usaha berupa bahan bakar dan pelumas mencapai Rp 101,87 triliun atau naik 19,45% dibandingkan periode sama 2017. Alhasil, beban usaha membengkak 12% menjadi Rp 224 triliun.
Jika dirinci, beban Solar naik Rp 6 triliun sedangkan batubara meningkat Rp 5 triliun. Begitu pula dengan beban gas alam yang naik Rp 5 triliun.
Penyebab lain kerugian PLN adalah kenaikan kewajiban pembayaran bunga utang. Selama sembilan bulan terakhir perusahaan memiliki kewajiban bunga Rp 14,2 triliun atau naik dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 13,7 triliun.
Adapun, pendapatan PLN selama Januari hingga September 2018 mencapai Rp 200,9 triliun atau naik dari periode tahun lalu sebesar Rp 187,8 triliun. Sedangkan beban usahanya Rp 224 triliun, membengkak dari tahun lalu Rp 200 triliun. Adapun, subsidi dari pemerintah Rp 39,7 triliun.
Menurut Made, beban usaha meningkat karena PLN sedang melakukan konstruksi di beberapa pembangkit. Namun, di sisi lain, PLN melakukan efisiensi agar keuangan tidak terlalu berat. Salah satu efisiensi adalah dengan mengurangi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Solar yang saat ini hanya 1,3%.
Upaya lain yang dilakukan adalah dengan debt reprofilling (penggantian jenis pinjaman). Jadi, sekarang PLN, mengganti pinjamannya ke lembaga usaha yang menawarkan bunga lebih rendah. “Kalau ada pinjaman yang jatuh tempo diganti dengan pinjaman yang lebih murah,” ujar dia.
PLN juga tengah meningkatkan penggunaan batu bara sebesar 59%. Agar tidak membebani keuangan PLN maka mengefektifkan kewajiban pasokan batu bara ke dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Dengan DMO ini, PLN mendapatkan harga lebih murah yakni US$ 70 per metric ton. Sedangkan harga pasar sekitar US$ 100 per metric ton.
Selain itu, PLN melakukan akuisisi perusahaan batu bara mulut tambang. Tujuannya, mendapatkan keamanan pasokan.
Lalu, PLN lebih selektif dalam pengadaan batu bara. Jadi, PLN menjaga agar kalori batu bara yang dibeli tidak turun dari angka 4.000.
(Baca: Kementerian BUMN: Rugi PLN Tak Akan Ganggu Arus Kas Perusahaan)
Di sisi lain, PLN juga menggenjot penjualan listrik. “Penjualan kelistrikan itu ada yang menyimbangkan,” ujar Made.