Tekan Defisit Dagang, Kemendag Kaji Kemungkinan Penundaan Impor Barang
Kementerian Perdagangan tengah mengkaji kemungkinan penjadwalan ulang atau penundaan impor atas sejumlah barang. Hal itu dilakukan untuk menjaga defisit neraca perdagangan agar tak semakin melebar.
Sepanjang Januari hingga September 2018, defisit neraca dagang Indonesia telah mencapai sebesar US$ 3,78 miliar.
"Penjadwalan mungkin akan dilakukan dengan menunda impor sekitar sebulan dari periode yang seharusnya," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih di Jakarta, Selasa(13/11).
(Baca: Pemerintah Diminta Waspadai Pelebaran Defisit Perdagangan Kuartal IV)
Dalam kajiannya, Kemendag akan menyoroti sejumlah data impor. "Kami akan lihat juga jangan sampai mengganggu produksi industri," kata Karyanto di Jakarta, Selasa (13/11).
Karena itu, Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian. Pendataan juga akan mengacu pada beberapa komoditas mencakup barang konsumsi, bahan baku penolong, serta barang modal.
Namun, Kemendag belum bisa menjelaskan secara detail komoditas impor apa saja yang akan ditunda.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), golongan bahan baku penolong berperan sebesar 75,02% terhadap total impor. Sedangkan, impor barang modal berkontribusi sebesar 15,78%, diikuti barang konsumsi 9,20%.
Total impor Indonesia pada Januari sampai September 2018 tercatat sebesar US$ 138,77 miliar, meningkat 23,33% dari periode yang sama tahun lalu dengan impor senilai US$ 112,52 miliar.
Data BPS juga mencatat, impor terbesar Indonesia sepanjang Januari sampai September 2018 berasal dari mesin atau pesawat mekanik sebesar US$ 19,72 miliar dengan porsi 16,89%. Kemudian, mesin atau peralatan listrik mencapai US$ 15,86 miliar dengan kontribusi 13,59%.
Sebelumnya, beberapa pengamat mulai menghidupkan alarm untuk waspadai pelebaran defisit perdagangan pada kuartal akhir 2018 seiring kebutuhan komoditas impor yang tinggi. Kondisi ketidakpastian global serta pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di satu sisi juga dinilai akan semakin membebani impor, bukan justru semakin memacu ekspor. (Baca: Neraca Dagang Surplus, Sri Mulyani Sebut Impor RI Masih Tinggi)
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menduga permintaan domestik terhadap barang impor pendukung kegiatan ekonomi dan juga stabilisasi suplai pangan dalam negeri akan tetap tinggi. Ekspor juga akan tertahan, akibat proteksi pasar global. "Perhitungannya, impor akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan ekspor," kata Myrdal, bulan lalu.
Dia juga menjelaskan, ekspor Indonesia masih tergantung pada komoditas primer seperti batu bara, minyak kelapa sawit, karet, dan nikel. Padahal, tren global harga komoditas unggulan tersebut masih rendah dan belum menunjukkan peningkatan signifikan.
Selain itu, perang dagang AS dan Tiongkok masih terus memanas dengan kebijakan penetapan tarif yang tinggi antara kedua negara. Myrdal pun memperkirakan persaingan kedua kekuatan ekonomi global dapat mengganggu perdagangan global serta prospek ekonomi negara berkembang lainnya.
Ekonom Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pun mengungkapkan, impor migas akan terus naik karena pelemahan kurs rupiah. Tekanan impor kian berat karena sepanjang 12 bulan terakhir, harga minyak brent meningkat hingga 40%.
Untuk impor nonmigas, khususnya kategori barang konsumsi masih akan tumbuh. Meski sudah mulai berdampak, Bhima menjelaskan importir masih butuh waktu untuk melakukan penyesuaian dengan kebijakan peningkatan 1.147 komoditas dalam PPh Pasal 22.
Menurut Bhima, defisit akan terjadi secara konsisten sampai akhir tahun karena permintaan domestik terhadap komoditas impor jelang Natal dan Tahun Baru 2019 diprediksi meningkat. "Industri akan menghindari pelemahan kurs yang lebih dalam," ujarnya.