Tren Pekerja Lepas 'Gig Workers' Berpotensi Menambah Pengangguran
Para milenial di Indonesia yang semakin banyak memilih menjadi pekerja lepas mendapat sorotan. Fenomena pekerja lepas atau gig workers di Indonesia dikhawatirkan meningkatkan angka pengangguran, karena minimnya keahlian tenaga kerja.
Data Bloomberg menunjukan, sepertiga dari 127 juta pekerja di Indonesia termasuk kategori pekerja lepas atau bekerja kurang dari 35 jam per minggunya pada 2017. Sejalan dengan hal itu, penyedia jasa bagi para pencari kerja dan perusahaan yang mencari pekerja (on-demand worker) tumbuh 26% dalam setahun terakhir.
(Baca juga: Pekerjaan Notaris hingga Panitera Terancam Disrupsi Teknologi)
Managing Director Amar Bank-Tunaiku Vishal Tulsian mengatakan, perkembangan gig economy atau semakin terbukanya ikatan ketenagakerjaan, bisa meningkatkan angka pengangguran bila diterapkan di Indonesia.
"Dampaknya menurunkan daya beli. Jika terus berlangsung, perekonomian Indonesia akan menjadi stagnan dan tidak berkembang ke arah perekonomian inklusif," ujar dia di kantornya, Jakarta, Kamis (15/11).
Manfaat gig economy hanya akan optimal jika pekerja di suatu negera memiliki kemampuan dan keahlian yang baik. Ia mencontohkan, suatu perusahaan ingin melakukan verifikasi pasar guna mengetahui produknya dibutuhkan atau tidak oleh pasar. Maka, perusahaan bisa menggunakan jasa pekerja lepas untuk menganalisis pasar.
Pekerja lepas atau gig workers itu dapat berasal dari dalam ataupun luar negeri. Oleh sebab itu, pendidikan vokasional menurut dia adalah langkah tepat untuk mengimbangi tren tersebut. "Melakukan pelatihan ulang adalah hal utama. Terlebih lagi terkait teknologi, karena itu yang akan banyak dicari perusahaan (untuk menggunakan jasa pekerja lepas terkait proyek tertentu)," kata dia.
(Baca juga: Dari E-Commerce hingga Perbankan, Chatbot Gantikan Operator)
Bagi perusahaan, gig economy memang meningkatkan efisiensi karena tak perlu merekrut orang untuk menyelesaikan proyek tertentu. "Sebab, kontrak tidak terikat. Perusahaan juga bisa mendapatkan pekerja profesional yang sesuai kebutuhan saat itu," ujar dia.
Para mitra pengemudi Grab dan Go-Jek misalnya, merupakan gig workers. Mereka beberapa kali menggelar unjuk rasa karena merasa dirugikan. Padahal, gig workers semestinya memahami secara rinci isi kontrak kerja sama jika tak ingin dirugikan. Untuk itu, edukasi seputar perjanjian kerja sama menjadi penting.
Selain memilih sebagai pekerja lepas, milenial Indonesia juga banyak yang menjadi pengusaha, seperti mendirikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Lalu, mereka menjadi mitra dari e-commerce seperti Tokopedia, Lazada, dan lainnya. Kondisi ini akan positif bagi perekonomian, sebab butuh pengusaha minimal 2% dari jumlah penduduk supaya suatu negara bisa menjadi negara maju.
Country Manager JobStreet.com Indonesia Farida Lim sepakat, bahwa pekerja dengan keterampilan teknologi yang baik yang bisa bersaing di era gig economy ini. Sementara pekerja kasar, akan tergantikan oleh mesin.
Gig economy memang memperluas kesempatan bagi para pencari kerja. Artinya, jasa gig workers asing pun bisa dipakai oleh perusahaan nasional, apabila keterampilan yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri. "Jika pekerja tidak menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri, tingkat pengangguran akan naik," kata dia.
Adapun, alasan milenial memilih menjadi pekerja lepas karena memberi jam kerja yang fleksibel. Misalnya, milenial memilih menjadi mitra pengemudi ojek atau taksi online ketimbang bekerja di perusahaan.
Ada pula, yang memilih berjualan di e-commerce, sebagian lagi, menjajakan kemampuannya di platform jasa seperti Moselo atau Sociabuzz. "Tren ini terutama di kota besar," ujarnya.