Rupiah Menguat ke Level 14.400, RI Dinilai Siap Hadapi Bunga AS Naik
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berada dalam tren penguataan. Saat ini, nilai tukar rupiah bekisar Rp 14.400-14.500 per dolar Amerika Serikat (AS), terkuat sejak Agustus 2018. Melihat kondisi tersebut, para ekonom menilai Indonesia lebih siap menghadapi kenaikan lanjutan bunga acuan AS, Fed Fund Rate.
"Itu akan menjadi berita yang sangat bagus mengimbangi tekanan yang bisa ditimbulkan kalau The Fed (bank sentral AS) jadi menaikkan suku bunga di Desember," kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam kepada Katadata.co.id, Senin (26/11).
Menurut dia, penguatan kurs rupiah saat ini, menurut dia, imbas sentimen positif dari turunnya harga minyak mentah dunia dan berlanjutnya arus masuk dana asing ke pasar keuangan domestik. Adapun, harga minyak yang turun bakal membuat beban impor migas Indonesia teredam sehingga neraca perdagangan berpotensi surplus.
(Baca juga: Anjlok ke Level US$ 50, Harga Minyak Brent Terendah sejak Oktober 2017)
Bila surplus perdagangan pada triwulan IV cukup tinggi, defisit transaksi berjalan sepanjang 2018 dapat ditekan di bawah 3%. Ini menunjukkan berkurangnya ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan valas dalam negeri. Kabar baik tersebut bisa menjadi tameng bagi Indonesia dalam menghadapi kenaikan Fed Fund Rate.
Adapun tiga kali kenaikan Fed Fund Rate sepanjang tahun ini telah memicu arus keluar dana asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi tersebut di tengah defisit transaksi berjalan membuat nilai tukar rupiah terpukul. Sebab, pasokan dan permintaan valas jadi semakin tak seimbang.
Pieter memprediksikan nilai tukar rupiah bakal terus berada dalam tren penguatan hingga akhir tahun. "Kalaupun The Fed menaikkan suku bunga, dengan pelemahan harga komoditas saya perkirakan rupiah bisa bertahan di kisaran 14.500 sampai dengan 14.700 pada akhir tahun," ujarnya.
Setali tiga uang, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai Indonesia lebih siap dalam menghadapi kenaikan Fed Fund Rate. Kesiapan itu tak lepas dari kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang antisipatif.
(Baca juga: Imbas Kenaikan Bunga BI, Ekonomi 2019 Diperkirakan Hanya 5,1%)
BI menaikkan bunga acuan secara agresif hingga berada di level 6% saat ini. Kondisi tersebut, menurut Bhima, menjadi salah satu faktor yang memicu kembali masuknya dana asing ke pasar keuangan domestik sebulan belakangan dan penguatan nilai tukar rupiah.
Ia menjelaskan, investor asing kembali masuk ke pasar saham dengan mencatatkan aksi beli (net buy) sebesar Rp 11,8 triliun. Seiring kondisi tersebut, nilai tukar rupiah menguat 4,59% terhadap dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 4,28%.
"Indonesia lebih siap hadapi penyesuaian Fed kali ini," kata Bhima. Namun, ia menekankan pemerintah tetap perlu mencermati arah kenaikan Fed Fund Rate pada 2019 mendatang agar bisa merespons dengan baik.
Secara khusus, penurunan harga minyak dunia saat ini dibenarkan Bhima bakal berdampak positif terhadap neraca transaksi berjalan Indonesia dan nilai tukar rupiah. Kondisi ini bakal membuat Indonesia lebih siap menghadapi risiko arus keluar dana asing imbas kenaikan Fed Fund Rate. Meskipun, ia melihat investor telah mengantisipasi kenaikan Fed Fund Rate sehingga arus keluar besar semestinya tak terjadi.
“Jadi market tidak terlalu surprise. Dollar index pun tidak terlalu liar hanya naik 0,42% dalam sebulan terakhir," ujarnya. Ia pun memperkirakan nilai tukar rupiah akan bertahan pada rentang 14.700-14.900.